Pantone 17-0119

110 11 0
                                    

[Rana]

Aku benci ulang tahunku. Sudah aku katakan sebelumnya, tapi biarkan aku mengulangnya sekali lagi; aku benci ulang tahunku.

Tidak bisakah semesta bertanya terlebih dahulu padaku sebelum memutuskan untuk melepasku dari rahim Ibu dan memaksaku untuk menjalani hidup yang entah dimana ujungnya ini? Setiap hari aku jalani dengan ketidakpastian yang memuakkan.

Hariku saat matahari belum terbenam terisi dengan tawa dan ucapan selamat bertambah umur dari banyak orang. Tapi setelah sang surya menutup sinarnya, tiba-tiba saja keadaan putar balik seratus delapan pulih derajat.

Melihat Mahesa terluka karena Bapak adalah salah satu mimpi terburuk yang bisa kubayangkan. Dan hari ini, di hari yang kubenci, hal itu menjadi kenyataan.

Ingatan mengenai Bapak yang berlalu pergi begitu saja, bahkan sebelum beberapa tetangga datang untuk membantu karena teriakanku, mengisi kepalaku. Tidak mau pergi. Entah manusia macam apa Bapak itu.

"Kakak." Suara Mario membuyarkan lamunanku. Kami berdua sedang duduk di kursi tunggu di lorong dekat pintu terakhir Mahesa dibawa untuk pemeriksaan lebih lanjut.

"Iya, kenapa? Kamu haus?"

Mario menggeleng. "Kakak belum makan."

Aku tersenyum. Kutundukkan kepalaku untuk mencium kening Mario.

"Nanti Kakak makan. Makasih ya, udah ingetin Kakak untuk makan."

Lengan kananku dipeluk Mario. "Kata guru aku, kalau terlambat makan bisa sakit. Kakak jangan sakit."

"Iya, sayang. Kakak gak akan sakit."

Helaian rambut Mario terasa halus di antara jemariku yang mengusap kepalanya. Hanya berselang beberapa detik, kurasakan helaan nafas Mario berangsur teratur. Adikku terlelap tidur.

Kubaringkan Mario di kursi tunggu, karena memang tidak ada siapa-siapa lagi selain kami disini. Sebisa mungkin kuusahakan mengatur posisi tidur Mario agar nyaman. Baju seragamnya sudah tidak licin seperti tadi pagi. Adikku pasti lelah luar biasa.

Tanpa bisa kucegah, mataku mengeluarkan begitu banyak air mata. Frustasi rasanya saat masih jelas di ingatanku bagaimana siang tadi Mario dengan bahagia memakan kue tiramisu di kedai kerjaku. Tapi malamnya, ia terpaksa memejamkan mata di kursi tunggu rumah sakit karena Kakaknya tidak cukup manusia untuk dimanusiakan oleh Bapaknha.

Air mataku kupaksa berhenti saat dering ponsel memecah hening karena lorong hanya diisi olehku dan Mario yang sejak tadi tak bergeming. Nama Tante Amalia, muncul di layar. Jantungku berdebar tidak karuan, mengingat fakta bahwa Tante Amalia pasti menghubungiku karena anak laki-lakinya yang kini terluka.

"Halo. Iya Tante?"

"Rana, kamu masih di rumah sakit? Tante udah di parkiran. The traffic was crazy. Mahesa dimana sekarang?" Rentetan pertanyaan dari Tante Amalia. Panik terdengar menggelayuti setiap kata.

Tanpa tunggu lama, aku jelaskan dimana posisiku saat ini dan apa yang sedang mereka lakukan pada Mahesa. Setenang yang kubisa, aku coba gambarkan kondisi Mahesa yang menurut dirinya sendiri tidak separah itu, walaupun rasa khawatir rasanya mencekik leherku.

"Thank god. Tante sekarang sudah di lobby. I'll see you in no time, sweetheart."

"Iya, Tante. Aku tunggu."

Telepon diputuskan.

Tak sampai lima menit waktu berselang, Tante Amalia muncul di balik persimpangan ujung lorong rumah sakit. Pakaiannya yang biasa elegan, kali ini hanya berupa terusan rumahan yang dibalut kardigan hijau tua.

Semakin buruk rasa bersalah yang kurasakan, jika mengingat bahwa secara tidak langsung, akar masalah dari semua musibah yang terjadi hari ini adalah karena aku dilahirkan.

"Hai, darling. Dimana Mahesa?"

Aku mencium tangan Tante Amalia. Beliau balas tanda hormatku dengan usapan di bahu.

"Masih ada pemeriksaan sama Tiana, Tante."

Tante Amalia menghembuskan nafas. "Semoga gak ada hal-hal yang membahayakan," ucapnya, pelan. Mata Tante Amalia terlihat bengkak. Mungkin ia menangis sepanjang jalan.

Dan itu semua karena aku.

"How about you? Are you ok?"

Seperti bendungan, seakan air mataku tidak ada habisnya, aku menangis lagi untuk yang entah keberapa kalinya hari ini.

Memalukan.

Tante Amalia memberikan pelukan padaku yang menyembunyikan wajah di balik tangan. Tanpa suara, ia berusaha menenangkan.

Jika bisa, aku ingin bumi membuka dan biarkan aku tertelan ke dalam.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang