Pantone 732

100 9 0
                                    

[Mahesa]

"Ma? Can i come in?"

"Of course."

Aku membuka pintu cokelat khas kayu mahoni yang sebenarnya tidak ditutup terlalu rapat. Mama sedang membaca bukunya di atas ranjang. Kaca mata baca bertengger di batang hidung Mama, yang kata orang-orang sama persis tingginya dengan batang hidungku. Mama tersenyum lembut, senyum yang menurutku adalah senyuman paling indah di dunia.

Mama meletakkan bukunya di meja, dan duduk tegak. Menepuk sisi sebelah kanannya yang kosong, tanda bahwa aku boleh menempatinya.

"Tiana ada kasih kabar kalau dia udah sampai di Jakarta?" tanya Mama, setelah aku mendudukkan diriku di sisinya.

"Belum, nanti aku tanya, ya."

"Harusnya dia nginep disini satu malam lagi, aja. Gak enak Mama tidur sendirian di kamar ini. Udah terlalu lama kita gak kunjungin, rasanya jadi asing."

"Tiana kan harus kerja, Ma," kataku. "Aku juga. Jadi, besok kita pulang ya?"

"Kondisi kamu, gimana? Are you feeling better, now?"

"I am. Aku udah benar-benar baik-baik aja, Ma. Dan aku merasa bersalah juga karena ngerepotin staff rumah sakit. Kita pulang besok, ya?"

Ekspresi yang Mama tunjukkan menggambarkan ada lebih dari satu keraguan yang mengganggu pikirannya. Namun akhirnya, Mama tetap memberi anggukan.

"Ada kabar apa dari Rana?" tanya Mama.

Aku terkejut. Dua hari ini, selama di villa, Mama tidak ada membahas tentang Rana sekalipun. Walaupun memang, aku juga tidak mengangkat topik tentang Rana di depan Mama. Seakan kami berdua sama-sama tahu bahwa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk membicarakan apapun mengenai aku dan segala tentang Rana.

Aku diam, tidak yakin kalau aku bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan Mama barusan. Terakhir kali aku dan Rana bertukar pesan adalah siang kemarin, saat ia bercerita tentang hujan disana dan mengirimkan foto dirinya yang mengenakan hadiah ulang tahun dariku. Setelahnya, pesanku terdiam di kotak percakapan kami, tanpa terbaca sampai saat ini. Beberapa percobaan panggilan yang aku kirimkan juga hanya sampai ke pesan suara, tidak terangkat sampai dering terakhir menyapa.

"Rana baik-baik aja," entah siapa yang aku yakinkan dengan jawabanku barusan. Mama, atau diriku sendiri. Atau mungkin bentuk doa dan manifestasi agar benar adanya bahwa Rana disana baik-baik saja.

"Sa, mungkin Mama kedengerannya seperti kaset rusak untuk kamu, tapi Mama mau tanya lagi. Are you sure about this? About you and her? About your relationship?"

"Ma, please," aku menghela nafas. "Jangan pertanyaan ini lagi."

Rasanya untuk membahas pertanyaan yang bukan pertama kali ku dengar, saat ini tidak bisa dengan kepala dingin. Aku tidak tenang dengan ketiadaan kabar dari Rana. Pun berada di sini selama dua hari, yang sebenarnya kujalankan dengan setengah hati hanya demi memberi rasa lega untuk Mama, sungguh membutuhkan banyak tenaga, karena aku harus menahan keinginanku untuk kembali saja ke Jakarta. Aku tidak merasa butuh berdiam dan menyembuhkan diri disini.

"Okay, okay. I'm sorry. Mama minta maaf kalau lagi-lagi Mama merasa ragu. But would you please listen to me?"

Aku diam. Dan Mama menganggap diamnya aku sebagai jawaban persetujuan.

"Mama paham kamu sayang sama Rana. I love her too, you know i do, right? I adore her. Mama gak ada masalah selama mengenal Rana sebagai perempuan yang kamu mau bersamai selamanya. Tapi, Mama sayang kamu juga, Sa. Kamu anak satu-satunya Mama. I love you more than i love her. Kalau kamu aja, bisa sesayang itu sama Rana, kamu bisa bayangkan sesayang apa Mama sama kamu?"

"Ma, please. Sshhhㅡjangan nangis."

Kedua telapak tangan Mama terasa dingin saat aku genggam.

"Jadi Mama minta, jangan korbanin diri kamu lebih dari ini. You are free to love her, you are free to love her as much as you want, tapi jangan sampai kamu sakit seperti saat itu. Untuk apapun yang kamu lakukan atas rasa sayang yang kamu punya untuk Rana, jangan lupa kalau Mama juga sayang sama kamu, dan Mama gak rela kalau kamu kenapa-kenapa. I've lost your father, i don't wanna lose you too."

"Mama," ucapku pelan. Mendengar Mama memohon seperti ini membuat ku merasa sakit di sekujur badan yang lebih dari sakit saat aku babak belur tempo hari. "Iya, Ma. Iya. Aku janji, gak akan ada kejadian seperti kemarin lagi."

~

a.n

HUFFTTT akhirnya bagian yang menurut aku sangat susah buat ditulis dan mencari feelnya AKHIRNYAAA selesai juga :")

maaf kalau ada sesuatu yang kurang. aku lagi coba untuk mengembangkan feeling yang ada di cerita ini sedikit-sedikit, biar gak langsung jeder gitu

see you again, soon!!

p.s: kalian lebih suka cover yang ini atau yang lama?

cover lama:

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang