05. Tamu Tak Diinginkan

24.8K 1.9K 54
                                    

Pagi memberingsutkan malam. Sinar mentari mulai menghangatkan bentala kawasan Pon Pes Al-Anwar. Burung-burung Kol Buntet peliharaan Pak Haji Salim yang rumahnya di samping kawasan pondok putra ini berkicau ria.

Almira sibuk membuat teh hijau di dapur. Begitu jadi, dia segera membawa 3 cangkir teh hijau itu dengan nampan serta 2 piring muffin tape keju.

Almira menyajikan secangkir teh hijau yang masih mengepul dan sepiring mufin tape keju ke meja Ummi Wardah yang sedang duduk di sofa ruang keluarga, bercakap dengan Maryam, lurah pesantren putri, membicarakan persoalan pesantren putri.

"Makasih, Nduk," ucap Ummi Wardah usai Almira berbaik hati menyajikan jamuan pagi.

"Sami-sami, Um," sahut Almira dengan takdzim. Beringsut ke ruang baca milik Emil. Bibirnya langsung mengurva kala mendapati Suami Kaku-nya itu fokus sekali melihat sesuatu di ponselnya dengan duduk nyaman di bean bag.

"Mas, fokus banget. Lihat apa, hm?" selidik Almira usai menata jamuan pagi di meja. Mencuri lihat dengan mengintipnya dari samping tubuh Emil.

"Foto-foto pembangunan departement store kita di Purbalingga," jawab Emil, membenahi letak kaca mata kotaknya.

"Boleh aku lihat, Mas?"

"Hm," singkat Emil, mengulurkan ponselnya ke arah Almira.

Ulasan senyum sabit singgah di bibir merah Almira. Dengan senang hati, Almira mengambil ponsel Emil. Melihat foto-foto pembangunan setengah jadi departement store milik keluarga yang ke 2 di kota Purbalingga usai sempurna duduk di bean bag yang berhadapan dengan Emil.

Emil meneruskan usaha ritel Abahnya begitu pulang menimba ilmu di Maroko. Dulu, usaha ritel besar yang menaungi banyak lini produk tersebut berawal dari ketekunan membangun toko kecil.

Beberapa hari dalam seminggu, Emil juga rutin mengunjungi toko besar tersebut. Dia banyak berhubungan dengan asisten managernya, membahas pengambilan keputusan strategis, koordinasi kegiatan operasional, hingga bagaimana kinerja para staff dan karyawan.

Satu tegukan teh hijau menghangatkan kerongkongan Emil. Kedua mata kelamnya yang berkaca mata kotak mengedar ke luar jendela kaca lebar di sampingnya. Edaran matanya terantensikan pada kolam air mancur di taman hijau samping rumah, tetapi pikirannya dibawa penuh pada sosok Asma.

Emil merindukan Asma. Sungguh merindu. Dia juga kadang berandai; andai Asma masih ada, dia pasti sudah menjadi sosok ayah, mungkin malah hendak memiliki 2 momongan, hidup bahagia bersama. Sekitar 3 bulan hidup bersama Asma benar-benar seperti mimpi yang begitu terbangun ... kebahagiaan itu sirna tanpa sisa. Momen-momen indah yang tertinggal, kadang bukan sebagai ajang melepaskan rindu, justru menuai luka sebab dia paham ... momen seperti itu tak pernah akan terulang sekalipun dia mengidamkan penuh momen itu bisa diulangnya tanpa batasan.

Sedangkan, Almira sibuk melihat-lihat koleksi foto di galeri ponsel Emil. Dia sebal kala habis sudah melihat-lihat galeri foto, foto dia di situ hanya sedikit. Dia jadi teringat, pernah dengan sengaja dan diam-diam memeriksa ponsel lama Emil. Ponsel itu khusus berisi kenangan-kenangan Emil bersama Asma. Banyak sekali koleksi foto dan video yang tersimpan di memori ponsel itu. Dibanding simpanan fotonya di ponsel yang tengah dirinya pegang, belum apa-apa banyaknya. Bahkan foto di glamping, Emil hanya menyimpan satu, padahal Almira sengaja memotret banyak selfi berdua menggunakan ponsel Emil, hasilnya bagus-bagus.

Almira melirik ke arah Emil yang tengah melamun. Bibirnya mengerucut kecewa.

Masih kesal, Almira keluar dari galeri foto, jemarinya berselancar ke kamera ponsel, mengaktifkan kamera depan, siap berselfi.

Halal untuk AlmiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang