11. Pengin Ketemu Kamu

20.9K 1.8K 118
                                    

"Oh, itu sahabat masa kecilku, Mas. Namanya Junho. Lee Junho," jelas Almira setelah beringsut duduk.

"Kenapa kamu nggak cerita sama aku?" selidik Emil.

Almira menggigit bibir bawahnya, kehilangan kebendaharaan kata. Dia bingung menjelaskannya mulai dari mana.

Satu-dua tarikan napas Emil lolos membuat Almira tak enak hati, merasa bersalah.

"Ngapunten, Mas."

Suara pelan Almira barusan malah membuat dada Emil sesak.

Pikiran Emil berlayang-layang pada kejadian tadi sore saat hujan deras turun. Emosinya mulai terkuras banyak bermula dari sore itu. Seperti biasa, dia semangat perjuangan berangkat mengajar ngaji klasikal fathul mu'in sehabis solat asar, membawa kitab kuningnya beserta payung hitam untuk menerjang hujan ke aula pesantren putra, tapi begitu sampai ke majelis tersebut, aula justru kosong melompong.

Itu membuat dada Emil pengap. Padahal sebelumnya tidak ada pengumuman ngaji klasikal sore tersebut libur, tapi mereka justru meliburkan diri.

Emil pun kukuh masuk ke aula. Dia duduk lesehan tempatnya ngasto ngaji tanpa ada satu santripun di aula. Barulah beberapa saat ke depan, para santri yang diajar mengaji klasikal tersebut satu persatu datang, mengambil tempat, duduk bersila seraya membuka kitabnya, siap ikut mengaji kajian ilmu fiqih tersebut. Ternyata, begitu dipahami polah senewen itu, mereka memilih menunggu Emil rawuh di kamar masing-masing karena hujan deras--kebanyakan kalau hujan deras, ngaji-ngaji yang dikaji ustadz lain mendadak libur.

Sebenarnya Emil mencoba untuk memaklumi, tapi ini sudah beberapa kali kejadian, bahkan kelas yang dikajinya juga berisi santri-santri di atas 3 tahun mesantren, bukan lagi anak baru yang belum pernah mengaji kitab akhlak ta'lim muta'alim.

Tidak sampai di situ, begitu kajian mengaji klasikal selesai, pulang ke ndalem dengan rasa ingin sekali curhat pada Almira, mencari Almira hingga ke ruang baca, malah mendapati Almira bertelopon ria dengan lelaki lain di belakangnya.

Satu kata, jengkel. Begitulah perasaan Emil pada Almira. Dia jadi teringat perkara pikirannya juga tengah runyam akan cukup banyak kasus di pesantren putra yang ketahuan diam-diam berpacaran; surat-suratan, saling memberi hadiah, hingga ketahuan mojok jika di sekolah formal. Memergoki Almira seperti ini, dia kecewa. Namun, Emil mencoba memaklumi bahwa barangkali nanti Almira hendak menjelaskan sesuatu padanya.

Tetapi apa sekarang? Kelihatannya Almira memang berniat tidak menjelaskan apa pun. Sengaja ingin merahasiakan tentang Junho padanya.

"Entah itu sahabat atau bukan, jangan bertelepon selama itu, sekalipun kalian punya banyak kenangan indah yang seru dibahas. Apalagi kamu juga udah nikah, Al," ujar Emil kemudian, "Kamu juga harus lihat posisi kamu sekarang; kamu udah punya ribuan santri di sini, mereka bercermin ke kamu, mereka bercermin pada akhlaknya kamu. Lalu jika mereka tahu kamu begitu di sore itu, apalagi tanpa sepengetahuanku, apa jadinya?"

Dada Emil kian sesak. Serebrumnya membawanya kembali pada menguping percakapan Almira dan Junho. Junho cukup lancar dalam berbicara bahasa Indonesia karena kuliahnya mengambil jurusan Bahasa Indonesia, tapi logat bicaranya masih kekoreaan.

Emil tidak terima Almira bertelepon lama dengan Junho yang jelaslah bukan mahramnya. Dia kesal saat Almira tertawa renyah dengan Junho dan senyum-senyum tidak jelas karena Junho, membahas sesuatu yang menurutnya tidaklah penting, hanya tentang saling bergurau dan nostalgia.

Ah, rasa berantakan yang menjalarinya ini membuat Emil kembali mengingat Asma yang tidak banyak tingkah, Asma yang lebih bisa menjaga diri, Asma yang lebih dewasa, Asma yang tidak pernah mengecewakannya, Asma yang kian membuatnya jatuh cinta dari waktu ke waktu.

Halal untuk AlmiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang