Kumcer 17 - Kenangan Termanis

51 24 9
                                    

Hari ini adalah hari spesial. Ingin tahu mengapa? Karena hari ini adalah hari Sabtu, 22 Februari, 2002. Malam ini, rintik hujan tengah mengguyur Kota Perjuangan, Surabaya.

Saya Camelia. Panggil saja Meli. Usia saya 25 tahun hari ini. Tak jarang, orang-orang yang baru pertama kali bertemu atau bertegur sapa dengan saya, memanggil saya dengan nama panjang. Ada jua justru yang memanggil saya 'Lia'. Hal itu saya serahkan kembali pada kamu, pembaca. Silakan sebut saya apa saja sesuka hatimu. Saya tidak bisa memaksa.

Baiklah, sudah siap dengan kisah yang akan saya tulis ini?

Ah, omong-omong, saya bukan seorang penulis, jurnalis, sastrawan, atau orang-orang yang lihai dalam bidang ini. Saya tidak bisa menjadi seperti mereka, karena ini bukan bakat saya. Tapi, tak apalah, saya 'kan mencobanya.

Kita mulai saja dengan Alvaro. Ya, nama yang pasaran, saya tahu. Sebenarnya, nama lengkapnya adalah Maulana Putra Alvaro. Teman-teman dan keluarganya lebih senang memanggilnya 'Putra', namun bagi saya, saya lebih sering memanggilnya dengan nama belakang lelaki itu. Saat ini, umurnya 28 tahun. Bisa kalian tebak bukan, bahwa umurnya 3 tahun di atas saya.

Alvaro adalah salah satu spesies langka di bumi. Hahaha, kalian pasti ingin tahu mengapa? Dia adalah lelaki satu-satunya yang tidak pernah merokok. Tidak, saya sungguh-sungguh dengan hal ini. Di tempat saya tinggal, merokok adalah suatu kebiasaan yang lumrah. Baik di jalan raya, rumah, bahkan sekolah. Kaum-kaum yang merokok itu, biasanya sembunyi-sembunyi saat jam istirahat. Tapi tidak dengannya.

Sejak SD, kami satu sekolah. Begitupun ketika SMP dan SMA, bahkan kuliah, kita selalu satu sekolah. Tak jarang setiap pergantian semester, saya dan dia menjadi teman satu kelas. Karena frekuensi kita bertemu itu sering, saya sangat yakin Alvaro tidak main-main dengan ucapannya.

"Saya tidak merokok." Jawabnya ketika pernah suatu saat saya tanyakan perkara itu. Awalnya saya ragu, saya hanya terkekeh akan ucapannya, menganggapnya main-main. Karena biasanya, ketika cowok di lingkungan saya ditanya hal itu, mereka akan dengan bangga menjawab bahwa mereka merokok. Mungkin bagi mereka hal itu terlihat keren.

Namun tidak bagi saya.

"Kenapa? Tidak merokok kalau hanya sekali? Hehe," Lantas, saat itu saya sedang berada di kantin kampus, ditemani olehnya. Meski kita selalu satu sekolah dan sering menjadi teman sekelas, saya baru merasa benar-benar berteman dengannya saat kuliah. Itupun saat semester 2.

Alis kanannya terangkat, tanda bahwa ia bingung dengan ucapan saya. "Saya jujur Mel, saya tidak pernah merokok satu kalipun dalam hidup."

"Kenapa?"

"Saya membencinya. Papa meninggal karena rokok. Saya pikir, hal itu adalah hal paling bodoh yang dilakukan manusia untuk mati."

Saya terkejut dengan ucapannya kala itu. Orang seperti Alvaro, adalah sosok lelaki yang berprinsip. Sekali mereka mengatakan tidak, tentu untuk selamanya tidak. Entah mengapa, mendengar hal itu dari bibirnya, saya mengaguminya. Tanpa alasan.

Jika kalian masih mengikuti tulisan saya hingga kini, terimakasih. Mari kita lanjutkan kisahnya.

Tidak ada yang begitu menarik dengan kisah kami. Sampai semester akhir kuliah, saya dengannya hanya sebatas teman saja. Tidak lebih. Kita juga jarang bertemu karena saya sibuk dengan KKN saya saat itu, sedangkan dia sibuk bekerja. Ia sudah menjadi anak buah salah satu perusahaan di Surabaya.

Lama tidak berkabar, saya jadi sering merindukannya.

Memang, kami tidak begitu dekat. Tapi saya rindu ketika dia mengajak saya untuk makan mie ayam di pinggiran jalan, ketika tiba-tiba hujan dia juga akan menawarkan diri untuk mengantar saya ke kampus, selain itu, saya rindu ketika dia berada di dekat saya. Entahlah perasaan apa itu.

HarmoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang