Pantone 2007C

130 8 0
                                    

[Rana]

"Kepala Kakak kenapa?"

Aku tersenyum gemas saat gadis kecil pengunjung kedai hari ini bertanya dengan mata bulatnya yang lucu. Jari telunjuknya terarah ke kepalaku. Walaupun sudah tidak terlilit perban, tapi masih ada perban kecil di bagian belakang kepala yang terluka. Mungkin ia melihatnya saat aku menyiapkan satu cup rainbow festival pesanannya.

"Jatuh di rumah, jadi harus diperban biar cepat sembuh," jawabku dengan senyum.

Bibir gadis kecil itu mencebik. Sepertinya ia tidak puas dengan jawabanku. Pasti ada yang mengganjal di kepala kecilnya.

"Kalau gitu, kenapa Kakak disini? Seharusnya kalau lagi sakit kan kita ke dokter, minum obat, terus bobo di rumah. Kata Mami begitu."

Seandainya dunia berjalan sesederhana jalan pikir anak kecil. Tapi andai-andai tetaplah perandaian. Tidak semuanya bisa jadi kenyataan.

"Karena aku harus kerja," kata ku, sambil menyerahkan cup ice cream padanya. "Ini ice cream nya."

Suara pintu kedai terbuka, mengalihkan perhatianku dari gadis menggemaskan di hadapanku. Wanita paruh baya dengan setelan kasual masuk, menenteng bermacam belanjaan di kedua tangannya.

"Mala, udah selesai beli ice creamnya?"

Gadis kecil yang ternyata bernama Mala ini menoleh ke sosok wanita tadi, yang sepertinya adalah ibunya.
"Mami, Kakak ini sakit."

Wanita tadi mengalihkan pandangannya dari Mala ke arah ku. Aku hanya bisa tersenyum canggung. Mendapat perhatian dari bocah kecil bukanlah masalah, tapi saat orang dewasa yang sudah tahu pahit asin asam manis dunia mulai menatapku dengan kasihan, itu lain hal.

Aku ingin sembunyi.

"Dear, are you ok? Ada yang bisa saya bantu? Ada orang yang bahayain kamu di sekitar sini?"

Aku langsung melambai-lambaikan tangaku. "Eh, saya gak apa-apa, Bu. Ini cuma luka kecil aja, udah diobati juga di rumah sakit," jawabku. "Terima kasih," cicitku pelan.

Ibunda Mala ini merogoh isi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah kartu nama.

"Saya Naomi, salah satu anggota komunitas pelindung wanita di kota ini. Kalau kamu butuh bantuan, kapanpun, feel free to reach out to me, ok?" katanya, ada terselip nada khawatir kudengar. "Karena dari yang saya lihat, luka ini bukan sesuatu yang tidak apa-apa," ucapnya pelan.

Aneh.

Aku terdiam. Dari cara bicara Tante Naomi, tidak menimbulkan kesan yang memojokkan atau mengasihani. Mungkin karena pekerjaannya yang membuat ia bertemu banyak orang yang sama sepertiku.

"Mami, Kakaknya kenapa?"

Saat aku mengangkat pandanganku, Tante Naomi sedang tersenyum sambil mengusap kepala Mala.

"Kakaknya gak apa-apa, sebentar lagi sembuh. Thank you for being such a caring person, my sweet pie."

Mala menunjukkan deretan gigi susunya yang rapi.

"Jadi berapa pesenannya Mala?"

Tante Naomi menyelesaikan pembayarannya dan meninggalkan tip yang tidak sedikit di toples kaca sebelah mesin kasir. Dengan senyuman manis, ia membalas kata terima kasih yang aku ucapkan.

Mala adalah pelanggan terakhir, karena jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Rekanku yang akan mengisi shift selanjutnya sudah ada di ruang ganti, sedang bersiap.

Setelah menyelesaikan semua job desk dan memastikan semuanya beres, Aku berjalan ke ruang ganti. Bertemu dengan Ovi, yang akan mengisi shift selanjutnya.

"Udah selesai, Ran?" tanya Ovi yang sedang membenahi kuncirannya.

Aku mengangguk, kemudian enggantung apron dan topi yang seragamku, lalu berganti pakaian ke jaket berwarna mustard, dan mengambil tas yang ku simpan di dalam loker. Dengan cepat aku memeriksa ponsel yang kusimpan di dalam tas, khawatir ada panggilan darurat dari entah siapapun itu.

Syukurnya, tidak ada pesan mengkhawatirkan yang muncul di layar ponselku. Tanpa sadar, aku menghela nafas.

Gerakanku terhenti saat sadar bahwa kartu nama Tante Naomi masih ada di apronku. Tanpa pikir panjang, aku ambil kartu nama itu dan aku masukkan ke seleting kecil di bagian dalam tasku.

"Duluan ya, Vi."

"Sip. Hati-hati."

Dengan langkah ringan, Aku berjalan keluar ruang ganti. Tanganku baru saja selesai mengunci pintu penghubung antara kasir dengan area pelanggan, suara pintu dibuka lagi.

Aku hampir reflek masuk kembali ke belakang meja kasirㅡkarena Ovi belum muncul juga, saat suara yang begitu ku kenal terdengar.

"Udah tutup ya, Kak, tokonya? Padahal saya kesini sengaja karena penjaga tokonya cantik."

Mahesa berdiri di sana dengan senyum lima jari di wajahnya.

Aku tertawa. "Iya. Lagi pula, gak terima gombalan sebagai alat pembayaran disini."

Tawa lepas terdengar dari Mahesa. Muncul lesung pipi yang selalu kusuka.

"Ya udah, mau ajak Kakak penjaganya jalan aja, deh. Udah ada janji juga."

Pipiku menghangat. Dengan cepat, aku hampiri Mahesa dan berikan ia pelukan kilat.

"Yuk! Jadi, kan ke perpustakaan nasional? Aku udah bawa laptop. Revisiannya banyak."

Mahesa mengambil tas yang tersampir di bahuku. "Jadi dong, kan aku udah janji," katanya. "Yuk, berangkat. Udah bisa ditinggal kan, parlornya?"

Aku mengangguk.

Ah, hari ini cukup menyenangkan.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang