"Dek, bentar" ucap Mas Nara menghalangi langkah ku untuk masuk ke rumah.
"Kamu suka sama Bang Damar?"
"Mas belajar jadi dukun sejak kapan?" jawab ku setelah berfikir sebentar.
Dia kakak ku yang ku kenal tidak pernah peduli, kerjaannya hanya di dalam kamar atau rapat. Tapi dia bisa tahu arah hati ku bercondong, jadi apa kalau bukan dukun atau cenayang?
"Gak" jawabnya singkat.
"Oalah..."
"Gak boleh" ucapnya lagi, ternyata belum selesai bicaranya tadi.
Aku menatapnya bingung tak mengerti maksudnya dengan mengerenyit, Ia betulkan posisi berdirinya agar lebih tegap dengan salah satu tangannya masuk ke dala saku celana jeansnya. Narayana mulai menganggap obrolan ini semakin serius bersama Gayatri adiknya.
"Jangan Damar"
"Kok jadi kayak cerita-cerita novel sih?" ucap ku karena memang Mas Nara jadi aneh.
Mas Nara menghela nafas berat dengan wajah datarnya menghadap ke atas, aku jadi sedikit takut. Pasti Ia sedang mengendalikan emosinya, alasannya aku pun tak pengerti.
"Mas nggak suka, dia bukan orang Jogja"
"Ya ampun Mas, belajar toleransi. Nggak boleh gitu jadi orang"
Hanya diucapan saja aku berani seperti ini, padahal dibalik itu ada pertanyaan yang tak terjawab soal Damar. Aku tahu kakak ku ini pastinya lebih lama mengenal Damar, jadi dia lebih mengenal laki-laki itu lebih dalam dibandingkan aku yang belum lama dapat berbicara dengannya. Namun alasan bahwa Damar bukan orang Jogja sehingga aku tidak dapat menyukainya bukan hal yang logis.
"Triya nurut! Jangan jadi goblok cuman karena cinta, kalau nggak besok dan selamanya kamu usah ketemu Bang Damar. Mas benci"
Mulut ku terbuka lebar dengan emosi melunjak.
"Mas Nara kenapa? Padahal Kak Damar itu baik sama Mas, situ sendiri yang bilang dia paling anteng diantara yang lainnya. Pasti Mas senang kan?"
"Sekarang nggak, awas aja kalau kamu masih ketemu Damar"
"Kok Mas Nara gitu? Triya dikasih alasan dong"
Aku kira setelah Ia sadar bahwa adiknya sedang jatuh cinta akan Ia dukung, kenyataannya justru sebuah penolakan dengan alasan yang tidak jelas.
"Nurut Gayatri" tekannya di akhir.
"Reason please"
"Ya gak boleh aja! Kenapa sih nggak nurut aja? Lagian Bapak nggak akan ijinin kamu buat pacaran, ingat dek kamu masih banyak tanggung jawab. Nggak boleh mikirin cinta dulu"
Mas Nara berbicara dengan tegasnya sampai-sampai rahangnya mengeras, dengan kesal aku menabraknya untuk dapat masuk ke dalam rumah. Kaki ini berlari menuju kamar kemudian ku rebahkan diri di atas kasur. Untung saja Bapak dan Ibu sudah ada di kamar, mungkin sudah tidur.
Semoga saja tidak mendengar langkah kaki ku yang begitu kencang.
'Memangnya aku suka ya sama Kak Damar...? Kenapa justru kakak sendiri yang lebih tahu?' batin ku, karena aku pun tidak mengerti perasaan ku sendiri.
Kalau betul hati ini belum jatuh padanya mengapa aku senang ketika Mas Nara tahu dan sedih ketika Mas Nara memaksa ku untuk melupakannya?
Rasa cinta ku memang telah lama kosong dan belum lama tercipta pelangi indah disana, dari merah, kuning, hijau, biru, jingga, kelabu, ataupun nila bisa ku rasakan hanya dari sebuah pertemuan dengan Damar. Padahal kami belum lama bertemu, baru dua hari tapi sangat amat berarti. Ditambah hari ini tak sengaja bertemu kembali. Tapi Damar memang menarik, banyak diam tapi pikirannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederhana
Tiểu Thuyết Chung"Jadi, nanti cerita kita hanya tentang kakak adik aja, Dek?" "Nggak, Mas. Kehidupan manusia kan bukan tentang keluarganya aja. Nanti orang bosan lihat kehidupan keluarga kita." Melihat dunia dari anak pertama, kedua, dan ketiga. Written by Gayatri...