42. Resepsi

4.9K 449 92
                                    

Bagian dari rangkaian pernikahan apa yang paling penting bagi sepasang kekasih? Pengucapan janji? Jelas benar. Pemasangan cincin? Benar juga. Namun bagi Hera dan Marvin, saat yang paling mereka nanti bukanlah kedua hal tersebut.

Saat sang pembawa acara meminta keduanya untuk berjalan berdampingan, menghampiri kedua orangtuanya yang tengah duduk rapi di atas kursi mereka sedikit bersitatap. Tersenyum sebentar untuk saling menguatkan sebab akan datang waktu haru. Marvin menuntun Hera perlahan, sebab ekor gaunnya yang menjuntai hingga ke lantai. Pertama mereka menghampiri kedua orang tua Marvin. Tiana dan Javier menatap putra putrinya sendu. Hera yang jongkok pertama kali, tak memedulikan gaun putih yang akan kotor sedikit.

Gadis itu meraih kedua tangan Tiana, mencium punggung tangan wanita yang telah membawa suaminya ke dunia. Tak lupa mengucapkan rasa terimakasih yang begitu besar sebab menerimanya untuk menjadi putri pertama mereka.

"Mama, doakan Hera jadi istri yang baik untuk Marvin ya. Terimakasih sudah kasih Hera restu untuk mendampingi Marvin." Tiana merasakan sesak di dadanya. Mana mungkin ia menolak perempuan semanis Hera untuk jadi menantunya.

Wanita itu menepuk pundak terbuka Hera, mengusapnya lembut sebelum ia menundukkan kepalanya. Mengangkat wajah putri barunya dan mengecup pucuk kepalanya perlahan.

"Bahagia ya Hera sayang. Mama Tiana ibu Hera juga sekarang. Jangan ragu untuk minta tolong atau cerita apapun ke mama. Mama tahu kamu akan jadi istri yang baik untuk anak mama." Marvin menyodorkan tisu yang diberikan petugas WO dari samping pelaminan. Gadis itu sesenggukan, lalu menepuk pelan bekas tetesan air mata di pipinya. Lalu beranjak bergeser menuju Javier yang tampak lebih tegar.

Javier tipe ayah yang lebih suka menganggap anaknya sebagai kawan. Ia tak sekaku Jo untuk menunjukkan perhatiannya. Lantas saat Marvin berlutut di depan pria itu, Javier tersenyum lebar. Meremat pundak putra satu-satunya dan menepuk pipinya perlahan.

"Vin, sudah gede. Sudah jadi suami orang. Jangan cengeng lagi ya, jangan pernah lari ketika ada masalah di rumah tanggamu. Jadi pria yang bertanggungjawab. Papa tahu kamu sejak kecil itu orangnya punya rasa tanggungjawab besar, bisa diandalkan. Bahkan di umur kamu yang sekarang sudah punya rumah sendiri. Jagain anak perempuan papa ya, sayangi Hera seperti keluarganya menyayangi Hera. Sekarang anak papa bukan cuma kamu lo, kalo sampai anak perempuan papa dibikin nangis yang ngehajar kamu bukan cuma Bang Jo. Papa juga bakal cari kemanapun kamu pergi. Sini peluk papa, kamu udah gede gak pernah mau dipeluk-peluk lagi sama papa." Marvin terkekeh dengan air mata yang tak kalah derasnya dari Hera. Ia peluk pria tua yang sejak dulu selalu ia andalkan. Menyalurkan rasa sayangnya sebagai seorang anak selama 26 tahun hidupnya.

Namun acara belum selesai. Kini keduanya akan berhadapan dengan orangtua Hera, yang sejak tadi sudah haru menatap kedua anaknya yang masih meminta restu orang tua Marvin. Hera bersimpuh, meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu. Cita tersenyum, mengusap lembut rambut anaknya membayangkan bagaimana dulu gadis cilik itu ia timang-timang saat susah tidur. Kemudian gadis cilik yang selalu jadi sumber keceriaan keluarganya, yang kini sudah tak sebayi dulu. Hera memejamkan matanya. Merasakan usapan hangat seorang ibu yang selalu ia jadikan sandaran saat lelah, sedih, dan bahagia. Mamanya adalah yang terbaik.

"Mama, Hera sudah jadi istri ma. Hera minta doa restu, semoga kebahagiaan dan kesejahteraan selalu bersama keluarga kecil kami. Semua ajaran yang mama berikan, pasti akan Hera lakukan di pernikahan kami. Hera minta kekuatan mama sedikit sebagai seorang istri dan ibu boleh ma?" Cita menangis deras, ia sampai terbata-bata saat mau mengeluarkan kalimat penenang untuk putrinya.

"Adek, anak perempuan mama satu-satunya. Bahagia ya sayang. Mama tahu adek akan jadi pendamping yang sangat baik untuk Marvin. Lalu akan jadi ibu yang baik juga untuk anak-anak kalian nanti. Mama minta maaf ya kalau mama banyak salah dalam mendidik kamu. Mama gak bisa kasih kamu banyak uang, gak bisa beliin kamu semua yang kamu mau, mungkin juga mama kadang bikin kamu sedih, gak mengerti maunya adek. Tapi cuma ilmu yang bisa mama titipkan buat adek di masa depan. Semoga apa yang mama ajarkan saat bersih-bersih, masak, menghormati suami, menjadi perempuan yang penyayang dan peka, apapun itu bisa membantu adek jadi istri yang menyempurnakan Marvin. Ingat ya, meskipun kamu sudah menikah selamanya kamu akan jadi gadis kecil mama. Hormati dan hargai suamimu ya?" Hera mengangguk tak bisa berkata-kata. Ia memeluk erat mamanya seolah tak ada hari esok.

Teknik Mencuri HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang