Pantone 15-5519

132 11 0
                                    

[Rana]

"Gak, Tante gak izinin. Kamu kok berhenti sih, Sa? Jangan ya, Rana? Masa turun di sini? Gak etis kalau turunin anak gadis di jalanan. Hati Tante juga gak tenang."

Aku berikan senyumku yang paling meyakinkan untuk Tante Amalia, Mama Mahesa.

Tidak seperti Mahesa, Tante Amalia tidak tahu apa-apa mengenai bagaimana babak-belurnya kondisi keluargaku. Ya, walaupun pihak yang babak belur seringnya hanya aku. Tapi kalian paham, kan, maksudku?

Setelah makan siang bersama, aku meminta diturunkan di supermarket dekat kampus. Alasannya, aku mau beli bahan makanan sebelum pulang. Belum ada nyali barang sehelai daun padi untuk berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Tante Amalia.

Lagi pula, memangnya aku siapa? Status 'pacar anaknya' mungkin memiliki arti sedalam samudera di satu-dua kondisi. Tapi, untuk hal seperti ini, rasanya status itu tidak berarti apa-apa. Posisiku masih bisa hilang dan digantikan oleh siapa saja, kapan saja.

Pernikahan Bapak dan Ibu yang sudah terikat oleh hukum negara dan agama saja bisa hancur tak terselamatkan. Apa lagi sebatas hubungan berstatus pacar?

"Gak apa-apa kok, Tante, beneran. Aku ada yang mau dibeli dulu di dalam," kataku, berusaha meyakinkan.

"Ya udah kamu belanja aja, Tante temenin. Habis itu, pulangnya tetep dianter sampe rumah, ya?"

Aku tersenyum kecil sambil membalas gengaman Tante Amalia di tangan kiriku. Hangat. Mungkin memang begini rasa genggaman tangan seorang ibu. Aku saja yang lupa.

"Aku gak mau ganggu jadwalnya Mahesa di rumah sakit. Kasian pasiennya nanti," aku bicara saja alasan yang kedengarannya paling masuk akal.

Padahal aku tahu kalau jadwal Mahesa hari ini baru akan mulai dua jam lagi. Tapi aku harap Tante Amalia tidak tahu akan hal itu.

"Iya, Sa? Kamu jaga hari ini?" tanya Tante Amalia pada Mahesa.

Mahesa, tolong bilang iya.

Mahesa tatap mataku secara kilat, seakan membuat tanda kalau ia mendengar permohonanku dan menjawab tanpa suara padaku: ya, aku tahu jawaban apa yang kamu butuhkan.

"Ada, Ma."

Helaan nafas lega aku hembuskan secara sembunyi-sembunyi.

Secara teknis, Mahesa tidak berbohong. Aku bersyukur dengan segenap rasa karena Tante Amalia tidak lanjut bertanya dengan pertanyaan 'jam berapa?'.

Tante Amalia terlihat kecewa. Hatinya terlalu baik. Aku paham. Jika kondisinya tidak seperti ini, dengan senang hati aku akan menerima tawarannya untuk diantar sampai depan rumah. Aku akan bawa mereka masuk dan sajikan secangkir teh hangat dengan kue manis sebagai pendamping.

Tapi sayangnya, kenyataan memang kodratnya menjadi antonim dari khayalan.

Cukup rasanya biarkan Mahesa sebagai satu-satunya yang melihat apa yang terjadi di hidupku lebih dari kulitnya. Untuk biarkan orang lain masuk, rasanya kata siap masih jauh dari level cukup.

"Kalau sudah sampai rumah, kabarin Tante, ya? Atau kalau mau dipesenin taksi, kamu langsung telfon aja. Okay?"

"Iya, siap. Jangan khawatir, Tan. Aku pasti kabarin, dan pasti baik-baik aja sampe rumah."

Setelah bertukar kata dan senyum beberapa kali, dan satu genggaman tangan dari Mahesa yang simpan sejuta kekuatan juga makna, aku turun dari mobil.

Cat dinding supermarket berwarna turquoise menyambut indra pengelihatanku. Lambaian tangan aku berikan pada Tante Amalia dan Mahesa yang berikan ucapan sampai jumpa lagi dari dalam mobil yang mulai melaju pelan.

Aku melangkah masuk ke area halaman supermarket sejauh sepuluh langkah. Setelah mobil Mahesa hilang di tikungan, aku tunggu waktu selama dua menit berselang untuk memastikan kemungkinan bertemu di jalan tidak akan terjadi.

Sekarang, waktunya pulang ke rumah. Mario pasti sudah pulang sekolah. Ah, aku rindu adikku.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang