Kumcer 18 - Penjual Koran

53 25 10
                                    

Suara kondektur bajaj memacu kendaraannya, suara klakson motor dan mobil, suara pedagang kaki lima, serta suara-suara lain menjadi sarapanku pagi ini. Ya, kali ini, aku duduk berdua dengan adikku, yang berumur 5 tahun, ia tengah memainkan kaleng bekas dengan sangat gembira. Melihat ia tertawa, akupun ikut bahagia.

Hai, perkenalkan namaku Rima. Aku dan adikku yatim piatu sejak aku berumur 3 tahun. Sebenarnya, Bapak meninggal ketika aku berumur 1 tahun. Lalu, ibu menghilang begitu saja. Tetangga bilang, ibu berselingkuh dengan pengusaha kaya. Meninggalkan aku dan adikku di rumah Paman. Tepatnya, lima tahun yang lalu, tiba-tiba aku dipaksa keluar dari rumah. Membawa adikku yang masih bayi, dengan baju dan perlengkapan seadanya. Kami diturunkan di sebuah tempat yang kini kutahu namanya, Panti Asuhan Sejahtera. Karena Paman, yang mengasuh aku dan adikku, telah berpulang ke dunia-Nya. Jadi, ya sebut saja kami ini yatim piatu.

Hari ini, hari Senin. Jika biasanya anak-anak seumuranku harus bangun pagi, sarapan, mandi, lalu bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah menimba ilmu, berbeda denganku. Aku harus bangun pukul 3 pagi, membuatkan susu untuk Zidan, adikku, lalu bersiap-siap bekerja. Aku menjual koran. Penghasilannya memang tidak banyak, apalagi harus dibagi lagi dengan orang yang mempekerjakan aku, dan anak-anak lain yang nasibnya sama denganku. Tapi, aku bersyukur, dengan uang hasil jerih payahku, aku masih bisa membelikan adikku susu dan mainan murah yang diinginkannya.

Seperti pagi ini contohnya, aku berjalan dari mobil yang satu hingga mobil dan motor lainnya. Menawarkan daganganku.

"Pak, korannya?" aku mengetuk salah satu mobil putih yang berhenti karena lampu berubah warna menjadi merah kala itu.

Ia sedang sibuk bertelefon, dan mengabaikanku. Sudahlah, aku sudah biasa seperti ini. Diabaikan. Aku tetap bersemangat, melanjutkan berjualan sampai semua kendaraan yang berhenti saat itu aku datangi semuanya. Namun, dari banyaknya kendaraan, hanya ada satu orang yang mau membeli koranku.

Dia pria, sepertinya bekerja di kantor.

"Ini kembaliannya Pak, seribu," ujarku sembari menyerahkan recehan uang koin di hadapannya. Saat itu, lampu berubah menjadi hijau. Hirau pikuk klakson dimana-mana.

Ia lalu menggeleng, menolak uluran tanganku. "Ambil saja kembaliannya, Dik."

Mendengarnya, hatiku sumringah. Buru-buru aku berterimakasih dan berlari ke tepian jalan agar tidak tertabrak lalu-lalang kendaraan.

Aku menghampiri lagi Zidan, adikku.

"Zidan lapar?" tanyaku. Karena sejak pagi, dia hanya minum segelas susu. Tanpa makan. Karena biasanya, di panti kita hanya diberi makan dua kali. Yaitu siang, dan malam hari.

Adikku yang lucu menggeleng. Tanda bahwa ia tidak lapar.

Aku tersenyum melihatnya, dan kembali bekerja.

Tak terasa, jarum jam menunjukkan pukul 12 siang lewat 11 menit. Uang hasil bekerja hari ini sudah terkumpul sebanyak 44.000. Wah! Aku sangat senang menerima uang sebanyak ini.

Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang. Tapi, ketika aku berniat menghampiri adikku, tiba-tiba seorang pedagang kaki lima memanggilku. "Dik! Penjual koran!"

Aku menoleh, sumringah. Karena ia tertarik untuk membeli daganganku.

Ku hampiri dirinya. "Ini, Bapak pasti ingin membaca koran, iya kan? Pilih saja mau yang mana. Dijamin Bapak tidak akan bosan selama bekerja," tawarku padanya.

Kulihat bahunya bergerak naik turun, ia tertawa. "Kamu ini, masih kecil sudah ada-ada saja caranya."

Mendengarnya, aku tersenyum. Seperti mendengar pujian. "Iya, harus dong. Jadi, Bapak pilih yang mana? Murah kok, cuma dua ribu saja."

"Yasudah, aku beli dua korannya, terserah yang mana saja," ia lalu mengambil daganganku, dan mengeluarkan uang dari dompetnya. Aku tak sabar menerimanya. Kulirik adikku di seberang jalan, kulihat, ada seorang wanita cantik berkaca mata dan memakai kain penutup di hidungnya tengah berdiri di depan adikku. Ia melihat ke kanan dan ke kiri, sembari tangannya memegang ponsel yang di tempelkan di telinga kirinya. Tak kurasa, aku berdecak kagum melihatnya.

"Nih, uangnya lima ribu."

Tersadar, aku pun meraih uang tersebut. Buru-buru ku keluarkan pecahan uang seribu untuk dijadikan kembalian. "Ini kembaliannya, Pak. Makasih!"

Ia menerimanya dengan suka rela.

Aku segera berlari untuk menghampiri adikku. Lihat, tangan Zidan menarik-narik rok selutut wanita itu. Ah! Aku hanya takut, wanita itu tersinggung dan memarahi adikku.

Sekuat tenaga aku berlari ke seberang. Lalu tiba-tiba lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Ahk!

Ku pandangi wanita yang tidak sadar jika adikku menarik rok berwarna putihnya itu. Sembari menunggu lampu berubah warna kembali. Namun, sepertinya Tuhan berkata lain. Wanita itu menoleh, ke arah Zidan. Kemudian menendang tubuh kecil adikku. Memarahinya.

"Astaga! Rokku!"

Aku ingin cepat-cepat berada di sana, Ya Tuhan.

"Heh, jangan pegang-pegang, rok mahal!!" teriaknya. Ku lihat, beberapa pejalan kaki memandangi adegan tersebut. Ahk, kenapa lampu ini lama sekali berubah warnanya!

Tak ku hiraukan lagi jalanan yang padat dengan lalu lalang kendaraan itu. Aku menyebranginya seperti orang gila. Karena wanita itu, hendak menampar pipi adikku. Siapa dia berani sekali!

TIN! TIN!

Klakson itu menguap di udara untukku. Anak kecil dengan koran-koran di dekapannya yang tengah berlari ke arah adikku.

Ingin sekali aku jambak rambut wanita itu! Apa dia tidak punya hati? Memang, sudah banyak aku temui orang-orang kaya, berduit, memiliki segalanya, namun mereka menghina orang-orang seperti aku, dan adikku. Mereka tak segan memukul, memaki, menampar, bahkan melaporkan beberapa anak seusiaku yang tak sengaja menyenggol mobil mereka. Atau, membuat lecet kendaraan mereka. Dasar, tidak punya hati!

Wanita itu lalu masuk ke mobil berwarna hitam dengan kaca transparan.

Aku panik, melihat tubuh adikku terutama tangannya memerah, dan sedikit lecet berdarah karena sepatu hak wanita itu.

"Astaga, Zidan? Kamu kenapa malah mainin roknya ibu-ibu itu sih?" tanyaku panik. Sembari membersihkan tangan adikku dari debu dan batu-batu kecil.

"Lain kali gak boleh pegang sembarangan ya?"

Zidan mengangguk, di sela-sela tangisnya.

"Yasudah, nanti kakak belikan obat salep biar lukanya gak perih. Kamu main ini aja ya," kataku sambil menunjuk dua buah kaleng yang diisi beras, "Jangan mainin baju orang."

Sekali lagi, adikku mengangguk.

Ah hampir lupa, wanita itu!

Ingin sekali aku memarahinya. Siapa takut? Adikku tidak salah. Dia hanya anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Ku tolehkan kepalaku ke belakang, mencari keberadaan wanita di dalam mobil hitam tersebut. Namun sepertinya, takdir berkata lain. Ketika mobil itu melaju, dan wanita cantik tersebut membuka penutup hidung dan kaca matanya, aku terperangah.

Tercekat.

Memandangnya pergi sambil memangku seorang bayi mungil dengan penuh kasih.

Aku hanya diam, meneteskan air mata, dan rasa sakit yang mendalam. Hanya mampu membisikkan satu kata yang suram...

"Ibu..."

***

TAMAT
Kumcer 18 - Penjual Koran

HarmoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang