Part 12

79 14 0
                                    

⊱ ────── ❁ ❁ ❁ ───── ⊰

Marry menangis di pemakaman Laura, sahabatnya. "Semoga kau tenang di alam sana, Laura."

Sementara itu, April sudah bisa kembali ke mansion, setelah keadaannya cukup membaik.

April duduk di bangku ayunan di halaman belakang. Ia tidak tahu kalau Jeremy sedang memperhatikannya di kejauhan.

Anak laki-laki itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu pada April, tapi Jeremy memilih untuk pergi dan tidak jadi mengatakan uneg-uneg dalam hatinya.

Keesokan harinya David, Natasha, dan Jeremy pergi ke sekolah. Sementara April belum bisa pergi ke sekolah, karena ia masih belum sepenuhnya pulih.

April bosan di kamar. Ia memilih untuk berkeliling di mansion. Gadis kecil itu menatap pintu yang terbuat dari kayu dan dicat dengan warna marah bata, berbeda dengan kebanyakan warna pintu mansion seluruhnya yang dicat dengan warna cokelat pudar dikombinasikan dengan cat dinding mansion berwarna krem.

Tangan mungil April bergerak menarik gagangpintu tersebut. Ternyata tidak terkunci.

Ruangan tersebut kosong. Tidak ada apa pun di dalam sana. Hanya ruangan bercat putih yang sudah melepuh dimakan usia. Padahal ruangan lain di mansion tersebut semuanya sudah dicat ulang dengan warna krem. Seolah-olah ruangan tersebut sengaja dibiarkan begitu saja.

Tanpa pikir panjang, April pun masuk dan melihat ke sekeliling ruangan. Pandangannya tertuju pada lantai yang sedikit mencuat ke atas. Gadis kecil itu berjongkok kemudian mengangkat lantai tersebut. Ada ruang berbentuk persegi di bawah lantai itu yang ukurannya kira-kira 15 x 15 sentimeter.

Di dalamnya ada beberapa kertas berwarna kuning pudar. Sepertinya itu adalah kertas-kertas yang sudah lama tersimpan dan warnanya yang tadinya putih berubah menjadi kuning pudar.

Satu per satu April membacanya. Ternyata itu adalah surat yang ditulis dengan tinta menonjol.

Sebuah foto yang terselip di antara tumpukan kertas jatuh ke lantai. April mengambilnya. Dalam foto tua itu terlihat ada 4 orang anak kecil. Dua anak laki-laki dan dua lagi anak perempuan.

"April, kau sedang apa di sini?"

Suara Kakek Martin membuat April terkejut. Ia menoleh melihat Kakek Martin berdiri di ambang pintu ruangan yang menatap ke arahnya dengan tatapan terkejut.

"Apa itu di tanganmu?" tanya Kakek Martin sambil berjalan menghampiri April. Ia terkejut melihat foto tua di tangan April.

"Kau menemuon foto ini di mana?" tanya Kakek Martin sambil merebut foto tersebut dari tangan April.

"Apakah itu foto masa kecil Kakek Martin dan juga saudara-saudara Kakek?" tanya April.

Kakek Martin mengangguk dengan berat.

April kembali bersuara, "Lalu gadis kecil berambut panjang itu...."

"Dia bukan siapa-siapa," Kakek Martin memotong ucapan April.

April menatap Kakek Martin dengan serius. "Dia Marlyne Golvench, kan?"

Kakek Martin tampak terkejut. Ia menatap April dengan tatapan bingung. "Bagaimana bisa kau tahu?"

April tidak segera menjawab. Ia masih menatap Kakek Martin dengan tatapan tak terbaca.

"Apa orang tuamu yang memberitahumu?" tanya Kakek Martin.

April menggeleng. "Tidak, orang tuaku tidak pernah menceritakannya. Aku tahu namanya dari belakang foto tersebut."

Kakek Martin membalikkan foto tersebut. Ternyata memang ada empat namanya di bagian belakang foto tua itu.

Tiga nama yang lain tentunya sudah diketahui April. Oleh kerena itu, April langsung berpikir kalau satu anak perempuan di foto adalah seseorang bernama Marlyn Golvench. Begitu yang ada di pikiran Kakek Martin.

"Ya, Marlyn Golvench adalah bagian dari kami. Dia saudari kami yang tewas saat dia masih kecil. Jadi, orang tua kami, yaitu kakek buyutmu, memutuskan untuk melupakannya, karena kematiannya membuat kami trauma dan terpukul, karena kami masih kecil waktu itu," jelas Kakek Martin.

April mendengarkan.

Kakek Martin melanjutkan, "Aku harap kau merahasiakan ini dari yang lainnya. Tidak seharusnya dia diketahui oleh siapa pun."

"Kenapa?" tanya April.

"Tidak seharusnya dia lahir ke dunia ini dan menjadi bagian dari keluarga Golvench." Kakek Martin menyuruh April keluar dari ruangan itu. Setelah mereka berdua keluar, Kakek Martin mengunci pintunya dan berlalu meninggalkan April yang masih berdiri di depan pintu.

"Sayang sekali, kasihan nasibnya. Jika saja dia masih hidup, mungkin dia akan menjadi orang yang baik," gumam April sambil menatap pintu tersebut.

Keesokan harinya, April pergi ke sekolah bersama David, Natasha, dan juga Jeremy.

Di kelas 1-D, seperti biasa Jennifer mengabsen muridnya dengan menyebut nama mereka satu per satu.

"Apriley Golvench?"

April mengangkat tangannya. "Hadir."

Setelah selesai mengabsen, Jennifer mengeluarkan ponselnya lalu mengotak-atik gawai tanpa peduli pada murid-muridnya.

April melihat ke luar jendela. Tampaknya gadis kecil itu sedang memikirkan sesuatu.

Sementara itu di mansion Golvench, Hailey tampaknya tertidur pulas di sofa sambil memeluk ponselnya.

April berdiri tak jauh dari sofa tempat  Hailey tidur. Entah bagaimana ceritanya April bisa berada di mansion, padahal ia sedang di sekolah tadi.

Pandangan April tertuju pada gunting kuku di meja.

April menaiki tangga menuju ke lantai dua. Gadis kecil itu melewati kamar Jack dan Susan. April mendengar suara desahan dari kamar itu. Melalui pintu yang sedikit terbuka, April melihat Jack yang sedang asyik berhubungan intim dengan dua pelayan muda sekaligus. Pria itu tidak pergi ke kantor dan memilih berselingkuh.

April tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia tidak peduli sama sekali. Pandangan April teralihkan ke pintu kamar bayi di mana Marsha berada.

Hailey masih berpetualang di dunia mimpi. Tiba-tiba terdengar suara tangisan Marsha. Hailey tersentak bangun, tapi ia kembali tidur, karena rasa kantuk yang terus menyerangnya.

Gunting kuku yang tadinya di meja menghilang entah sejak kapan.

Tidak ada yang memperdulikan tangisan Marsha. Bahkan ketiga pengasuh sibuk berbincang sambil makan-makan di dapur bersama pelayan-pelayan yang lalai akan tanggung jawab mereka.

Kakek Martin dan Nenek Sarah juga tidak peduli. Setiap hari mereka hanya menghabiskan waktu halaman belakang tanpa mau tahu apa pun.

Paulina tiba di mansion. Ia mendengar suara tangisan Marsha sampai depan mansion.

"Bayi itu masih saja menangis. Apa tidak ada pelayan atau pengasuh yang peduli? Seharusnya mereka tidak mendapatkan gaji sama sekali jika mereka tidak mampu melakukan pekerjaan dengan benar!" gerutu Paulina. Ia masuk dan melihat Hailey tidur di sofa.

Karena kesal, Paulina memukul pantat putri sulungnya itu. "Kau membolos lagi?"

Hailey terbangun karena ibunya. Ia mendengus kesal. "Tidak bisakah Ibu membiarkanku tenang sehari saja?"

"Ke mana perginya para pelayan dan juga para pengasuh? Kau tidak dengar sepupumu menangis?" tanya Paulina.

Hailey mengedikkan bahunya dan melanjutkan tidur.

Paulina mendengus kesal. Ia pun menaiki tangga menuju ke kamar bayi. "Aku datang padamu bukan berarti aku peduli padamu, Marsha."

Dibukanya pintu kamar bayi. Paulina menghampiri ranjang bayi. Kedua matanya terbelalak lebar melihat darah di kasur, selimut, dan juga baju yang dikenakan oleh Marsha.

Ada gunting kuku yang berlumuran darah di meja.

Paulina berteriak histeris.

⊱ ────── ❁ ❁ ❁ ───── ⊰

07.24 | 1 Januari 2022
By Ucu Irna Marhamah

APRILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang