Pantone 17-4016

84 5 0
                                    

[Rana]

"Kakak, aku dapat seratus tadi ulangannya!"

Aku tersenyum, beri usapan lembut di kepala Mario yang rambutnya sudah mulai agak panjang. Banyak yang harus dilakukan belakangan ini, sampai-sampai aku lupa untuk membawa adikku memotong rambutnya seperti rutinitas kami selama ini.

"Hebat! Coba kakak lihat sini."

Mario berlari riang menuju tas sekolahnya yang ia letakkan dengan rapi di samping kasur tanpa rangka yang kami miliki di kontrakan. Tidak seperti di rumah dulu, dimana Mario dan aku punya kamar sendiri-sendiri. Rumah kontrakan yang kami sewa hanya miliki satu kamar tidur, satu ruang tamu, dapur, dan kamar mandi. Lebih sederhana, namun lebih terasa seperti rumah.

"Ulangan bahasa inggris! Aku inget semua. Kalau i, you, they, we pakainya are, kalau she, he, it, pakainya is. Semuanya betul!" Mario berkata dengan semangat, sambil duduk di sebelahku di atas kasur.

"Hebat banget sih? Keren." Aku cium puncak kepala adikku setelah memerhatikan kertas ujian yang dia berikan ke tanganku.

"Lagi ngobrolin apa? Seru banget kayaknya."

"Ibu! Ibu udah dateeennggg?" Senandung Mario riang.

Aku diam. Masih ada rasa canggung terselip setiap aku berinteraksi dengan ibu. Berbeda dengan Mario, yang kini senang bermanja dengan ibu.

"Aku dapat nilai seratus!" Pamer Mario kepada ibu. Dengan cepat ia tinggalkan sisiku, dan berlari ke arah ibu yang berdiri di depan pintu kamar. "Aku pinter kan, Bu?"

"Pinter. Anak hebat. Ibu banggaaa banget sama Mario."

Mario tersenyum lebar. Raut bahagia dan aura kesangannya sampai kesini, menular sampai ke dalam hatiku.

"Mario, assalamualaikum, main yuukk!"

"Waalaikumsalam, iya sebentar ya!" sahut Mario kepada suara anak kecil yang terdengar dari luar kontrakan. "Kakak, aku mau main, boleh?"

Aku tersenyum. "Boleh, tapi sebelum adzan maghrib harus udah pulang, bisa?" jawabku, lembut. Senang rasanya melihat adikku kini bisa bermain dengan bebas, dengan riang, tanpa rasa khawatir akan hal buruk apa saja yang mungkin terjadi di rumah.

"Bisa!" Mario acungkan jempolnya, kemudian mencium tanganku. Tangan ibu juga dicium olehnya, sebelum ia berlari keluar kontrakan dan hilang dari pandangan. Menyisakan aku dan ibu, di ruangan yang luasnya tak seberapa ini. Rasa canggung yang menggantung dengan berat di udara seakan buat kamar ini jadi semakin sempit.

Dari ekor mataku, aku bisa lihat ibu berjalan dengan pelan menghampiriku. Aku sibukkan diri dengan melihat jejeran debu yang ada di lantai yang belum sempat disapu hari ini. Ya, debunya tidak terlihat. Memang aku hanya membuat-buat. Tapi, kalian paham kan seperti apa rasa canggungnya?

"Besok ada lanjutan investigasi, ya? Kamu ke kantor polisi?"

"Iya, katanya jam sepuluh pagi aku diminta udah datang," jawabku.

"Sendiri?"

"Sama Mahesa."

"Mau Ibu temani?"

Aku tidak langsung menjawab. Bingung. Entah apa yang aku mau, sampai saat ini aku tidak tahu.

Apakah aku mau ibu selalu ada di setiap langkahku untuk memperbaiki hidup yang sudah berantakan seperti beras yang disebar untuk pakan ayam?

Apakah aku mau melakukan segalanya tanpa ibu, agar ibu tahu selama ini aku masih bisa hidup, dan akan terus hidup walaupun ia sempat meninggalkanku?

Apakah aku mau ibu merasakan sakitnya ditinggalkan atau aku mau terus bersama ibu karena aku merasa rindu yang sangat dalam?

Ibu mengambil duduk di sampingku, beri jarak yang tidak seberapa di antara kami---seakan beri ruang dan kesempatan padaku untuk lari dan pergi jika aku tidak ingin ada di dekatnya. Ada hangat yang menguar dari sisi ibu, hangat yang sudah sangat lama tidak aku temui.

"Gak apa-apa kalau kamu gak mau ibu ikut. Ibu paham kalau kamu masih gak nyaman."

Aku masih diam. Masih sibuk menghitung debu.

"Di dapur dekat meja makan, di ujung koridor dekat pintu kamar kamu, dan di ruang TV dekat vas bunga, ibu pasang kamera. Mereka aktif merekam semua kejadian di rumah, sejak beberapa belas minggu lalu, saat ibu titip surat untuk kamu ke Pak RT."

Di detik itu juga, debu tidak lagi menarik rasanya.

Aku menoleh ke arah ibu dengan cepat. Menatapnya dengan tidak percaya, mencari sedikit gurat canda di wajah ibu karena perkataannya sangat sulit untuk kucerna, terdengar tidak masuk akal. Tapi tidak sedikitpun gurat canda aku temukan disana.

"Ibu...pasang kamera?"

Ibu mengangguk.

"Buat apa?" Suaraku terdengar asing saat aku bertanya pada ibu. Terdengar sangat tipis, sangat rapuh, sangat penuh akan takut dan ragu.

"Salah satu hal yang ibu siapkan, untuk jemput kamu dan Mario. Ibu gak mungkin diam aja setelah beberapa kali lihat kamu dengan luka saat keluar dari rumah. Tapi, ibu juga sadar kalau ibu butuh senjata, butuh bukti yang gak bisa lagi disangkal dengan apapun. Dibantu dengan teman-teman, termasuk Tante Naomi, yang waktu itu mendatangi kamu ke toko es krim, ibu berhasil pasang beberapa CCTV."

Ibu bergerak, mengusap air mata yang tanpa aku sadar sudah basahi pipi kanan dan kiriku."

"Ibu benar-benar mau jemput kamu dan Mario, hampir, hampir aja ibu bisa jemput kalian. Tapi, justru lebih dulu bapak kalian yang kehilangan akal. Kalau aja ibu tau, dengan pergi dari rumah, bapak malah lampiaskan kesalnya ke kalian karena dia gak bisa lagi mukulin ibu, lebih baik ibu tetap di rumah. Ibu pasti lebih pilih tinggal."

"...huks."

Isakan keluar begitu saja tanpa bisa lagi aku tahan. Detik berikutnya, yang aku tahu adalah aku sudah ada di pelukan ibu, sudah dilingkupi rasa hangat yang tadi kurasa menguar dari tubuhnya, didekap lengan ibu yang berbalut kaus berwarna abu-abu---warna kesukaanku.

"Mau ibu temani? Mau ibu bantu berjuangnya, sama-sama?"

Yang bisa kuberikan sebagai jawaban hanyalah sebuah anggukan.

Entah berapa lama aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan permen kesukaannya.

Namun, satu yang aku tahu, rasa lega luar biasa manjadi penutup hari ini. Hari dimana akhirnya ibu jelaskan semuanya, di tengah tangis, bersamaan dengan hangat pelukannya.

~

a.n

tinggal 2 atau 3 chapter lagi, dan cerita ini akan selesai :")

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang