Temaram

112 8 0
                                    

[Rana]

Kalau boleh dipertemukan dengan Tuhan, aku ingin mengamuk. Aku ingin meraung agar Tuhan membatalkan kelahiranku ke dunia. Aku ingin menangis sekencang mungkin agar Tuhan membatalkan rencananya. Aku ingin berteriak agar seluruh alam semesta paham bahwa aku tidak sanggup.

Aku tidak mau hidup.

Aku tidak mau dilahirkan.

Muak rasanya merasa gusar setiap membuka mata. Merasa khawatir setiap kecap rasa bahagia barang sedetik karena aku tahu bahagiaku tidak pernah berumur panjang. Merasa lelah setiap mengehela nafas karena bertahan hidup tidak lagi terasa hidup.

Ingin rasanya aku kibarkan bendera putih. kepada siapa saja yang melihat. Kepada siapa saja yang berlalu, agar mereka paham bahwa aku sudah di ambang pasrah dan ingin menyerah.

"Sana lari. Coba kabur. Mau lari kemana, hah?"

Suara Bapak masih mampu terdengar di tengah dengungan yang menyerah telingaku dengan kacau. Mengedipkan mata menjadi barang mewah, aku tak sanggup untuk memilikinya. Seperti tubuhku dipaksa untuk terus waspada, untuk terus memperhatikan Bapak yang dapat menggila lebih dari ini, kapan saja.

Masih bisa terasa bagaimana hebatnya tubuh Mario bergetar dalam pelukanku yang hanya mampu melindunginya dengan tidak seberapa.

Tidak boleh. Mario tidak boleh terluka.

"Nanti kakak cepat-cepat lulus kuliah, terus kita tinggal berdua. Mario mau?"

"Mau! Yeay! Aku gak sabar."

Pintu kamar Bapak tendang hingga terbuka lebih lebar. Dalam hati aku terus berdoa agar kali ini saja, cukup satu kali ini saja datang keajaiban agar episode mengerikan ini berhenti secepatnya. Konyol rasanya kalau aku mati disini, terlebih lagi mati di tangan Bapak. Tidak sudi. Terlebih lagi ada Mario disini, tidak boleh ada apapun yang terjadi padanya.

Aku mundurkan badan walau tidak berarti apa-apa. Dinding kamar seolah menertawakan nasibku yang tidak bisa kabur kemana-mana. Tubuh Mario masih bergetar ketakutan, leherku masih sakit seakan ingin lepas dari tempatnya, seolah ada ribuan jarum menusuk segala sisi tubuhku tanpa kasat mata.  

"Gak bisa lagi kamu kabur kemana-mana, Rana." Bapak mengangkat tangannya yang memegang pisau. 

Oh, ia mengarahkannya padaku. Sepertinya pisau itu akan ia lempar ke depan dengan aku sebagai sasaran-

"GAK BISA LAGI KAMU KABURㅡ AAAAKKHHH!"

"JANGAN JAHATIN KAKAK!!!!"

Semuanya terjadi begitu cepat. Yang aku tahu, aku terlambar menghindari satu detik. Pisau yang Bapak lemparkan masih berhasil berikan goresan yang cukup dalam di lengan kanan. Terbakar, perih luar biasa. Tenggorokan ku tercekat di detik yang sama. Dengungan di telingaku sangat berisik, terlalu banyak suara. Yang bisa telingaku tangkap adalah teriakan Bapak dan jeritan tangis Mario.

Di dekat pintu, Bapak menunduk memegangi dahinya yang berdarah. Di dekatnya ada vas bunga yang pecah.

"AKU LEMPAR LAGI KALAU BAPAK JUGA LEMPAR-LEMPAR!" jerit Mario di tengah raungan tangisnya. "Kakaakk, huksㅡ" Kini ia beralih kepadaku. Tangan kecilnya berusaha menutupi luka yang ada di sana.

"Mario!" Bapak berteriak, dengungan telingaku makin nyaring. Tak peduli seberapa kencang aku menggelengkan kepala, dengungan di telinga dan rasa pusing tetap tak hilang. "Siapa yang ngajarin kamu kurang ajar sama Bapak?!?! Makanya jadi anak laki-laki jangan kebanyakan manja sama Kakak kamu. Sama aja kamu jadi anak gak berguna sekarang, malah kurang ajar!"

"BAPAK JAHAT!!!!"

"DIAM KAMU!!"

Bapak merangsek maju. Mario menjerit kencang.

Di detik itu, aku pejamkan mata sekuat tenaga. Mengeratkan pelukanku di tubuh adikku. Menahan rasa mual yang kian naik ke tenggorokan. Menyerah, kepada seluruh rasa sakit yang mendera. Berserah kemana saja akhir cerita akan membawaku dengannya.

Di detik itu, di tengah temaram, sebelum aku menundukkan diri sedalam-dalamnya pada ketidaksadaran, suara sirine terdengar. Dentuman tembakan nyaring bersuar. Suara-suara melengking bersahutan.

"Angkat tangan!"

Di detik itu, aku rasakan tubuhku melayang ke dalam dekapan yang nyaman, yang tak asing hangatnya, yang tawarkan tenang yang aku rindukan.

Di detik itu, aku sadar bahwa sekali lagi, Mahesa datang.

~

a.n

halo!!! maaf untuk update yang terlambat. bulan ini sangatttt hectic huhuhu akhirnya aku baru bisa upload chapter ini sekarang :(

tinggal beberapa chapter lagi dan cerita yang penuh warna ini akan selesai. tungguin ya, smeoga next chapter bisa datang lebih cepat dari yang sekarang. aku usahakan!!

p.s: kalian bisa mampir ke cerita baruku, Laut dan Bulan, sambil nunggu chapter dari Rana dan Mahesa yang selanjutnya <3 here's a glimpse of Laut dan Bulan;

:::

"Tau gak, kenapa kalau bulan lagi deket sama bumi, air laut jadi pasang?"

"Karena pasang surut air laut dipengaruhi sama gravitasi bulan terhadap bumi, kan?"

"Salah."

"Hah? Terus kenapa?"

"Karena Laut jatuh cinta sama Bulan, makanya dia maunya deket-deket terus sama Bulan."

"Orang aneh."


:::


p.s.s: ampai ketemu lagi!! aku sayang, selalu<3

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang