10 - Narasi Untuk Adik

57 3 0
                                    

Dahlia Gayatri  itu cinta kedua ku, pertama kalinya aku merasakan memiliki seorang adik ya karena dia. Namanya Gayatri, begitulah dipanggilnya pada masa kecilnya. Tapi aku lebih suka memanggilnya Triya, mudah disebut dan diingat.

Memiliki seorang anak berpasangan laki-laki dan perempuan, seharusnya sudah cukup kan? Tapi orang tua ku tidak begitu. Lebih suka anak laki-laki itu Bapak ku, bukan bermaksud untuk melanggar program keluarga berencana tetapi memang dalam keluarga ada beberapa yang memiliki keyakinan tersendiri. Akhirnya, Juna datang ke dunia.

Dua adik ku lucu, membuat ku gemas beberapa kali. Satunya sering ku ikat dua rambutnya, yang lainnya sering ku berikan pakain yang aneh-aneh. Dua-duanya adalah cinta ku, tapi hanya salah satu dari mereka yang menjadi cintanya Bapak.

Aku pikir ini memang tidak adil untuk Triya, kalau saja Bapak bisa mengasihi Ibu mengapa tidak untuk Triya anaknya? Bahkan Bapak sendiri yang mengajarkan soal tingkah laku dan tata krama, tapi aku tidak melihatnya menerapkan hal itu pada Triya. Yang diberi hanya beban, bukan cinta kasih seorang Bapak.

Memang Bapak hampir tidak pernah memberikan kekerasan padanya, paling tidak hanya tamparan ketika Triya tidak setuju dengan pendapatnya saja.  Itu pun sudah menyakiti hati Triya, pasti. Aku ingin melawan, bagaimana pun cinta ku dibuatnya menderita. Bukan hanya soal ketertarikan Bapak kepada sekolah negri untuk anak-anaknya, tetapi bagaimana Bapak sering kali memandang Triya rendah dan lemah tidak berguna.

Kalau ingin sukses harus sekolah di negri, memangnya iya?

Kalau ingin jadi manusia harus punya sesuatu, memangnya iya?

Jadi, kalau ingin hidup itu benar-benar susah ya. Selalu saja ingin damai sentosa namun pemikiran orang lain mengacaukan semuanya, rencana yang telah kita buat dan akan segera kita hadapi. Sebetulnya sudah siap dengan semua rencana itu, tapi menjadi pilu ketika dibuat gusar oleh pihak ketiga yaitu orang lain.

Sering kali Bapak hanya sekedar bertanya, kami sudah mencapai tahap mana dalam kehidupan ini. Belum pun kami memulainya, pertanyaannya sudah menjulang tinggi pada tahap teratas. Kami ingin jujur, namun akan terlihat lemah di matanya.

Keberuntungan ku sebagai seorang laki-laki juga tidak benar. Memang betul Triya adalah satu dari kami bertiga yang mencari dunianya sendiri, tapi aku punya tantangan tersendiri. Dari tanggung jawab sebagai anak pertama harus bisa terbiasa untuk mengambil langkah duluan dibandingkan kedua adiknya, kemudian harus banyak-banyak belajar perihal sifat mereka satu persatu. Berusaha untuk memahami seorang Triya ataupun Juna yang menjadi dua manusia dengan pendirian mereka masing-masing, karena kita manusia yang tidak di desain oleh sesama manusia seperti robot.

Kalau aku gagal pasti akan menjadi malu bagi orang tua, akan jadi contoh buruk untuk kedua adik ku. Tapi kalau aku berhasil selalu akan jadi contoh bagi orang tua untuk mereka dan itu akan menjadi hal paling menyebalkan bagi mereka.

Kalau aku marah itu bukan berarti aku tidak sayang, tapi aku memperhatikan. Hanya saja sifat Bapak sering kali ku contoh secara tidak sengaja. Pernah ku dengar bahwa sifat orang tua menurun pada anak ketika sang anak melihat bagaimana orang tuanya bersikap, lantas bagaimana aku bisa mewarisi sikap amarah dari Bapak mungkin saja karena mata ini melihat, pikiran ini belajar, pada akhirnya tubuh ini melaksanakannya.

Sekali lagi, aku tidak bermaksud.

Kalau Juna kesulitan karena nilainya buruk, aku pun resah. Masuk ke kamarnya untuk mengajarkan semua hal yang ku tahu bukan hal yang mudah karena aku bukan guru yang baik, setidaknya aku harus mencobanya. Kalau tidak Juna akan di marahi oleh Bapak.

Hal paling buruk terjadi pada Triya sudah tertulis pada tulisan ku sebelumnya. Kalau kamu perhatikan Bapak justru melimpahkan Triya pada ku, aku yang harus pergi dengan Ibu ke Rumah Sakit. Bukan Bapak. Aku tahu Juna butuh penjaga di rumah, namun untuk anaknya yang sakit justru tidak Ia jadikan sebuah prioritas. Sampai sekarang hanya Ibu sosok orang tua untuk Triya, entah apa jadinya Triya kalau tanpa Ibu. Karena Ibu adalah tameng, wanita kuat yang dapat menahan amarah Bapak ketika meledak meski berkali-kali bom itu tersulut api.

Hanya Ibu yang selalu ada untuk anak-anaknya, menangkan bagai air danau. Ibu cinta pertama ku meski pada akhirnya nanti aku akan berpasangan dengan seorang wanita lainnya. Senyuman yang diberikannya selalu saja tulus, bagaimana Ia memanggil ku sebagai anaknya yang paling hebat membuat ku merasakan kesederhanaan cinta yang diberikan seorang Ibu pada anaknya. Ibu selalu menghormati apapun yang aku pilih dan aku selalu menghormati apapun yang Ia pinta, karena semuanya baik adanya. Kalau katanya anak laki-laki sangat dekat dengan Ibu aku setuju, sangat mendukung perasaan ini pada Ibu.

Jadi Gayatri, kalau kamu baca ini setelah semua ini menjadi sebuah cerita paket yang lengkap seharusnya kamu sadar. Kakak mu hanya satu, pelindung mu hanya aku dan juga Ibu yang jauh dari kita. Kalau kamu marah dengan kakak mu ini, rasa bersalahnya tambah berkali-kali lipat.


From Author :

Hi, it's me Tyta!

Makasih yang sudah baca sampai part ini, mohon maklum kalau banyak typo di setiap part nanti. Mas Nara so sweet, ya kan?

Jangan lupa tekan bintangnya, komen bagian2 yang kamu suka, dan masukan ke list kamu yaa. Ketemu lagi dengan Triya di part selanjutnya!

SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang