Pantone 17-5024

134 10 0
                                    

[Rana]

Aku meringis saat luka melepuh akibat amukan bapak beberapa hari yang lalu bergesekan dengan kardigan rajut berwarna teal yang aku kenakan hari ini. Sebenarnya, Mahesa sudah ingatkan agar aku tidak dulu mengenakan baju berlengan panjang, untuk mengurangi rasa perih akibat gesekan.

Tapi, selagi bisa ditutupi, kenapa aku harus memamerkan luka yang aku punya pada dunia?

Toko swalayan yang aku datangi hari ini relatif sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang berlalu lalang di antara rak-rak berisi barang yang beragam. Aku hanya butuh membeli beberapa bumbu masakan untuk di rumah. Berbeda dengan dua perempuan yang sepertinya sebaya denganku, sedang bergantian mengambil foto dirinya dengan latar rak display yang penuh warna. Sesuatu yang tidak pernah aku rasakan.

Aku punya terlalu sedikit teman dan terlalu sedikit waktu untuk melakukan hal menyenangkan seperti itu.

Seseorang menabrakku dari kiri secara tiba-tiba.

"Eh, oh my god sorry. Aku jalan sambil meleng ngeliatin barangㅡ Rana?"

Ternyata Tiana yang tanpa sengaja menabrak pinggangku dengan troli belanjanya. Setiap lihat Tiana, aku selalu kagum dengan batang hidungnya yang tinggi. Buat iri.

"Hai," sapaku canggung, lagi.

Kapan sih aku bisa tidak norak dan berinteraksi dengan manusia lain secara normal?

"Maaf ya Ran, aku gak liat. Sakit, gak?" ucap Tiana, dengan raut wajah sungguh-sungguh.

"Gak apa-apa, kok. Gak ada yang sakit juga," jawabku. "Lagi belanja bulanan?"

"Hmm gak juga, sih. Cuma lagi nyari beberapa bahan aja, pengen nyoba masak. Abis diomelin sama nyokap karena selama ini delivery terus." Tiana bercerita.

"Ohh, kamu tinggal sendiri?"

Tiana mengangguk, "Di apartemen, jadi sayang banget kalau nyewa pembantu juga, kan? Apa lagi seringnya aku makan di luar karena jadwal praktik dan lain-lain. Jadi, kalau di rumah, ya pesen aja."

Aku mendengung sebagai jawaban. Bingung harus berkata apa lagi. Kemampuanku untuk menyambung percakapan dengan orang baru ternyata masih pentium satu.

Demi menghilangkan kecanggungan, aku pura-pura memilih buah kalengan dan membaca label kemasannya. Padahal, tidak ada niat sedikitpun untuk membeli buah dalam kemasan seperti ini. Yang aku butuhkan adalah kecap asin.

"Apa lagi pas aku cerita tentang masakan kamu, nyokap bilang 'tuh temen kamu aja bisa masak, coba kamu juga belajar' gitu," kata Tiana, sambil memasukkan sirup maple ke dalam troli belanjanya.

"Kamu cerita ke Mama kamu?"

Pertama, Tiana bercerita tentang aku, yang bukan siapa-siapanya (setidaknya itu yang aku pikirkan), kepada Mamanya.

Kedua, Mama Tiana menyebutku teman Tiana.

Ketiga, Mama Tiana menjadikanku contoh untuk anaknya.

Aku pusing.

Dengan santai, Tiana mengangguk. Ia mendorong troli belanjanya dengan tangan kanan, dan menggandengku dengan tangan kirinya.

"Yes. Karena masakan kamu waktu itu enaakk banget, i was so excited i told my mom about that. Tapi aku malah disuruh belajar masak gara-gara itu," rajuk Tiana dengan nada penuh canda.

Tiana cantik, social butterfly, supel, ramah, dan dekat dengan Mamanya. Banyak hal yang tidak aku punya, bisa ditemukan dengan mudah dalam dirinya.

"Terus, dari awal kita ketemu, kamu gak manggil aku 'kak' atau kelihatan jaga jarak karena usia, gitu. So i assume you see me as a friend too. Atau kamu sebenarnya gak nyaman? Aku SKSD ya?"

Gelengan cepat aku berikan sebagai jawaban. "Nggak, kok. Aku malah minta maaf, gak sadar gak pernah manggil pakai 'Kak'. Maaf ya, kak."

Aku baru sadar akan hal itu. Ya Tuhan. Malu!

"Nooo, gak apa-apa. Jangan panggil 'Kak' gitu, ah. Kamu kan pacarnya Mahesa. Anggap aja kita seumuran, okay? Jadi aku ngerasa muda juga."

"Bener gak apa-apa? Aduh aku malu banget kesannya gak sopan, tapi sadarnya telat. Maaf banget ya, Kak."

Tiana tertawa. "It's fine. Gak usah panggil aku Kakak."

Aku tersenyum meringis. Tiana lanjut terus berjalan sambil membawaku di sebelahnya. Telapak tangannya sangat halus.

"Oh iya, boleh gak aku minta resep masakan kamu yang kemarin? Yang aku cobain itu?"

"Kakak mau coba masak itu?"

"Jangan panggil aku Kakaaak~" Tiana merengek.

"AH IYA iya, maaf," ucapku cepat. "Kamu mau nyoba?"

Tiana tersenyum lebar dengan kalimat ku yang sudah direvisi.

"Yes! Tapi kalau kamu gak mau juga gak apa-apa."

"Gak, kok. Aku gak masalah. Nanti aku kasih dengan senang hati!"

Senyum Tiana melebar dengan cantik.

"Okay, save nomor handphone aku, ya."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang