Pergi mengajukan diri ke medang pertempuran memang bukan hal yang mudah, sekalipun Alexia sudah bersemangat dan terlampau berani, ia perlu memikirkan perasaan ibu dan saudarinya, mereka telah lama hidup bersama. Meski kenyataannya Alex hanya sekedar anak tiri sebatang kara, orang-orang itu menyayanginya.
Ibu marah sejak tahu Alex mendaftar, sampai sekarang wanita itu tidak berbicara sedikitpun, bahkan tak mau berlama-lama berselisih tatap dengan si bungu.
Carlotte segera menyingkir pergi dari dapur saat mendapati kedatangan Alex. Keterdiamannya membuat si bungsu sakit hati tentunya. Bukan bermakusd egois dan hanya mementingkan diri, tapi Alexia sadar kalau sebaiknya ia melakukan sesuatu untuk memerjuangkan keluarga daripada cuma menunggu hewan ternak beranak kemudian dijual. Sayembara itu adalah kesempatan langka walaupun harus menantangnya dengan nyawa.
"Ibu, jangan begini terus..."
Carlotte sontak menghentikan langkah, pandangan matanya berubah sinis bak tokoh antagonis dalam buku cerita tentang ibu tiri, "Batalkan saja dulu kepergianmu, baru kita berbaikan."
Alex sadar kalau Carlotte dan Helena menyayanginya, mereka marah bukan tanpa sebab, melainkan karena memendam kekhawatiran terhadap dirinya.
"Aku ini bukan anak kandungmu, bukan saudari Helena! kita cuma kebetulan satu rumah karena ayahku, keluarga sedarah satu-satunya yang sudah tiada. Kalian seharusnya tidak sebegitu peduli padaku—"
Belum selesai Alexia melanjutkan perkataan, Carlotte sudah lebih dulu mengambil sapu di sudut ruangan, lantas tak segan memukulkannya pada Alex yang berlari menghindar sambil menangis.
"Jadi selama ini kau tidak menganggapku sebagai ibumu?! kau pikir hubungan kita ini sebatas apa?!"
"Aku minta maaf, bu. Aku tidak bermaksud," mohon Alex sembari berlutut, tak peduli kalau tubuhnya harus terkena pukulan. Tapi kala gerakan berontaknya berhenti, ibu pun melembut tanpa berniat melakukan kekerasan.
Wanita itu turun perlahan, ikut bersimpuh sembari merengkuh tubuh anak tirinya, "Alex, kau itu putriku, sama seperti Helena, tidak ada perbedaan di antara kalian. Tolong berhentilah membedakan dirimu, kita keluarga dan harus selalu bersama, maka dari itu tolong jangan pergi kemanapun. Turuti ibu kali ini saja."
"Tapi aku sudah berjanji," kepala Alex mendongak, matanya yabg sembab terlihat jelas karena akhir-akhir ini sering menangis, "Aku janji saat ayah dimakamkan lima tahun lalu. Ibu dan Helena adalah prioritasku, kalian harus bahagia, sementara aku cuma ingin mencarikan kebahagiaan itu."
"Kau hanya mengejar uang, Alex. Kebahagiaan kami itu dirimu."
"Kalian tidak bahagia, makan ubi rebus setiap hari itu tidak menyenangkan walau selalu bersama-sama."
Carlotte tersenyum tipis mendengarnya.
"Ibu tolong, restui aku kali ini saja. Aku meminta doa agar bisa mendapatkan apa yang ku harapkan, itu demi kita semua."
•••
Perjalanan menuju hutan utara bagi para kontestan sudah dipersiapkan oleh kerajaan. Tiga gerbong kereta pada akhirnya digunakan untuk mengantar mereka menuju lokasi terdekat hutan tersebut. Tiap satu gerbong kemungkinan terisi dua puluhan orang, hampir semua orang berjenis kelamin pria.
Suasana di dalam kereta berbeda dari apa yang dibayangkan. Semua manusia di sana tampak sangat percaya diri, sama sekali tidak gentar meski mereka tahu akan menyambut kematian. Bahkan ada yang tak segan membawa anggur dan meminumnya dalam beberapa kali teguk, kemudian tertawa riang seolah sedang melupakan beban.
"Hey, bocah!"
Alexia menoleh merasa dipanggil pria bertubuh kekar yang memegang guci berisi anggur, ia pun mengelak, "Maaf, tapi umurku sudah 18 tahun."
Orang itu tertawa bersama komplotannya yang juga bertubuh kekar seperti petarung handal, "Apa yang membuatmu mengikuti kompetisi gila ini?"
"Aku mau hadiahnya," balas Alex yakin.
"Dengan tubuh sebesar batang lidi itu? kau yakin?"
Alexia masih menjawab dengan serius meski ditertawakan, "Tidak ada binatang buas di hutan utara, tak usah mengerahkan banyak tenaga, aku cuma perlu berhati-hati dan selalu fokus."
"Kau pikir itu benar? itu cuma rumor yang tidak jelas asal-usulnya."
"Lalu bagaimana dengan kalian? otot besar itu tidak akan berguna kalau yang ku katakan benar," ujarnya menantang balik.
"Paling tidak ada yang kami andalkan selain keberanian tak terbatas," mereka kembali tertawa keras, sengaja mengejek Alexia yang terlampau percaya diri tanpa memiliki keahlian bela diri sedikitpun.
"Aku punya pengetahuan," sela gadis itu tak mau kalah. Tapi ketimbang harus menghadapi orang-orang yang cuma menghibur diri dengan cara merendahkan orang lain, lebih baik ia diam, tenggelam agar tidak dihiraukan atensinya.
Alexia menyadari ada perempuan lain selain dirinya yang berada di gerbong ini. Dia menutup kepala menggunakan tudung jubah kebesaran, tampak bola matanya bergetar disertai keringat bercucuran di pelipis.
"Kelihatannya kau takut, kenapa ikut?" Alexia mendekatinya.
"Keterpakasaan," balas gadis berjubah itu, "Rasanya aku seperti sedang menjemput ajal."
"Kau bisa bilang pada petugas kalau tidak mau ikut."
"Tidak, aku lebih baik mati di hutan itu ketimbang terus mendapatkan siksa di rumah."
"Ah, aku sedikit mengerti keadaanmu." Alexia tersenyum mencoba memahami, ia lantas mengulurkan tangan, "Karena hanya kita perempuan di sini, mari berteman. Namaku Alexia Sawyer."
Gadis itu menggrleng, tudungnya tertelungkup semakin rapat, "Kau tak perlu mengenalku, kita akan mati."
"Setidaknya sebutkan nama supaya aku bisa mengenal arwahmu." Alexia tertawa, tentu saja hanya bercanda untuk mencairkan suasana muram di sekeliling gadis itu.
"Jane Marellyn."
Alexia mengalihkan pandangan pada celah tirai jendela yang tersingkap, tampak cahaya mulai meredup, "Lihatlah Jane, tempat itu sudah di depan mata kita."
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Northern Black Dragon [] Bangchan
FantasíaSebuah bayangan sekelebat terlintas di depan mata, suasana yang dibawa begitu suram nan gelap. Hingga sepersekian detik kemudian, sosok naga hitam hadir di hadapanku, berubah menjadi seorang pria berbaju zirah dari tembaga-dia berlutut seraya mengul...