[Mahesa]
"Aku udah jalan dari halte di perempatan. Sebentar lagi sampai rumah."
Aku menutup berkas terakhir yang aku baca dan mematikan komputer di hadapanku, lalu berdiri. Pindah duduk ke sofa untuk meregangkan otot dan sendi yang kaku karena duduk cukup lama tanpa pergerakan yang cukup. Tanganku yang sebelah kiri masih menempelkan ponsel ke telinga. Percakapanku dengan Rana sejak delapan belas menit yang lalu masih belum terputus juga.
Hari ini adalah salah satu dari beberapa hari dalam seminggu dimana jadwalku dan jadwal Rana tidak memungkinkan kami untuk bertemu. Bimbingan skripsi Rana, dan jadwal praktikku hari ini berbenturan.
"Hati-hati. Udah makan, kan? Udah mau setengah sembilan loh, ini."
"Udah, kok. Tadi aku bawa bekal."
"Ah sedih, hari ini aku gak ikutan makan bekalnya."
Rana tertawa di seberang sana. "Hahaha, kamu sih sibukㅡhai meong," katanya, terpotong dengan sapaannya pada kucing yang ia lihat di perjalannya menuju rumah (sepertinya). "Tapi ini juga sekalian taster, nyoba masak menu baru buat Tante. Biar pas aku kasih ke Tante, gak zonk."
Alisku terangkat naik. Mama dan Rana sudah tukar pesan, sepertinya.
"Udah chat sama Mama?"
"Iya, semalam. MALU BANGET TAU AKU AAAAA." Jawaban Rana diakhiri dengan jeritan tertahan.
Aku mengigit lidahku sendiri, menahan senyum agar tidak terlalu lebar. Gemas membayangkan Rana malu-malu sambil melanjutkan langkahnya. Kasihku itu selalu lompat-lompat kecil jika rasa malu melanda. Lucu.
"Mama bilang apa?" Tanyaku, dengan kekehan kecil.
"Bilang katanya kangen aku. Terus nanya aku apa kabar, gimana kuliah, kabar Mario, sama nanya juga kamu suka nakalin aku apa nggak. Gitu."
"Astaga si Mama. Sama aku bahkan dia gak bilang kangen. Yang anaknya tuh siapa coba sebenarnya? Jadi curiga."
Rana tertawa di seberang sana. Tawa yang selalu aku suka. Yang aku harap bisa aku dengar selama waktu mengizinkan.
Karena bagaimanapun juga, konsep selamanya ternyata tidak pernah selama itu.
"Lebay banget orang tua."
"Siapa? Aku tua? Awas ya habis inu aku gak lagi terima konsultasi cara pake SPSS."
"Ih, iya ampun. Kamu mah, gitu ngancemnya." Rana merengek.
Aku tertawa. "Bercanda, sayang. Hari ini gajian kan dari parlor? Beli apa buat self reward bulan ini? Sweater yang kamu mau dari tiga bulan lalu?"
Jam di dinding warna biru tua menunjukkan kalau tiga menit sudah terlewat sejak aku pindah dan duduk di sofa ini. Tandanya, empat menit lagi, Rana akan sampai di rumah. Biasanya butuh waktu tujuh menit bagi Rana saat berjalan dari halte ke rumahnya.
"Gak jadi, kayanya. Mau aku tabung aja. Ngeprint buat bimbingan skripsi butuh uang banyak banget. Gak kecover sama beasiswa aku. Uangnya udah abis buat ongkos bolak-balik kampus, sama kasih jajan Mario."
Aku baru akan menjawab saat suara Rana terdengar lagi. Batalkan keluar kata-kataku yang sudah siap di ujung lidah.
"Jangan beliin ya, Mahesa. Inget ya, gak usah. Aku ngambek tujuh hari liat aja kalau kamu beliin aku barang-barang lagi."
"Ya udah, buat hadiah ulang tahun aja bulan depan."
"Kamu ngasih hadiah itu pasti ada hadiah lain-lainnya juga. Sepatu, tas, novel, haduh pusing. Gak usah iihh, akunya gak enak."
Aku tersenyum tipis. Selalu seperti ini. Rana yang mandiri dan punya sebongkah besar rasa sungkan di hatinya.
"Iya, iya. Nanti aku beliin apa yang kamu mau aja, ya? Tapi harus ada. Kalau kamu bilang gak mau apa-apa, aku bakalan beliin kado sesuka hati."
"Ampun-ampun. Iya, siap kapten!"
Terdengar suara gerendel pagar dibuka dari ujung sebelah sana. Sepertinya Rana sudah sampai di rumahnya. Belum genap tujuh menit. Tapi, apapun itu, yang penting ia selamat dan aman sampai langkah terakhirnya.
"Aku udah sampe," kata Rana dengan suara yang dikecilkan. Jika seperti ini, hanya ada satu kemungkinan, yaituㅡ "Bapak ada di rumah."
Tanpa sadar, aku tahan nafas. Secara otomatis, jantungku merespon dengan debaran cepat yang tidak nyaman. Seperti seluruh sel di tubuhku dibangunkan dan langsung siaga dalam mode waspada. Dalam hati aku panjatkan doa agar Rana bisa tidur nyenyak malam ini tanpa diselingi air mata.
"I'm one call away, ok? Atau telfonnya gak usah aku matiin aja?"
"Gak apa-apa, matiin aja. Aku gak bakal kenapa-kenapa."
"Janji?"
"Iya." Jawaban Rana terdengar buru-buru dan semakin pelan suaranya. "Udah dulu ya. Kamu istirahat, jangan lupa. Nanti aku chat lagi. Night, mahesa."
Aku bahkan belum sempat jawab ucapan dari Rana saat panggilan tertutup. Nama Rana dan durasi percakapan 00:25:03 muncul di layar.
Sepertinya malam ini akan aku habiskan dengan ponsel tidak terlepas dari tangan. Serindu apapun aku dengan Rana, kuharap tidak ada telfon darinya malam ini. Semoga Rana bisa tidur dengan tenang tanpa perlu menghubungiku karena sesuatu yang bykan-bukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]
Romansaㅡa short chaptered novel #1 - Puitis, September 2023, May 2024 #1 - Doctor, Februari, Mei 2023 #4 - Puitis, Oktober 2022 #1 - Abusive, Oktober 2022 #1 - Hospital, Februari 2023 "Kamu lihat sendiri kalau aku datang penuh warna. Ungu, merah, biruㅡdari...