Bab 13 Deklarasi Cinta

207 49 5
                                    

Abi terdiam di depan Aya. Ada meja permanen yang menjadi sekat keduanya. Untuk beberapa saat mereka hanya beradu tatap. Dan wanita berkulit kuning langsat itu yang pertama mengakhiri dan meneruskan aktivitasnya yang tertunda--mengelap sisa tepung di meja.

“Tadi kamu ajak Elle bikin cup cake?” tanya Abi dengan santai, berbanding terbalik dengan ekspresinya. 

“Iya, kenapa? Mau marah karena saya buat dapur kotor? Saya lagi bersihin kok, ini,” ketus Aya pada sang suami. 

Apa-apaan makhluk yang satu ini, kenapa dia terlihat santai begitu padahal sudah pindah tempat tidur selama tiga hari? Aya hanya tidak habis pikir.

“Kok, saya tidak dikasih?” 

“Ada tuh di kulkas. Dari Elle untuk Papa katanya,” tukas Aya masih tidak memalingkan wajah pada Abi.

“Untuk saya dari kamu, mana?”

Aya hanya mendesah heran dan dengan kesal melempar lap ke atas meja. Ia berpaling kembali pada wajah Abi dan memasang senyum yang dipaksakan lantas berucap, “Bapak kok bisa, ya. Berbuat seperti ini sama saya?”

“Seperti ini bagaimana maksud kamu, Aya?”

“Ya, begini. Kenapa sifat Bapak berubah-ubah setiap saat? Apa Bapak sengaja? Berakting seperti tidak terjadi sesuatu? Saya tidak lupa, Pak!” 

Napas Aya memburu, amarahnya memuncak saat ini karena tingkah laku Abi yang selalu membuatnya bertanya-tanya. Aya menggeleng kuat dan pria itu tidak membalas ucapannya. Detik berikutnya keheningan mengalun karena Abi tetap tidak bersuara.

“Kemarin saya sempat berpikir bahwa itu semua salah saya. Tapi coba Bapak cari tahu di mana letak kesalahan saya? Saya cuma ingin mengenal Elle, cuma ingin mengenal Bapak lebih dalam. Apa itu tidak boleh?” ucap Aya bergetar. Bukan hanya suaranya, tetapi tubuhnya ikut bergetar hebat. Tangannya bahkan mengepal kuat.

“Saya hanya bertanya tentang istri pertama Bapak. Apa itu salah? Apa yang membuat Bapak kesal ketika saya menyinggung tentangnya?” 

Abi yang tetap membisu membuat Aya ingin menangis rasanya. Namun, sekuat tenaga ia mencegah untuk tidak menangis di depan sang suami.

“Baik, kalau  tidak mau menjawab. Ini baru satu, selanjutnya rahasia apa lagi yang akan ditutupi dari saya? Jika seperti ini, kenapa Bapak meminta saya untuk menikah dengan Bapak? Jika tidak ingin berbagi hal-hal privasi. Kenapa memilih saya masuk ke dalam hidup Bapak? Saya ragu Bapak memiliki perasaan dengan saya.” 

Aya kini berteriak. Biarkan saja semua penghuni rumahnya tahu bahwa ia sedang marah besar. Memang hanya Abi dan Elle yang bisa berteriak dan marah-marah. Di situasi tertentu, Aya bahkan bisa lebih mengerikan dari keduanya.

Pria berwajah tampan nyaris sempurna itu menajamkan mata sebelum melangkah mendekat pada Aya dan menarik pergelangan tangan wanita itu dan menyeretnya ke kamar. 

Dengan wajah terkejut Aya tidak dapat menjawab, hanya bisa pasrah, dan berusaha mengikuti langkah suaminya.

“Kamu masih tanya saya mau menikah sama kamu karena apa?” 

Abi dengan gelagapan mencari ponselnya. Membuka galeri dan menunjukkan satu dari beberapa foto yang serupa pada Aya.

“I-ini apa?” tanya Aya memandang fotonya sendiri yang wajahnya begitu sabar mengajari Elle. 

“Itu foto kamu waktu jadi guru les Elle. Saya suka ambil foto tanpa sepengetahuan kamu. Maaf. Maaf karena tidak pernah mengatakan ini. Tapi saya cinta sama kamu, Aya.”

“Bapak ….” Aya tidak dapat berkata-kata setelah ucapan cinta dari Abi. 

“Coba kamu pikir, kalau saya tidak cinta sama kamu. Saya tidak peduli, saya tidak mungkin menyelamatkan kamu dari wartawan bahkan dua kali, Ya. Jangan kamu pikir karena tidak pernah berkata cinta. Saya tidak memiliki perasaan sama kamu,” jelas Abi dengan raut frustasi. 

Sementara Aya masih mencerna semuanya. Namun, memang benar, jika Aya berpikir secara logika. Kalau Abi tidak mencintainya untuk apa laki-laki itu peduli?

“Kamu masih ragu? Sekarang saya tanya sama kamu, kenapa kamu mau menikah sama saya?” 

Aya terdiam sebab ucapan Abi. Ingatannya terlempar ke belakang. Keduanya memang tidak pernah melakukan tindakan romantis seperti saling bertukar kata cinta. Aya mengakui dirinya tidak berani mengungkapkan cinta pada Abi, karena selama ini ia belum yakin. Apa benar ia mencintai pria itu? Atau mencintai uangnya?

“Saya tidak pernah ragu sama kamu, Ya. Kamu memang tidak pernah berkata cinta. Tapi saya bisa lihat sendiri dari cara kamu mengurus saya dan Elle. Itu semua bentuk cinta kamu pada kami. Iya, kan?”

Hidung Aya sudah memerah sejak beberapa menit yang lalu. Abi memang selalu bisa membuatnya kesal. Sifatnya yang sulit ditebak dan perhatiannya yang tiba-tiba muncul hingga tidak bisa diantisipasi. Adalah perpaduan yang pas untuk membuat Aya menangis.

Air mata Aya meleleh, ia tidak dapat menyembunyikannya lagi. Rasa kesal juga haru. 

“Kok, malah nangis?” Abi mendekat dan membawa Aya dalam pelukannya. Ia mengusap punggung wanita itu lembut. Berusaha menangkan.

“Udah, udah. Jangan nangis. Saya minta maaf. Kemarin saya capek, kerjaan kantor banyak. Mood saya tidak terkontrol jadi saya marah sama kamu.”  

Dalam usahanya membujuk sang istri agar berhenti menangis. Abi mencoba menjelaskan sebab ia membentak Aya.

“I-Iya.”

“Iya, apa? Saya tadi bicara panjang lebar tapi kamu cuma jawab 'Iya'.”

“Iya, saya maafin. Iya saya cinta sama Pak Abi.” 

Aya menangis semakin kencang dan memeluk Abi semakin erat. Entah mengapa, seutas perasaan lega hinggap di hati Aya setelah berteriak, mendengar penjelasan Abi, dan menangis. 

Setelah susah payah berusaha menenangkan diri, akhirnya Aya mengangkat wajahnya memandang sang suami. Matanya yang bulat dan berair serta bibirnya yang melengkung membuat Abi gemas.

“Saya cinta kamu, Ayana.”

Sebuah kecupan manis Abi hadiahkan pada Aya tepat di bibir wanita itu. Malam ini, keduanya tergelincir dalam hasrat. Saling berbagi kasih dalam dekapan. 

Dalam ketenangan keduanya menyatukan cinta.

Tbc

Buat kalian makasih ya udah sayang sama cerita ini.

Life Scenario ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang