Kumcer 9 - First Sight

109 47 20
                                        

Dia tidak pernah bisa menatap dalam iris mata pekat lawan bicaranya.

Namanya Karina Veronica. Meski di usianya yang menginjak angka 22, gadis berkulit kuning langsat dan bibir tipis itu tidak pernah bisa menatap mata lawan bicaranya. Sekalipun itu Ayah dan Ibunya.

Apakah itu penyakit?

Kurasa, ya.

Ica tidak pernah bisa menatap mata seseorang ketika berbicara. Hal itu sudah terjadi sejak ia di sekolah dasar. Ica merasa bahwa mata teman-temannya begitu tajam. Ia takut tertancap saking tajamnya tatapan itu. Ica pernah dibawa ke ruang BK ketika SMP karena tidak pernah menatap mata guru pengajarnya. Di ruangan itu, Ica dicemooh. Ia dibilang anak tidak tahu tata krama. Bahkan saat itu, guru BK yang bertugas dengan teganya menghardik orang tua Ica tidak pernah mendidik putri sulungnya.

Sejak hari itu, Ica makin takut dengan tatapan seseorang. Sebisa mungkin gadis itu hindari. Tapi tidak dengan kondisinya saat ini.

Mahasiswa UI dengan IPK 3,2 yang sekarang tengah melanjutkan studi semester terakhir itu tidak bisa selamanya tenggelam dalam euforianya sendiri. Meski masih 'phobia' dengan tatapan orang lain, Ica cukup bisa berinteraksi dengan mahasiswa lain sekaligus dosen pembingbingnya karena satu orang.

Dialah asal muasal kuceritakan kisah hidup Ica yang sederhana pada kalian. Agar kalian paham, dan mengerti. Bahwa tidak selamanya mata berkata jujur. Ada kalanya, sekecil apapun usaha kita, orang lain bisa tertipu.

***

Ternyata benar, tidak semua teman yang kita anggap teman ingin benar-benar mengenal diri kita untuk berteman. Mereka terkadang datang saat kita bernilai lebih di mata mereka. Lalu, mereka pergi, ketika ada yang lebih bernilai dari diri kita; datang ketika membutuhkan, lalu pergi ketika habis keinginan tuk berteman. Siapapun 'mereka', kita tidak punya hak untuk marah. Salah siapa? Tidak ada. Itu adalah hukum alam. Cukup lihat, dan buktikan.

—trips—

Ialah kutipan dari sebuah novel karya penulis kondang yang baru saja dibaca Ica saat hendak masuk ke kelas. Pagi ini, adalah kelas pertamanya. Dosen pengajar pun masuk dan ia kembali berkutat dengan materi.

Siangnya, Ica keluar ruangan dengan wajah ceria. Seperti tidak ada beban. Padahal, mahasiswa lain yang juga mengikuti kelas sama seperti Ica menampakkan wajah masam, malas, gelisah, bahkan raut sedih dan lelah. Gadis itu, memang berbeda. Tidak pernah sama.

"Ca! Tunggu!" Anna, wanita mungil dengan rambut pendek sebahu menghampiri Ica yang tengah melangkahkan kakinya di koridor kampus.

Mata gadis itu memicing. "Ya?" Hm, aku tidak pernah tahu bahwa Ica memiliki teman di kampus. Mungkin, gadis itu benar-benar sudah berbaur sejak terakhir kali.

Anna melangkah sedikit berlari, "Kamu dicariin! Aduh," napasnya tersenggal-senggal karena sehabis berlari. "Itu, aduh, yang namanya Karina Veronica dicariin sama Wildan di parkiran!" Serunya sedikit pongah.

Refleks, Ica kaget. Aku tahu siapa Wildan. Dia adalah mahasiswa yang 'katanya' sangat popular. Tapi tidak juga. Wildan hanya dikenal oleh anak-anak kampus saja. Tapi memang benar, lelaki itu berbadan tinggi tegap, berambut acak macho, dan beralis tebal. Dia juga salah satu lelaki incaran banyak mahasiswi. Tapi, tak satupun yang berhasil memikatnya. Ah, kembali lagi pada Ica. Gadis itu terlihat sangat terkejut.

"Siapa? Wildan? Mas Wildan yang sering bikin demonstrasi itu?" Ica menyahut menanggapi ucapan Anna. Meski dengan wajah tertunduk karena jelas, ia tidak bisa menatap mata lawan bicaranya.

HarmoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang