𓂃。⋆ selamat membaca ⋆。𓂃
Mika
Siang ini aku harus berdiri di tengah lapangan basket, sambil memikirkan cara untuk mengambil tas biru langitku yang tergantung di bawah ring basket. Entah bagaimana Arki bisa menggantungkan tasku di tiang yang tingginya jauh melampaui tinggi badanku. Arki benar-benar menjengkelkan.
"Mikaaa!" Willa berlari kearahku sambil membawa tongkat besi panjang. "Pake ini bisa, nggak?"
"Kamu dapet ini dari mana?" tanyaku.
"Dari Pak Damri." Pak Damri adalah tukang kebun sekolah.
"Yaudah sini aku coba dulu. Makasih ya?" Aku mengambil tongkatnya. "Kamu mendingan balik ke kelas aja."
"Aku temenin kamu disini aja. Perlu bantuan lagi, nggak?"
"Ini aja udah membantu banget, Will. Sana kamu ke kelas aja, nanti dihukum sama Bu Ratna lagi gegara telat masuk."
Bu Ratna adalah guru matematika yang cukup tegas, atau bisa dibilang killer. Meskipun begitu, gaya mengajarnya yang unik cukup membuatku merasa mudah dengan mata pelajaran tentang hitungan itu. Aku tahu karena Bu Ratna juga mengajar di kelas 10. Makanya aku pernah digurui oleh beliau.
"Seriusan nggak apa-apa aku tinggal nih?"
"Nggak. Udah sana duluan aja," balasku sambil meraih tasku dengan tongkat.
"Kamu juga nanti bakalan dihukum, Mik. Gimana dong?"
"Ya kamu emangnya mau dihukum juga? Udah sana duluan aja, aku mah gimana nanti aja." Aku masih berusaha untuk menyuruhnya pergi. Nggak mungkin aku melibatkan Willa untuk urusan telat masuk kelas.
"Ya udah, aku tinggal ya? Maaf ya, Mikaaa...."
"Iya, sana-sana!"
Aku melihat sekilas Willa yang sudah meninggalkanku sendirian di lapangan sepi ini sebelum akhirnya keningku kembali mengernyit karena silaunya matahari. Aku masih berusaha keras untuk terus menusuk-nusuk tasku dengan tongkat, berharap tasku lepas dari kaitannya.
Aku membuang nafas lewat mulut ketika peluh sudah membasahi keningku. Kulitku rasanya seperti terbakar. Kenapa pula Arki memilih lapangan basket outdoor untuk menjadi tempat bersemayamnya tasku alih-alih lapangan basket indoor?
Rupanya Arki memang sengaja membuat aku lebih tersiksa lagi. Lihat saja! Pelakunya itu ada di balik jaring besi sambil duduk santai memperhatikan usaha yang nggak kunjung membuahkan hasil. Aku memandangnya sinis, tapi dia malah menawariku air dingin lewat kode tangannya. Jangan lupakan senyum tengilnya yang terlihat setiap aku kesusahan.
Aku kembali mencoba berusaha lebih keras lagi, hingga akhirnya tas itu jatuh di depanku. Segera aku mengambilnya yang membersihkannya dari debu yang sempat menempel. Warna cerah memang gampang sekali ternodai.
Setelah aku mengembalikan tongkat pada Pak Damri, aku lekas masuk ke kelas. Sebelum aku masuk, rupanya Arki sedang diceramahi oleh Bu Ratna di depan karena telat masuk kelas. Si badung itu jelas telat karena tadi dia malah santai-santai di pinggir lapangan.
Jika Arki sudah kena hukuman oleh Bu Ratna, maka selanjutnya aku pun pasti kena hukuman. Sialnya, Bu Ratna membuatku harus menjalani hukuman bersama si tengil itu. Bu Ratna menyuruh kami merapihkan buku di gedung perpustakaan. Ini hukuman pertamaku selama bersekolah di SMA Garwana.
"Kalian yang ditugaskan sama Bu Ratna untuk membantu saya, 'kan?" tanya staff perpustakaan.
"Iya, Bu," jawabku. Sedangkan Arki berdiri cuek bebek di sampingku, padangannya malah lari kesana kemari.

KAMU SEDANG MEMBACA
Makna "Kita dan Luka"
Fiksi RemajaMika dan Arki awalnya adalah manusia yang berjalan di jalannya masing-masing. Tak akrab meskipun berada dalam satu kelas yang sama, tapi pada tahun terakhirnya bersekolah di SMA Garwana, mereka baru akrab menjadi kawan berbincang. Saling memeluk ke...