_13 Past Memories

162 41 0
                                    

"Ya tuhan panasnya tidak terkira!" gerutu Messy, bibirnya tak henti mengeluh sekaligus mengumpat sejak beberapa saat lalu—tepatnya ketika mereka mendapati cahaya hantu yang sangat besar, namun menghilang dalam sekejap kedipan mata.

Alexia masih berlarian, mengejar kabut gas biru itu seperti akan menangkap seekor kelinci liar. Membuat keempat pria dibelakangnya ikut kewalahan. Sampai pada akhirnya mereka sadar kalau seluruh wilayah hutan itu benar-benar hangus, sebagian pepohonan masih mengeluarkan percikan api. Suasana panas dan kacau jauh lebih buruk ketimbang yang dirasakan di pemukiman manusia.

"Jadi benar-benar kawasan ini yang menyebabkan hawa panas sampai ke pemukiman kita." Messy mengeluh, segera diangguki yang lainnya.

"Masalahnya cuma pembakaran, semua sudah selesai dan bisa diketahui. Bukankah kita harus kembali dan memberikan informasi ini ke kerjaaan?" usul Holm.

"Wow, itu artinya kita akan mendapat jaminan kesejahteraan seumur hidup."

Parker mengusal dagu, alisnya mengerut pertanda ada hal janggal yang tengah dirasakan, "Aku tidak merasa mendapat banyak tantangan mengerikan selama perjalanan masuk, apakah saat pulang masih akan sama?"

"Semoga saja begitu."

Alexia menyela. Di antara para pria berbadan kekar, ia yang mungil sekaligus ringkih dengan beraninya menyentak perhatian orang lain,."Teman-teman, ku mohon jangan kembali sekarang. Aku perlu mencari keberadaan cahaya hantu untuk menanyakan sesuatu."

"Sejujurnya itu agak beresiko, karena meski wilayah ini kelihatan aman dan tenang, aku merasa ada sesuatu yang mengerikan sedang mengintai kita," ujar Ruddy. Dia orang yang paling tidak fokus diantara yang lain, karena batinnya peka—mengenai marabahaya yang mengintai di sekitar.

"Itu cuma firasatmu," timpal Holm.

Alex berbalik, memandang keempat kawananya penuh harapan, "Kalau begitu kalian boleh pergi terlebih dulu, aku bisa mencarinya sendiri. Tapi tolong sisakan sebagian hadiah sayembara ini untukku," ia mengulas senyum lebar setelah itu.

"Kami tidak bisa pulang tanpanmu, kau harus jadi pemandu karena makhluk-makhluk buas itu bisa saja menyerang jika kami tidak bersamamu." Holm menggelengkan kepala, yak menyetujui pendapat Alex.

"Atau lebih baik kau pulang dulu untuk mendapatkan hadiahnya, dan kembali kemari lain waktu," usul Parker.

"Benar juga, aku ingin menunjukkan diri pada ibu dan Helena kalau aku baik-baik saja." Alex bergumam.

•••

Ditengah padang bunga berwarna-warni disertai semilir angin sepoi, Jo menyandarkan kepala dan punggungnya tepat pada batu—di mana pedang perak sebelumnya tertancap.

Ia berpikir kisah ini seperti dongeng. Mengambil pedang dari sebuah batu dan digunakan untuk melawan musuh sekaligus menyelamatkan tuan putri. Hanya saja, ia malah diarahkan untuk membunuh ayahnya sendiri menggunakan senjata yang amat menakjubkan itu.

Bentuk pedangnya berbeda dari yang biasanya digunakan prajurit kerajaan Ameruth. Lebih besar, berat, dan indah, terutama karena aksen ukiran naga pada bagian pangkalnya.

Gambar naga itu seakan hidup, sehingga pedangnya tampak bernyawa.

'Kau memang bukan seorang petarung, tapi kau mewarisi ketahanan dan postur tubuh ayahmu yang luar biasa sekalipun sudah bereinkarnasi berkali-kali. Lagipula pedang itu akan membuatmu fasih dengan sendirinya, tak perlu berlatih terlalu keras untuk menggunakannya.'

Jo memandang ke atas, tepatnya pada langit yang kosong, seakan ada selubung di atas sana, "Siapa kau sebenarnya, kenapa sedari tadi terus membicarakan tentang ayahku?"

'Sederhananya, aku ini penguasa. Aku butuh kau untuk memusnahkan ayahmu—karena tak ku sangka dia sangat kuat hingga mampu bertahan sampai sekarang.'

"Kau tidak bisa menyuruh seorang anak untuk membunuh orang tuanya. Sekalipun jika aku mendapat kompensasi."

Suara berat itu tampak mendesau gusar, 'Kau tidak faham—maksudku, kau belum faham.'

"Kalau begitu berikan kepahaman padaku!" sentak Jo mulai tak sabar menghadapi perkataan berbelit-belit, hal itu cukup menguras otak. Ia tak punya tujuan kemari selain untuk menjemput Alexia, bukannya malah mendapat misi membunuh, "Kepalaku sedari tadi terus bertanya-tanya terhadap perkataan ambigumu!"

'Sebelumnya, aku butuh perjanjian.'

Johanesse tidak mrnjawab, ia tak mau terjebak ke dalam sesuatu yang lebih gila.

'Akan ku tunjukkan seluruh ingatan dari masa lalu asalkan kau bersedia menandatangani perjanjian ini.'

Sebuah gulungan papirus besar tiba-tiba terperosok dari langit, jatuh tepat di depan Jo. Tanpa ragu dia membuka, dan membaca sekilas, sebelum akhirnya mengangguk, "Yah, aku bersedia."

'Sebaiknya kau baca lebih teliti, Johanesse.'

"Tidak perlu, lakukan saja sekarang," ungkap Jo tak sabaran. Sejujurnya ia tak sungguhan membaca catatan panjang yang tertulis pada kertas papirus coklat itu.

'Bersiaplah memasuki masa lalumu, asal mula semua kegelapan dan kesuraman ini.'

Sesaat kemudian, Johanesse merasakan hawa yang berbeda. Tidak ada lagi ladang bunga, kini tergantikan dengan ruang kegelapan, sempit, berlendir, penuh darah, tetapi hangat dan sangat nyaman.

To be continued...

Bisa nebak kan, Johanesse lagi dimana

Northern Black Dragon [] BangchanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang