Pantone 17-4139

149 6 0
                                    

[Rana]

"Hakim menyatakan Saudara Arifin Mukti telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pidana penganiayaan dan percobaan pembunuhan. Maka dari pada itu, Penuntut Umum menjatuhkan pidana kepada Saudara Arifin Mukti berupa penjara selama empat tahun. Dengan iniㅡ"

Telingaku berdengung kencang setelah hakim membacakan vonis yang dijatuhkan kepada Bapak. Air mataku mengalir deras, kalahkan hujan yang sedang guyur ibu kota sejak pagi tadi. Ponselku terjatuh begitu saja ke lantai. Sambungan panggilan yang terhubung dengan Mahesa masih tersambung, tapi tidak satupun sisa perkataan yang masih dibacakan oleh hakim dapat kudengar.

Fokus ku hanya satu.

"Bapak dipenjara..."

Di detik itu, aku rasakan genggaman hangat tangan ibu, yang sejak tadi menemaniku di kamar. Mario terlelap pulas di ruang tamu saat tengah nikmati acara TV kesukaannya. Aku bersyukur adikku jatuh tertidur di saat yang tepat. Ia tidak perlu lihat aku menangis kencang seperti ini.

"Iya, Sayang. Alhamdulillah, alhamdulillah Ya Allah, Rana, kamu menang."

Aku menoleh, dapati wajah ibu yang basah, dan raut wajahnya yang menahan sesuatu agar tidak meledak.

Di detik itu, justru aku yang meledak.

Aku lemparkan tubuhku ke dalam pelukan ibu, dengan tangis yang semakin kencang. Aku pasrahkan kepada ibu untuk topang berat tubuhku, biarkan hangat pelukannya lingkupi aku yang bergetar menahan ledakkan berbagai emosi yang telah terpendam ribuan hari lamanya.

Ibu peluk aku dengan sangat erat. Kata penenang tak henti terucap darinya untuk aku yang masih bergetar hebat.

Selesai?

Selesai sudahkah semuanya? Semua mimpi buru? Semua hari-hari yang dipenuhi oleh perasaan seperti dihantui, apakah kini itu semuaa kan berhenti?

Nyatakah apa yang terjadi saat ini?

Entah untuk berapa lama aku menangis dalam dekapan ibu yang tak berkurang eratnya, tak berkurang hangatnya. Dadaku sesak, tapi di antara sesak air mata yang berjatuhan, terselip rasa lega. Di antaranya, terselip rasa tenang, terselip beberapa harap akan kebebasan dari rasa sakit yang selama ini berusaha aku tutupi dari dunia demi terlihat baik-baik saja.

"Minum dulu, ya?" tanya ibu. Suaranya kini serak. Aku sempat berpikir, apakah suaraku juga sama sengaunya seperti ibu, atau justru lebih parah?

Aku mengangguk, lepaskan lilitan tanganku dari tubuh ibu secara perlahan. Ibu beranjak, setelah berikan aku satu tatapan paling menenangkan yang pernah aku dapatkan seumur hidupku.

"Rana?" Suara Mahesa terdengar dari ponselku yang tergeletak begitu saja di atas kasur.

"I-iya?" Oh, aku tidak sadar menangis seperti tadi buat tanganku bergetar sehebat ini.

Wajah khawatir Mahesa telihat dari seberang sana.

"Hey, you ok? Kamu nangis kencang banget tadi."

Dari keterbatasan yang bisa ditampilkan oleh layar enam inci, aku bisa lihat Mahesa sekarang sedang duduk. Belakangnya hanya tembok, mungkin Mahesa sudah keluar dari ruang sidang dan sedang duduk di sekitar gedung pengadilan.

"I don't know," jawabku. Wah, ternyata suaraku lebih parah sengaunya dari pada ibu. "Beneran ya, ini semua? Atau tadi aku lagi mimpi?" tanyaku, pelan di akhir. Takut kalau ternyata benar, semua ini hanya mimpi.

"It's real, beneran, Sayang."

Air mataku mengalir lagi.

Ah, salah. Dari tadi ternyata air mataku belum berhenti mengalir.

Mahesa cerita banyak. Tentang bagaimana bapak tadi sempat mengamuk, bagaimana sidang berjalan dari awal hingga akhir, bagaimana ia hampir kehilangan kendali saat bapak justru layangkan beberapa pembelaan diri yang memojokkanku dan Mahesa. Semua itu tidak ku dengar, sibuk menangis ternyata mengunciku dari segala yang terjadi di sekitar.

"Tapi kamu gak ikut ribut, kan? Kamu gak apa-apa, kan?"

Mahesa tersenyum di seberang sana.

"Nggak, kok," katanya, lembut. "Ini, buktinya muka aku gak biru-biru, gak berdarah juga. Cuma baju aku aja yang biru, kan? Cerah, kayak langit hari ini. Cerah, kayak senyum kamu yang gak akan pergi, mulai hari ini."

"....huks...jangan ngomong gitu," aku hapus air mataku yang halangi pandanganku sampai-sampai wajah Mahesa jadi buram. "Nanti kesini? Jaga malam kan? Kesini dulu, ya?"

"Iya, pasti."

Aku tarik nafas dalam-dalam, tenangkan diri ku sebaik mungkin.

"Sa, terima kasih banyak."

Mahesa tersenyum lagi. Senyum yang ku suka, yang ku harap tidak akan pernah hilang dari setiap episode hidupku ke depannya.

"Sama-sama, Sayang."

~

a.n

beneran tinggal satu chapter lagi dan epilog terakhir :")

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang