10. Kriteria Ideal

4.6K 536 129
                                    

Terlahir menjadi satu-satunya putra dari keluarga Jungantara, membuat Marvin tumbuh dengan penuh kasih sayang dari kedua orangtuanya. Tak ada saudara untuk berbagi kasih sayang orang tua, seluruh perhatian hanya untuk dirinya, bahkan apapun yang ia minta pasti akan dikabulkan oleh kedua orangtuanya. Dimanjakan oleh orangtuanya membuat Marvin merasa ketergantungan dengan Mama dan Papanya. Hingga di satu malam di hari kelulusan SMA nya, ia mengatakan pada kedua orangtuanya soal keinginan untuk tinggal sendiri. Sang kepala keluarga sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarganya, tentu paham apa yang putranya inginkan. Perijinan untuk tinggal sendiri akhirnya berhasil Marvin kantongi dengan mudah.

Kamar kos berukuran 5×5m dengan fasilitas ekslusif pun akhirnya menjadi tempat tinggal baru Marvin. Kepala keluarga Jungantara benar-benar memikirkan kenyamanan putranya. Salah satu kesenangan Marvin saat pertama kali pindah kesana, adalah Leksi sahabatnya yang akhirnya ikut menyewa kamar di sebelah kamarnya. Marvin tak terlalu kesepian, sebab Leksi memiliki nasib yang sama dengannya. Anak laki-laki tunggal dari keluarga harmonis namun selalu dimanja. Keduanya menjadi sahabat, bahkan hampir seperti saudara sendiri. Banyak hal yang Marvin bagi pada Leksi, kecuali satu hal. Soal kehidupan percintaannya.

Marvin sadar betul, kehidupan percintaannya dengan Leksi sangat jauh berbeda. Leksi si social butterfly, mudah memikat dan mendekati wanita manapun yang ia mau. Sedangkan Marvin, mudah memikat namun tidak dengan mendekati.

Marvin sudah merencanakan, bagaimana pasangan hidup yang akan ia pilih nanti. Seorang wanita cantik, pintar, anggun, lemah lembut, bisa diandalkan, dan tentu menyayanginya dan keluarganya. Semua kriteria itu ia dapatkan dari Mamanya. Melihat bagaimana mulusnya perjalanan rumah tangga kedua orangtuanya, membuat Marvin termotivasi untuk menemukan seseorang seperti ibunya.

Lelaki itu memiliki standar tinggi dalam hal menentukan pasangan. Prinsip yang ia pegang teguh sejak masa dimana ia mengerti apa itu cinta, masih tegak berdiri hingga detik itu. Satu cinta dalam hidup. Hal itu membuatnya tak gampang mendapat pasangan, sangat sulit. Ia terlalu pemilih. Marvin selalu memilih siapapun wanita yang akan ia dekati.

Saat ia tiba-tiba menyalahi kriterianya sendiri dengan mengajak Hera berkenalan. Ia merasa sangat bersalah, sebab ia tahu gadis itu jelas menyukainya. Namun dalam hatinya saat itu, semua terasa sangat benar. Ia merasa lega ketika akhirnya ia mengetahui nama gadis itu, bahkan ketika akhirnya mereka bisa mengobrol dengan akrab tanpa ada rasa canggung. Marvin merasa semua berjalan dengan begitu benar. Oleh sebab itu ia selalu mensugesti dirinya sendiri ketika ia jatuh berkali-kali dalam pesona Hera. Bahwasannya Hera adalah teman. Sebab Hera, teramat jauh dari standar pasangan impiannya.

Sampai ia sadar bahwa dia telah berjalan terlalu jauh dari niat awalnya untuk berteman. Marvin sadar dia sangat menyukai gadis itu. Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk mendekati seseorang yang sangat sesuai dengan keinginannya. Yasmin, gadis muda yang ia kenal dari festival kampus. Cantik, pintar, lemah lembut, anggun, semua hampir mendekati kriteria yang sudah Marvin tetapkan. Namun semua terasa tidak pas.

◎◎◎

"Kak, kita mau nonton apa? Film horror ya? Please! Aku pengen banget nonton film ini, kata temen-temenku bagus!" Ucap Yasmin semangat. Marvin terkekeh, mengusak rambut Yasmin yang digerai.

"Ya udah lo beli popcorn sama minum dulu sana. Gue yang antri tiket." Yasmin memekik girang lalu berjalan menuju stand popcorn.

Sejenak ia menatap poster besar dengan gambar menyeramkan. Marvin benci film horror. Namun Yasmin tampak sangat ingin menontonnya.

Pikirannya melayang, mengingat kejadian di awal perkenalannya bersama Hera. Keduanya sama-sama tidak suka film horror. Mereka saling menantang untuk menonton film horror terbaru, di bioskop yang sama dengan yang ia sambangi hari ini. Sudut bibirnya terangkat saat ia ingat bagaimana keduanya malah asik mengobrol sepanjang film diputar, untuk menghilangkan rasa takut. Namun tanpa sengaja mereka terfokus pada layar besar di hadapan keduanya. Tepat saat adegan terseram muncul, keduanya menjerit ketakutan sampai saling memeluk. Hera dan Marvin tertawa geli setelahnya, dan memutuskan untuk keluar teater. Lalu membeli tiket menonton animasi baru, dan menontonnya.

Teknik Mencuri HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang