Genre : Fiksi remaja, drama, romantis, angst.
***
Mika percaya bahwa sesuatu yang ada di dunia ini tidak kekal. Termasuk kebahagiaan dan kesedihan. Maka dari itu, Mika selalu yakin kesedihannya pasti berlalu, dan tergantikan oleh kebahagiaan.
Namun...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setiap sudut rumah Arki selalu menarik perhatian Mika. Wangi glade ocean escape memanjakan indera penciuman. Wangi tersebut sangat serasi dengan pemilik rumahnya, feminim. Selain itu, interior dindingnya yang cukup klasik bernunsa putih dipenuhi oleh potret anggota keluarga mereka. Beberapa momen seremonial atau momen mengesankan diabadikan oleh keluarga tersebut. Sangat harmonis, pikir Mika tatkala melihat setiap potretnya.
Selain lahir di keluarga yang cukup berada, Arki juga sangat beruntung memiliki seorang ibu yang begitu cantik dan pintar. Leyla Renjana. Di usia muda, ia pernah menjadi pemenang Miss Indonesia. Kecantikannya itu seolah tak lekang oleh waktu, tetap cantik meskipun usianya sudah menginjak akhir 40-an. Leyla melanjutkan karirnya sebagai pemilik brand cosmetic yang cukup terkenal.
Begitu pun dengan ayahnya, Brama Batara. Seorang dokter spesialis jantung di rumah sakit milik keluarga Batara. Mungkin lambat laun, rumah sakit tersebut akan berpindah kepemilikan menjadi milik Brama sepenuhnya. Karena ayah Arki adalah anak satu-satunya di keluarga kakek neneknya.
Jika ditanya, kenapa bisa Arki memiliki wajah yang begitu tampan? Maka jawabannya sudah jelas, Arki mewarisi ketampanan ayahnya sendiri. Sebab, di dalam sebuah bingkai foto keluarga yang begitu besar Mika dapat melihat betapa miripnya mereka. Sedangkan wajah Leyla dijatuhkan semua pada anak sulungnya, yaitu Arka. Namun meski begitu, Arki dan Arka sekilas terlihat kembar, mungkin karena umur mereka yang terpaut dekat serta tinggi badan yang hampir sepantar.
Atensi Mika tertarik oleh sebuah bingkai foto yang terletak di bufet. Dari semua potret, potret itulah yang membuat Mika tak kuasa menahan sesuatu yang menggelitik perutnya. Dua anak kecil yang tengah duduk bersebelahan, yang satu berpose dengan wajah datar, dan bocah yang satunya tengah menangis dengan mulut terbuka. Bisa Mika tebak kalau bocah yang menangis itu adalah Arki, karena ia yang paling kecil.
Melihat momen manis di setiap potret tersebut, Mika jelas merasa iri. Sedikitnya ia mempertanyakan kenapa keluarganya tak seperti itu. Namun, ia sadar bahwa hidup sebagai orang asing di keluarganya tak berhak untuk mengharapkan hal manis itu. Diberi tumpangan untuk tidur saja seharusnya Mika sudah bersyukur.
"Mika," panggil Leyla.
"Iya, Tante?" sahut Mika yang segera menghampiri Bundanya Arki.
Wanita dengan langkah anggun itu datang dari dapur sambil membawa satu toples cookies buatan mereka tadi. Sebelumnya, Leyla menyuruh Mika menunggu sebentar saat hendak pulang.
Leyla melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 10 malam dengan tak enak hati. "Maaf ya, Mika. Kamu pulangnya jadi kemaleman gara-gara Tante. Abisnya Tante seneng loh ada anak gadis yang bantuin."
Mika terkekeh pelan. "Gapapa, Tante. Aku juga seneng bisa buat kue bareng Tante."
"Tapi orang tua kamu gak bakalan marah, 'kan?"
"Enggak, kok. Tante tenang aja."
"Biar Tante yang anterin kamu pulang sampe rumah, terus Tante minta maaf ke orang tua kamu, gimana?"