Waktu menunjukkan pukul 6:45, hari hampir gelap sementara aku baru saja menapakan kaki pada jalanan dekat gang rumah ku. Berjalan menenteng tas serempang ku. Pikiran ku kalut karena ucapan Malvin.
'Kok bisa...? Kenapa Tuhan? Kenapa harus begini?' batin ku.
Sama sekali tak kusangka memiliki masa lalu seperti itu. Asal usul bagaimana ingatan ku tidak dapat mencerna nama Malvin, diakibatkan oleh sebuah meja belajar ku di rumah daerah Bogor.
Jadi kita sepasang ke kasih sebelumnya? Ini gila, kepala ku jebol jika harus memecahkan teori ini. Terlebih info kembarannya itu, aku tidak paham mengapa Malvin menyembunyikan fakta itu.
Tidak hanya itu, kenyataan tentang Saka adalah teman dekat ku sejak SMA pun cukup mengejutkan, lantas bagaimana dengan teman-teman ku lainnya. Ataukah teman ku hanya Saka seorang?
Bagian terburuknya, aku harus rela karena Damar telah kembali pada asalnya. Meskipun pesan darinya tetap berlanjut dalam ponsel ku yang terus menunjukkan notifikasi pesan baru.
"Kak Damar, lumayan juga ajarannya" ucap ku tersenyum sendiri, pasti orang lain menganggap ku gila.
Tiba-tiba ponsel ku yang bergetar dapat ku rasakan dari dalam tas. Ku buka resletingnya dan meraih ponsel layar sentuh dengan casing bening itu.
Telfon dari Mbak Kara ternyata, jadi ku angkat saja.
"Halo Mbak" ucap ku
"Triya, kayaknya aku lihat adek mu deh"
"Mungkin lagi jalan ke tempat lesnya Mbak, dekat kok itu" ucap ku tanpa menghentikan langkah ku sekalipun, kini tengah melewati gang rumah.
"Ndak tahu Tri. Cepetan ke gang dekat rumah kamu, aku lagi jalan bareng Jono gak sengaja lihat Juna tadi. Kamu lupa? Hari ini ada pertandingan bola"
Bibir ku menganga mendengar info itu, baru ku ingat pertandingan itu dilaksanakan hari ini.
Pasti pendukung klub sepak bola itu dengan brutalnya melawan pendukung klub lainnya saat klub kesukaannya mengalami kekalahan. Tawuran sering terjadi dekat gang rumah ku, benar-benar celaka jika Juna benar-benar disana.
Aku ingin waktu terhenti sejenak ketika Mbak Kara meminta ku untuk cepat-cepat datang. Karena aku seorang diri, tiada yang membantu ku untuk menangani kecemasan saat ini.
"Tri?" suara Mbak Kara kembali terdengar.
"Mbak? Juna ndak kenapa-kenapa kan?"
"Maaf Triya, aku nggak lama. Cuman lewat aja tadi waktu di motor Jono. Ku tutup dulu ya Tri, sorry nggak bisa bantu banyak..."
Tut!
Segera aku berlari, berlari sekuat tenaga ku menuju daerah itu.
Aku tidak ingin dia kenapa-kenapa...
Adik ku hanya dia...
"Tolong jangan kenapa-kenapa... Juna..!"
Aku mengoceh sendirian dalam larian ku. Tangan ku sibuk mencari kotaknya dalam ponsel, namun dengan berlari pandangan ku menjadi tidak fokus. Kegiatan menghubungi Juna menjadi terhambat.
Tidak bisa, ponselnya tidak dapat dihubungi. Nada terputus dari ponsel ku semakin membuat ku panik.
Setidaknya aku tengah berlari dan semakin kencang, pikiran ku terbang melayang. Hanya pikiran negatif yang mampir dalam kepala ku saat ini. Aku terengah dan lelah, namun harus tetap berlari mencari sosok itu.
"Ibu... Ibu jaga Juna tolong, jangan sampai dia kenapa-kenapa. Tuhan ku Triya sayang adek... tolong peluk adek sementara, sebelum Triya datang" ucap ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederhana
General Fiction"Jadi, nanti cerita kita hanya tentang kakak adik aja, Dek?" "Nggak, Mas. Kehidupan manusia kan bukan tentang keluarganya aja. Nanti orang bosan lihat kehidupan keluarga kita." Melihat dunia dari anak pertama, kedua, dan ketiga. Written by Gayatri...