Titik tidak percaya diri setiap orang itu berbeda-beda. Jangan disamakan.
***
Hari ini semesta menyambut pagiku dengan baik. Tidak ada hujan yang menetes barang setitik sejak dini hari. Mentari bersinar terang seakan-akan siap menyalurkan kehangatannya. Burung-burung hitam berterbangan di atas genteng cokelat seperti menari-nari mencoba bermain bersamaku. Deraian air di pancuran keran menjadi lagu pagiku saat membersihkan lantai rumah.
Rumah dengan segala kehangatannya.
Oh, hai. Perkenalkan namaku Isnaini. Hanya satu kata. Tidak lebih. Kalian boleh memanggilku Aini.
Umurku hari ini genap 24 tahun.
"Assalamualaikum, Ni, ada nasi pecel di atas, ambil cepetaaan!" Sayup-sayup suara kudengar dari balik dinding ruang tamuku.
Ah, itu Bu Inah. Salah satu tetangga yang sangat baik terhadapku. Bu Inah tinggal tepat di samping rumah bercat putih kotor milikku. Rumahnya cukup besar, luas, dan tanamannya banyak. Dindingnya diberi cat berwarna hijau yang menyejukkan mata. Plafonnya tidak ada yang rusak. Dua jendela depannya sangat menyilaukan mataku pagi ini karena tidak ada debu yang menempel. Kinclong.
"Waalaikumsalam, makasih Bu! Jangan sering repot-repot!" Sahutku.
Ada dua bungkus nasi pecel yang menanti diriku. Tuhan sangat baik. Pagi ini memang hari ulang tahunku. Kalau kalian ingat, pagi ini aku tengah bersenandung kecil sembari membereskan rumah. Tak lama lagi Hari Raya Idul Adha! Aku sudah tidak sabar menunggunya. Jadi, aku menghabiskan waktu dengan membersihkan seisi rumah.
Walau rumahku tidak begitu besar, tidak bagus, tidak bertingkat, cenderung kecil dan dihimpit puluhan bangunan besar lain milik tetanggaku, rumah yang bahkan sangat sulit mendapatkan sinar mentari di sore hari karena terhalang tembok besar rumah Pak Slamet ini tak mengapa, rumah kecilku sangat nyaman. Sejak aku lahir di dunia, rumah ini sudah mengenalku dan membuatku bahagia. Ia tahu banyak rahasiaku.
Dinding putih nyaris cokelatnya kerap mendengar ocehanku di malam hari. Engsel pintunya selalu siap menyapa dan menghiburku saat aku pulang larut malam sehabis bekerja. Lantainya yang dingin menyimpan ribuan tetes air mataku. Rumah ini cukup.
Tak terasa hari semakin terik. Dengan segera, aku bereskan perlengkapan seperti sapu, kain pel, dan cikrak. Kemudian aku bersiap diri dengan mandi dan berpakaian putih bersih. Nasi pecel pemberian Bu Inah juga sudah beralih tempat ke dalam lambungku. Dengan senyum merekah, aku mengeluarkan sepeda motor butut dan mengunci pintu depan rumah.
Saat di perjalanan, aku melewati sungai yang panjang dengan banyak tanaman dan pohon menjulang tinggi besar. Di sana banyak tetanggaku yang tengah mencuci pakaian dan anak-anak kecil berenang ke sana dan kemari. Pak Slamet juga tengah bersiap membuka toko sembako miliknya. Aku sudah menyapa mereka semua yang kutemui dengan ramah. Respon mereka juga sangat baik terhadapku.
Apalagi Bu Diah dan suaminya, Pak Irwan. Mereka tengah mencuci mobil sedan merahnya bersama ketiga anak kembar mereka di halaman rumah bercat cokelat yang sangat luas itu. Kalau kalian bertanya-tanya, mereka adalah salah satu keluarga paling kaya di desaku ini.
Kulajukan motor butut ini sembari bersenandung ceria. Di perjalanan, aku sempat membeli beberapa hal sebelum akhirnya aku sampai di rumah kedua orang tuaku.
Aku memarkirkan motor dengan rapi. Membuka pagar lusuh berkarat itu dengan senyum mengembang. Mereka menyambutku lagi, diikuti kicauan burung hitam dan gesekan ranting pohon yang menyejukkan. Dengan senyum merekah, aku memeluk Bapak dan Ibuku dengan erat satu per-satu.
Hari semakin terik tetapi suasana rumah kedua orang tuaku sangat nyaman. Indah, bersih, sepi, dan menyejukkan hati.
"Assalamualaikum Ibu, Bapak. Aini datang lagi. Maaf ya kemarin tidak mampir lama-lama karena urusan pekerjaan." Aku kemudian duduk di dekat Ibu. "Oh ya, Aini bawakan hadiah. Semoga Ibu dan Bapak suka."
Ulu hatiku terasa sedikit bergejolak. Rindu. Siapa yang kuat menahan rindu selama itu? Apalagi, aku sebagai anak satu-satunya kini kian sibuk bekerja. Mencari uang untuk biaya kuliahku. Ibu dan Bapak pasti sangat merindukan aku.
"Ibu dan Bapak, semoga kalian mengerti. Aini sekarang sudah punya pekerjaan tetap. Walau hanya sebagai karyawan di sebuah rumah makan, tetapi dari uang itu bisa digunakan untuk biaya kuliah. Oh ya, Bapak tahu 'kan, Aini suka sekali seragam putih milik anak Pak Slamet? Aini akan terus semangat dan berusaha sekuat tenaga menyelesaikan kuliahku. Nanti, kita bisa foto bareng ketika Aini lulus dan resmi menjadi perawat."
Tanganku otomatis mengelus wujud Ibu. "Ibu, Aini kangen."
Tak terasa air mata mulai jatuh. "Bapak, Aini juga rindu dengan pelukan dan nasehat Bapak."
Dengan cepat, aku menyeka air mata yang jatuh. "Dua hari yang lalu, Bu Inah mengajak Aini untuk berlibur ke pantai. Oh ya, Bu Inah punya mobil baru, Pak. Warna merah, mirip seperti mobil milik Pak Irwan dan Bu Diah. Waktu itu, Aini bawakan kue kesukaan anak-anak Bu Inah. Mereka suka sekali. Kita berangkat pukul 6 pagi. Sehabis shalat Shubuh, Aini sudah bersiap karena tidak mau mereka menunggu."
Aku tersenyum mengingat kenangan berlibur bersama Bu Inah kemarin.
"Waktu itu aku duduk di tengah. Tetapi Aini tidak tahu cara membuka mobil bagaimana haha," Tawaku terdengar kecil oleh Bapak dan Ibu. "Akhirnya di bantu oleh suami Bu Inah. Aini cuma ketawa saja dan meminta maaf karena belum pernah punya mobil sendiri. Apalagi mobil mahal seperti milik mereka."
Hari ini, aku berniat menceritakan semua isi hati.
"Di tempat kerja Aini, ada yang namanya Mas Rofli. Dia baik, suka bantu Aini dan mengantarkan Aini pulang. Kemarin saja dia ke rumah loh, Pak. Memberikan Aini ketupat. Ada juga Kak Beti. Dia cantik sekali, punya perhiasan mahal dan ponsel keluaran terbaru. Bisa digunakan untuk menangkap gambar. Waktu itu juga Kak Beti mengajak Aini berfoto."
Aku memeluk sekali lagi wujud Bapak dan Ibu yang teramat aku rindu. "Aini akui, sempat merasa iri. Mereka punya barang-barang mewah, rumah yang besar, kendaraan yang nyaman, dan uang yang melimpah. Tak lupa, ada beberapa teman Aini yang sudah memiliki kekasih. Awalnya Aini iri, ingin seperti mereka. Tetapi Aini selalu ingat pesan Ibu beberapa tahun yang lalu. Kata Ibu, manusia itu diciptakan serba berbeda. Ada yang kaya, ada yang cantik, ada yang bahagia hidupnya, ada laki-laki, perempuan, dan lain sebagainya. Ibu juga bilang bahwa manusia punya porsinya sendiri, dan rejekinya sendiri. Jadi Aini yakin pasti Allah sudah menyiapkan rejeki dan jalan hidup yang terbaik untuk Aini."
Aku tersenyum, mengingat Ibu yang cerewet sekali. Suka memberi nasihat, memarahi, dan memasakkan masakan lebaran paling enak sedunia!
"Oh ya, Aini bawakan ini," Aku mengeluarkan kresek hitam yang aku beli saat perjalanan ke sini. "Minal aidin wal faidin lagi ya, Bapak, dan Ibu. Maafin Aini kalau belum bisa membahagiakan kalian dan jadi anak yang sukses. Tetapi, Aini ingin doa kalian turut menyertai Aini. Doakan Aini ya, Pak, Bu, supaya aku bisa sukses dunia akhirat."
Aku mulai mengeluarkan hadiah kecil untuk Bapak, dan Ibu. Yaitu bunga nyekar. Dengan pelan aku taburkan ke atas makam Bapak dan Ibu, hingga gundukan tanah cokelat itu tertutupi dengan kembang berwarna yang wangi. Tak lupa, aku juga membersihkan sekitar makam dari tanaman-tanaman benalu. Sekali lagi, sebelum pamit, aku memeluk kedua nisan orang tuaku.
"Selamat Hari Raya Idul Adha, Bapak, dan Ibu. Tenang yaa di surganya Allah. Kalian jangan khawatir sama Aini. Di sini aku baik-baik saja. Doakan Aini ya, Pak, Bu." Setelah menghabiskan waktu berjam-jam kini tiba waktunya aku untuk pulang lagi ke rumah kecilku. "Nanti kapan-kapan, Aini mampir lagi, bawakan bunga dan air yang lebih banyak. InsyaAllah, Aini juga akan sering kirimkan doa untuk kalian."
Senyumku merekah, mengiringi langkah kecil meninggalkan area pemakaman Melati Indah.
"Sampai jumpa lagi kesayangan Aini!"
***
TAMAT
Kumcer 23 - Berkunjung

KAMU SEDANG MEMBACA
Harmoni
Short Story[BLURB] Saya pernah mendengar ungkapan bahwa 'sempurna' itu hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Tapi kali ini, untukmu, saya mematahkan ungkapan itu. Kamu sempurna, dengan dirimu, bahasamu, sikapmu, dan sifatmu. Kamu adalah rahasia kecil yang tersimpa...