16 - Musuhan

30 4 0
                                    

Sudah jam 11 malam hari. Mas Nara belum juga pulang, aku tahu tentang kakak ku sedang kumpul dengan teman-temannya setelah mendengar percakapan Malvin dan Bayu di kampus. 

Apakah harus sampai semalam ini? Ibu sudah panik setengah mati.

Wanita itu ketar-ketir tak karuan, aku pun ikut cemas. Namun apa daya ketika satu keluarga merasakan hal yang sama hanya Ibu yang bisa mengeluarkan emosinya. Memohon beberapa kali agar anaknya pulang dengan selamat, sedangkan aku dan Juna telah terbiasa menunggunya meski hingga tengah malam. Bahkan kami kerap kali tinggal tidur, Mas Nara pasti punya kunci cadangan. Tapi dengan adanya Ibu disini semuanya jadi berbeda.

Aku hanya khawatir dengan Bapak, kalau sikap ku berlebihan pun aku yang kena marah. Karena sebetulnya Bapak pun khawatir dengan anak pertamanya terlebih kondisi Ibu yang tak sabar menunggu anaknya pulang.

"Bu, jangan panik. Atur nafas baik-baik, ikuti Juna bu. Hu... ha... lagi bu, hu... ha..."

Juna mendekap Ibu agar lebih tenang, berkali-kali mengucapkan bahwa Mas Nara tidak apa-apa. Nafas ku sering kali tertahan dengan pandangan terus menerus mengarah ke pintu yang tak kunjung terbuka. Telfon dari ku pun hasilnya nihil.

Suara motor Mas Nara akhirnya terdengar, aku yang pertama kali berlari membuka pintu dan keluar melihatnya.

"Mas, di telfon kok ndak diangkat tho? Ibu udah nungguin dari tadi, kasihan..."

Kakinya menapak ke lantai turun dari motornya, kemudian melepas helm dan mendorong ku masuk ke rumah tanpa berkata apapun. Sampai depan pintu aku berbalik.

"Mas, kok bajunya bau rokok?"

Matanya membesar kemudian melihat seluruh anggota keluarganya yang kini tengah menatap dirinya.

"Nara! Kamu dari mana sampai malam begini?! Ngerokok lagi! Bapak udah bilang kan? Ibu kamu asma! Kalau Ibu mu kenapa-kenapa itu salah kamu!"

Mas Nara menatap ku sambil menghela nafas, tanpa berucap apapun Ia masuk ke kamarnya. Namun omelan Bapak tak kunjung selesai, hingga depan kamar Mas Nara.

"Minta maaf dulu! HEH! NARA!" ucap Bapak sambil mengetuk kasar pintu kamar kakak ku.

Kuping ku tak mampu menahan suara kencang Bapak berlama-lama, segera aku ajak pergi Juna dan ke atas. Ibu pun menyarankan seperti itu. Kami berdua masuk ke dalam kamar Juna.

"Mbak, takut"

"Rapopo, wis biasa tho dulu"

"Iya, udah biasa. Harusnya aku terbiasa ya mbak?"

Aku menghela nafas, ini pun juga tidak benar. Kesalahan cara Bapak mendidik anaknya pun tidak bisa dibiasakan.

"Ya... ndak juga dek, tapi setidaknya kita bisa bertahan. Ya kan?" ucap ku kemudian mencubit pipinya.

Hari ini ku putuskan untuk tidur dengan adik ku, yakin sekali Mas Nara tidak ingin diganggu hari ini hingga entah hari apa Ia baru membaik. Rasanya aku memang salah mengucapkan hal itu pada Mas Nara, setidaknya harusnya ku kecilkan suara ku jika memang ingin tahu. Tujuan ku memang bukan untuk membesar-besarkan sampai terdengar oleh Bapak dan Ibu, hanya sekedar bertanya. Karena Mas Nara bukan perokok.

Aku mengiriminya pesan minta maaf, namun belum juga dibalas hingga saat ini. Ku taruh ponsel ku jauh-jauh. Mata ku masih terbuka sementara deru nafas adik ku tenang di samping.

Tiba-tiba pintu terbuka, memang tidak ku kunci sejak awal jika sewaktu-waktu Juna ingin ke kamar mandi. Ku balikkan tubuh ku melihat Mas Nara berdiri memegang gagang pintu, Ia datang menepuk Juna dengan pelan sembari memanggilnya sedikit berbisik di dekat telinganya.

SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang