Kumcer 7 - Terimakasih Untuk Semuanya

115 54 21
                                    

Namanya Brigitta Priscillia. Gadis 24 tahun penuh mimpi. Dia berbeda. Sangat berbeda dengan gadis-gadis di luar. Gitta begitu bersinar, dia sangat positif, percaya diri, dan sangat berusaha keras menyambung hidup.

Sebagai seorang lelaki, saya merasa rendah, merasa kalah dan kurang bersyukur. Saya bisa berdiri sendiri, saya bisa berbicara, saya bisa bercanda, dan saya bisa berjalan kemana saja.

Gitta terlahir dengan kondisi tidak sempurna. Kakinya cacat, dan ia tunarungu. Setiap hari, ketika saya menjenguknya sambil membawakan komik untuk diperlihatkan padanya, dia selalu menyambut tersenyum. Mengulurkan tangan pada saya, dan saya hanya bisa terus berdoa.

Gitta juga terlahir dengan kemampuan luar biasa. Ia bisa melihat 'mereka'. Yang kalian sebut hantu, setan, makhluk halus, atau ghaib. Saya memang tidak bisa melihatnya. Tetapi ketika Gitta berbicara dengan 'mereka', saya merasa 'mereka' benar-benar ada.

"Van, aku kemarin bicara sama Jonathan. Kata dia, umur aku gak lebih dari 6 hari lagi. Terus, aku ketawa. Aku bilang aja kalo semua itu sudah ada yang ngatur. Kapanpun waktu itu, aku siap kok."

Pagi ini, tiba-tiba Gitta berbicara seperti itu pada saya. Saya terkejut. Baru kali ini, saya mendengar nada putus asanya. Sangat menyayat hati. Seminggu yang lalu, Gitta baru saja di operasi untuk memulihkan fungsi pendengarannya. Operasi tersebut berhasil. Tapi, sebagai gantinya, cara berbicara Gitta tidak begitu jelas. Tapi saya masih bisa mengerti.

Jonathan adalah 'teman' Gitta dari kecil. Sebelum saya ada, Jonathan adalah tempat Gitta mencurahkan semuanya. Entah bagaimana saya bisa menemukan gadis ini. Saya mencintai Gitta dengan sepenuh hati saya.

Dia memang istimewa, tapi hanya dia yang bisa mengerti saya. Darinya, saya belajar arti bersyukur pada hidup. Saya belajar untuk tidak menyia-nyiakan apa yang saya dapat atau yang saya punya. Gitta selalu bilang bahwa, "Dalam hidup, kamu jangan sekali-kali lupa sama Tuhan. Dia selalu ada bahkan waktu kamu lupa pada-Nya. Bersyukur terus atas semuanya ya, Van."

Darinya, saya juga belajar arti mengikhlaskan. Tentang arti cinta yang sesungguhnya. Bahwa cinta tak memandang fisik atau materi. Cinta datang pada siapa saja tanpa tahu waktunya, tempatnya, bahkan orangnya.

Saya tidak menyesal dulu salah masuk kamar ini ketika saya akan menjenguk kakek. Karena dari kesalahan saya itu, saya bertemu Gitta. Terus bersama sampai saya benar-benar mencintai gadis ini.

"Kamu jangan bilang gitu. Kamu sehat Ta, kok jadi patah semangat? Kan dua minggu lagi pernikahan kita, ingat?" Sengaja, saya menunjuk arah jari manisnya. Di sana terpasang sebuah cincin pertunangan saya dengannya. Sebagai saksi bisu jika hubungan kita terikat. Bukan lagi orang asing. Kita akan segera menikah dan membangun rumah tangga.

Gitta tersenyum pada saya. Senyumnya berbeda, tapi masih bisa saya rasakan ketulusannya. "Devan, aku wanita paling bahagia di dunia, kamu tahu? Dulu aku selalu menyesal terlahir seperti ini. Aku selalu menyalahkan diriku. Aku selalu marah pada diriku. Tapi, lama kelamaan, aku sadar bahwa ini memang takdirku. Dan kamu ada di sini bersamaku. Terimakasih banyak, Van."

Saya menggenggam jemarinya erat. Menyalurkan sebagian kekuatan saya padanya. Agar ia tegar. Agar ia bertahan.

"Ta, dulu pas saya salah masuk kamar ini, kamu marah-marah sama saya ingat? Dulu saya juga emosi, teriak-teriak sampai suster datang tapi kamu cuma diam. Dulu saya nggak tahu kalau kamu nggak bisa dengar apa yang saya bilang."

Gitta menyeka air matanya. Saya pun membantunya sambil meneruskan kalimat saya yang terpotong, "Ta, saya bersyukur bahwa kamu tidak mendengar apa yang saya bilang dulu. Karena kalau kamu dengar, pasti kamu tidak akan pernah memaafkan saya. Tapi karena kejadian itu, saya jadi merasa bersalah dan sering menjenguk kamu untuk meminta maaf."

HarmoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang