Bab 16 Prasangka

176 50 2
                                    

Awalnya Aya tidak berniat pergi ke kampus. Hari ini ia ingin memanfaatkan toleransi tiga kali absen di salah satu mata kuliah dan berniat memasak lagi di dapur dengan Elle. Rencana itu berubah 180 derajat setelah menemukan Abi tertidur sambil memeluk foto mantan istrinya di ruang kerja. Abi memilih tidur di sofa, tanpa selimut.

Kenapa? Apa pria itu merindukan sang mantan istri atau bagaimana? Aya tidak dapat berspekulasi apa pun.

Wanita berbibir tebal itu berjalan tanpa minat di kampus. Benar. Ia tidak berminat melakukan apa pun hari ini sebenarnya. Namun, berdiam diri di rumah akan semakin membuatnya tersiksa dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar di dalam otaknya. Jadi, ia memilih kabur ke kampus. Walau kenyataannya cara ini tidak berhasil membuat pikirannya teralihkan dengan materi yang yang sedang dipaparkan dosen di depan kelas.

Aya malah menopang dagu, pikirannya tidak fokus. Telinganya seakan tuli dan hanya dapat mendengar suara dari batinnya yang meronta.

Jadi, apa sebenarnya selama ini Abi sering diam-diam tidur di ruang kerja? Apa ketika malam semakin larut pria itu meninggalkannya? Jujur saja, Aya tidur seperti orang mati kecuali dalam keadaan tertentu.

Sejauh yang bisa Aya ingat. Ketika matanya terbuka di pagi hari saat di mana Abi di sampingnya, adalah ketika malam-malam tertentu. Malam ketika mereka saling membutuhkan.

Selebihnya, Aya terbangun sendirian di pagi hari. Ia selalu berpikir bahwa Abi adalah pria yang pintar mengatur waktu. Pria itu mungkin saja bangun lebih pagi dan berolahraga atau lainnya, bukannya masih tertidur di ruang kerja dan memeluk foto Jelita.

“Sekarang silahkan membuat kelompok. Satu kelompok terdiri dari 5 orang. Kita akan praktek ke UMKM yang ada di sekitar kampus. Silahkan, anggota kelompok bisa dipilih sendiri.”

Suara gemuruh mahasiswa yang sibuk mencari teman satu kelompok tetap membuat Aya bergeming. Setidaknya sampai seseorang menepuk bahunya.

“Aya.” 

Bahu gadis itu naik karena terkejut. Ia memutar kepala berusaha menemukan orang yang memanggil namanya seperti orang bingung.

“Eh, Jeno, kenapa?”

“Kamu udah dapet kelompok? Mau satu kelompok juga nggak sama aku? Sama Kiora juga.”

“Kelompok?” Aya bahkan tidak tahu tentang membuat kelompok. Ia benar-benar tidak mendengar instruksi dosen.

“Iya, kita mau praktek lapangan. Kelompok kita kurang satu orang.”

“Oh, ya boleh deh.” 

Aya segera mengangguk karena sepertinya hanya ia yang belum memiliki kelompok. Setelah pembagian, masing-masing kelompok diminta mencari objek penelitian di sekitar kampus, lalu sang dosen menjelaskan point-point yang harus dipahami mahasiswa.

“Kalian nanti akan study kasus. Langsung ke tempatnya. Bukan lagi dari artikel. Tugas ini dikumpulkan dua minggu dari sekarang. Paham, ya? Baik, saya akhiri. Selamat siang,” tutup Pak Romi, Dosen Manajemen di kampus Aya sebelum membereskan berkas lalu pergi. 

“Kita nyarinya hari ini, ya. Biar waktu kita banyak untuk ngerjain,” usul Prima. Ketua BEM di fakultas Aya.

“Setuju, sih. Lebih cepat lebih baik. Yuk sekarang.” 

Ketika semua teman satu kelompoknya berjalan Aya mengekori. Kiora yang melihat sikap Aya yang terlihat murung segera menghampiri.

“Ya, kamu sakit, ya? Kok pucet gitu?”

“Hah? Enggak, kok. Belum makan aja kali. Jadi pucet,” jawab Aya.

“Kenapa? Apa masalah sesuatu?” Kiora kembali bertanya.

“Itu … aku. Aku nggak papa, Ra.” 

Aya menutup mulutnya kembali. Sebisa mungkin jika ini menyangkut urusan rumah tangganya. Sebaiknya ia tidak bercerita pada siapa pun. Orang yang menyayanginya akan turut iba. Namun orang yang membencinya akan bahagia jika tahu ia memiliki masalah.

“Beneran, ya nggak papa?” 

“Iya, Ra. Cerewet banget ih,” protes Aya saat ia dan kelompoknya sampai di tempat parkir. 

“Takutnya kamu hamil tapi nggak sadar.” Aya hanya merotasikan bola matanya. Ia sedang datang bulan. Tidak mungkin hamil.

“Eh, Kiora nggak ada motor, ya? Mau naik mobil?” tanya Jeno saat menghitung jumlah motor. Hanya Jeno dan Prima yang membawa motor. 

“Mobil aku di bengkel. Aku nanti minta anter pacarku aja. Kalian mending jalan dulu deh. Nanti sharelock, ya?” pinta Kiyora sebelum semuanya pergi.

“Iya.”

***

Aya duduk di jok belakang motor Jeno dengan kikuk. Pria itu meminta dengan sopan pada Aya sebelumnya. Ia juga memberikan helm.

“Nggak papa, kan Ya kamu bonceng aku?”

“Oh, nggak papa kok Jen.”

Awalnya di atas motor yang sama mereka hanya terdiam. Namun Jeno akhirnya memulai percakapan dengan Aya.

“Ya, kenapa waktu nikah nggak undang-undang?” tanya Jeno pada Aya.

“Iya, memang sengaja, takutnya kalian kaget aku nikah tiba-tiba. Kebanyakan juga temen suamiku yang dateng.”

“Oh, jadi gitu?” timpal Jeno. “Kamu kok nggak jualan kue lagi? Udah nggak boleh ya sama suami?” lanjutnya bertanya. Sepertinya Jeno adalah pria yang enak diajak mengobrol dan selalu dapat mencari topik lain.

Sepanjang perjalanan, Aya bahkan tertawa lepas saat Jeno bercerita hal lucu. Sebenarnya suaranya terdengar samar karena angin. Namun, Aya masih dapat mendengarnya.

Setelah mencari tempat praktek mereka pergi ke warung burjo yang buka 24 jam. Siang ini udara terasa panas. Mungkin minum es kopi atau lainnya bisa mengobati dahaga.

Aya yang kelaparan juga memesan indomie rebus khas warung burjo. Dengan asap yang masih mengepul Aya ingin langsung menyantap mie itu. Perutnya benar-benar keroncongan.

“Ya, itu kan masih panas. Kalo lidah kamu mati rasa gimana?” Jeno langsung merebut mie dan garpu yang digenggam Aya. Wanita itu langsung melongo.

“Sini, kalo males aku yang tiupin.” Wanita itu makin melongo, ia kaget saja melihat Jeno begitu perhatian padanya yang sudah memiliki suami. Gila saja. 

“Jen, aku laper.” 

“Nih.” Jeno menyumpal mulut Aya yang terbuka dengan roti agar wanita itu berhenti mengoceh. “Makan dulu rotinya, nggak sabaran amat.” 

Hal selanjutnya yang Jeno lakukan adalah mengusak rambut Aya, hingga hatinya berdebar. Oh, apa ini? Kenapa hatinya tiba-tiba berbunga-bunga karena hal sederhana seperti ini? Gila.

Aya segera melirik Jeno. Pria itu hanya tersenyum manis padanya dan mendorong mie dalam mangkuk, kembali pada Aya. Mata wanita itu berpindah ke mangkuk mie. Rasanya sudah malas memakannya. Tiba-tiba saja ia keyang. 

Tiba-tiba saja ia kesal dengan perasaan yang timbul karena Jeno. Mungkin, jika dulu ia dan Abi berpacaran perasaan ini tidak asing bagi Aya. Namun, mereka bahkan tidak pernah pacaran. Bermesraan saja tidak pernah. 

Abi hanya pernah berpacaran dengan Jelita. Memori indah Abi mungkin saja hanya ada bersama wanita itu walau itu sudah lama terjadi. Mungkin itu alasannya pria itu merindukannya, hingga masih menyimpan fotonya untuk diri sendiri.

Bersama Aya, Abi hanya … tidak ada. Tidak ada kenangan apa pun.

Aya mengembuskan napas di depan mangkuk mienya. Sialan sekali. Pikirannya kacau.

Tbc

Kenapa aku selalu terpikirkan Jeno kalo bikin cowok figuran. 🙃

Life Scenario ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang