Buram

102 7 0
                                    

[Rana]

Halo, Rana. Anak ibu yang sangat berharga.
Maaf ibu pergi tanpa pamit. Semuanya terjadi didorong dengan begitu banyak kepanikan. Yang ada di kepala ibu hanya ingin selamatkan diri dan lari. Tapi yang pasti, pelan-pelan ibu sedang cari cara untuk bawa kamu dan mario untuk temukan kebahagiaan, bersama dengan ibu. Tolong bertahan, sebentar lagi.

Ibu tulis surat ini karena sepertinya belum mungkin untuk ibu datang dan membawa kalian pergi dengan aman. Di balik kertas ini ada nomor telfon yang bisa rana hubungi kapan saja. Kapanpun rana siap, kapanpun anak ibu butuh, hubungi ibu, ya. Ibu menunggu sambil mengusahakan segala yang ibu mampu agar rana dan mario bisa keluar dari rumah itu.

Peluk dan sayang, dari Ibu.

Kepalaku seperti dihantam batu bata yang dijatuhkan dari ketinggian bukan main. Seakan kejadian kemarin belum cukup untuk porak porandakan kebahagiaan hidupku yang hanya seujung sendok banyaknya, kini datang sepucuk surat yang tak pernah kuharapkan kemunculannya.

Telalu banyak kata yang sulit kumengerti tertulis di atas kertas buram ini. Bukan, bukannya aku kehilangan kemampuan untuk memahami tulisan. Tapi maknanya terlalu berantakan. Semuanya sangat sulit kupahami, tak satupun memiliki makna yang tersurat secara gamblang.

Apa maksudnya Ibu sedang mengusahakan agar aku dan Mario temukan kebahagiaan?

Menghubungi Ibu kapanpun? Kenapa baru sekarang?

Kenapa harus dititipkan kepada Pak Agam? Apa Ibu tidak mau bersua secara nyata denganku?

Apa semua ini ada hubungannya dengan gulai ayam yang ditemukan Bapak di kamarku kala itu?

Tak ada satupun pertanyaan yang terjawab. Aku muak. Aku hanya ingin tidur nyenyak seperti Mario yang sudah menyelam ke alam mimpi di balik selimut hangat di kamarnya sejak tadi.

Lebih dari tiga puluh menit kuhabiskan untuk menunda waktu dan rasa penasaran yang menggerogoti sejak kulihat surat ini. Sudah kucoba untuk mendistraksi semua suara yang menyuruhku untuk segera membuka, segera membaca suratnya. Menyiapkan makan malam, membantu Mahesa berganti pakaian, membersihkan badan.

Namun ternyata tidak ada durasi yang pasti yang mampu mempersiapkanku akan terbukanya luka dan rasa trauma yang dibawa oleh deretan kata di dalam secarik kertas ini.

"Apa sih?"

Kuremat surat di tanganku dan kulempar ke pojok ruangan. Hati dan kepalaku sedang tidak memiliki kapasitas untuk mengurusi lebih banyak emosi lagi. Lelah. Terlalu banyak yang terjadi. Aku tak peduli dimana tepatnya kertas surat itu jatuh di pojok dekat lemari.

"Jangan nangis, ish," bisikku pada diriku sendiri. Terdengar sangat menyedihkan.

Dengan kasar ku hapus air mata yang keras kepala dan tetap melepaskan diri dari kelopak mata. Aku benci menangis untuk hal mengesalkan seperti ini.

Seluruh komponen ragaku seakan berteriak padaku untuk mengambil ponsel dan menghubungi Mahesa. Satu-satunya tujuan yang kumiliki untuk berbagi cerita. Satu-satunya sumber rasa aman yang bisa ku kais. Namun, ingatan bahwa Mahesa sedang tidak baik-baik saja, dan aku adalah penyebabnya, mematikan segala niat yang kupunya.

Hari ini aku hanya bisa menangis sambil meredam suara.

Entah berapa lama aku tersedu dimakan habis oleh rasa sendu, saat denting ponsel menyapa telingaku yang berdengung karena terlalu lama ditekan karna aku tak ingin dengar isak ku yang menyedihkan.

Ada pesan dari Mahesa.


Aku diculik mama nginep beberapa hari di villa :(

Katanya, biar hirup udara segar

Gak di apartemen terus

Kamu mau nyusul?


Kepada semesta yang menahanku untuk tidak menghubungi Mahesa beberapa menit yang lalu, ku ucapkan terima kasih.

Hanya ada sedikit hal yang mampu kulakukan untuk membalas jutaan kebahagiaan yang kudapatkan dari Mahesa. Salah satunya adalah, memberinya waktu untuk menjauh dari betapa berantakannya kehidupan yang ku punya.

~

a.n

rencananya aku bakal main kesini lagi hari jumat. doakan ya semoga ga ada hal yang menghambat!!

terima kasih sudah baca <3

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang