Pantone 7603-C

125 10 0
                                    

[Rana]

"Udah selesai semua PRnya?"

"Udah, Kak."

Jam dinding di kamar Mario sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat. Sejauh ini, hari yang kami lewati terasa menyenangkan. Senyum tak pernah hilang dari wajah Mario. Adik kesayanganku ini sepertinya sangat bahagia dan semangat, tak sabar membawa cat air kebanggaannya ke sekolah. Katanya, ingin ia tunjukkan pada teman-temanya, kalau ia juga bisa punya cat air yang bagus.

Setelah sampai rumah petang tadi, seperti biasa, kami bersih-bersih dan makan malam bersama. Lalu, pasca puas menonton serial kartun kesayangannya, Mario kerjakan pekerjaan rumahnya.

Entah ada dimana dan apa yang dilakukan Bapak hari ini, tapi batang hidungnya tidak kulihat barang satu menit.

Ocehan dan tawa riang Mario sepanjang hari juga berhasil jadi distraksi dari berbagai pikiran jelek yang satu dua kali ganggu kepalaku. Biarlah Bapak mau pulang jam berapa juga. Sekeras apapun aku memikirkannya, dunia tidak akan terbalik begitu saja.

"Kakak gak ngantuk?" Mario bertanya, diikuti dengan kuap kecilnya.

"Ngantuk, abis ini Kakak tidur. Kamu juga tidur, ya."

Mario mengangguk. "Cat air aku dimana, Kak?"

"Oh, iya. Di ruang tamu, belum kita beresin tadi kantung belanjanya, ya? Kakak lupa."

Menguap sekali lagi, lalu Mario duduk di atas kasurnya.

"Aku mau ambil dulu, biar masuk tas sekarang. Nanti ketinggalan. Sekalian mau pipis, Kak."

Aku tertawa. Ternyata ada yang mengganggunya sebelum memejamkan mata.

"Mau ditemenin?"

"Gak usah, aku berani. Kita jalan keluarnya berdua aja. Nanti aku ke kamar mandi, Kakak ke kamar Kakak."

Sambil tersenyum, aku usap kepala kecil manusia kesayanganku ini. "Siap, kapten. Yuk."

Tangan Mario yang sudah tidak terlalu mungil lagi, aku genggam. Celotehannya tentang bagaimana air minum Rafi, teman sekelasnya, tumpah tadi saat sekolah, mengisi perjalanan kami menuju ruang tamu.

"Itu dia cat aku!"

Dengan kaki kecilnya, Mario berlari mengambil car airnya yang dibungkus tas kertas warna cokelat tua di atas meja. Aku usak rambutnya saat ia sudah kembali genggam dua jari tangan kiriku.

"Sekarang pipis?"

Mario mengangguk. "Aku bisa sendiri. Kakak tidur aja, gak apa-apa."

Aku baru buka mulut ingin menjawab perkataan Mario, saat suara yang ku harap tidak perlu ku dengar lagi seumur hidup masuk ke telinga.

"Jadi selama ini kamu gak punya uang itu bohong? Bagus. Hebat. Udah jago kurang ajar sama orang tua."

Rambut halus di sekujur tubuhku rasanya berdiri. Genggaman Mario di jariku mengerat, sudah pasti ia terkejut dan takut sekarang.

Cepat-cepat, aku menoleh ke adikku, dan bicara pelan.

"Mario ke kamar, ya. Pipisnya nanti aja ya, anak pinter? Bantu kakak?"

Dengan mata yang kini sudah berkaca-kaca, Mario mengangguk. Baru dua langkah, ia kembali menoleh ke arahku. Sorot matanya ragu. Tubuh kecilnya berjingkat kaget saat suara Bapak kembali memekakkan telinga.

"DIAJAK NGOMONG TUH JAWAB! BISU KAMU?"

Aku bisa lihat Mario beringsut jongkok di samping laci dekat pintu kamarnya, sebelum belakang kepalaku terhantam sesuatu yang keras.

Pecahan asbak yang baru saja membentur kepalaku berjatuhan ke lantai. Aku balik badan, tatap Bapak dengan nyalang.

"Aku punya uang untuk keperluan aku dan Mario. Bukan untuk Bapak buang-buang."

Pandanganku mengabur. Air mata yang menggunung dan rasa sakit berdenyut di kepala belakangku sama sekali tidak membantu.

Aku hanya ingin selesaikan hari berdua adikku dengan nyaman. Tapi kenapa Tuhan tidak mengizinkan?

"Buang-buang uang kata kamu? Emang siapa yang bikin kondisi keluarga kita kayak gini, hah? Perempuan gak guna yang udah lahirin kalian, yang sekarang gak tau dimana, dia yang hancurin semuanya! Kerjaan, duit, semuanya kabur gara-gara dia, tau gak kamu?!"

Samar-samar, tangis Mario di belakangku terdengar. Tapi, aku tidak punya waktu untuk menenangkan adikku. Bapak sudah merangsek maju dan menarik rambutku.

"Lepas, Pak!"

Sekuat tenaga yang kupunya, aku coba singkirkan kepalan tangan bapak dari kepalaku. Aku berontak, menendang, dan bergerak ke segala arah. Tapi nihil, justru semuanya menghasilkan tarikan yang lebih kuat dari Bapak pada rambutku.

Kalau sudah begini, rasanya Tuhan cabut nyawaku sekarang pun tidak apa-apa.

"Bapak jangan jahatin Kakak. Lepas!"

Aku memejamkan mata, namun jelas mendengar itu suara Mario. Entah apa yang sedang adikku lakukan pada Bapak, aku tidak sanggup membuka mataku. Rasanya kulit kepalaku akan lepas.

Sakit, perih, menghujam. Mual. Mungkin ini yang namanya sekarat.

"Jangan ikut-ikutan, Mario! Lepasin kaki Bapak!"

Tangisan kencang Mario adalah hal terakhir yang aku dengar, sebelum gelap menjemputku tanpa salam.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang