35. Ayam Teriyaki

21.5K 1.6K 178
                                    

Malam menggantikan sore.

Almira sedang bertelepon dengan ayahnya, dia hampir saja berjingkrak mendapatkan kabar baik dari Tuan Bahran. Kemarin saat di Jogja, ayah kandungnya sempat menyusulnya, hingga ikut mengantarnya pulang, tetapi dalam waktu dekat ini hendak kembali menjenguknya, dia amat bahagia.

Tak berselang lama, baru saja sambungan telepon Tuan Bahran terputus, ponsel Almira kembali berdering, tinggal Mama Lestari menelepon.

Begitu Almira ditemukan, Mama Lestari menjadi amat mengkhawatirkan Almira. Setelah Almira pulang dari Jogja, beliau menginap beberapa hari di ndalem, sehabis itu selalu menanyakan kabar Almira setiap hari seperti malam ini. Padahal Almira sudah besar, seharusnya Mama Lestari tidak usah sekhawatir itu, toh sudah ada Emil yang merawatnya dengan sangat baik dan memang suaminya itulah yang sekarang bertanggung jawab penuh atasnya.

"Banyak konsumsi yoghurt, brokoli, lobak, itu mengandung kalsium yang bagus buat mempercepat proses penyembuhan patah tulang, Nak," ujar Mama Lestari dari seberang telepon.

"Iya, Ma. Tadi Al juga baru aja minum yoghurt. Tadi pagi sarapan dengan sup brokoli juga," sahut Almira akan hal itu, edaran matanya mengarah ke meja kayu di hadapan yang tergeletak kemasan botol kecil yogurt yang sudah kosong.

Belum lama mengobrol dengan Mama Lestari, sambungan telepon sudah diambil Asraf, meminta agar Almira segera mengakhirinya karena hendak Asraf gunakan untuk bermain game online.

"Dek."

Suara bariton Emil mengalihkan atensi Almira yang baru saja meletakkan ponselnya ke meja usai ajang bertelepon dengan Mama Lestari selesai. Kepalanya yang berambut sebahu itu menengok ke muara suara, bibirnya merekah senyum kala netra kelamnya melihat Emil membawa senampan berisi makanan yang entah apa, Almira belum tahu.

"Dalem, Mas," sahut Almira kemudian, kedua matanya menyipit, dia sudah tidak sabaran ingin tahu perihal apa yang sedang Emil bawa ke kamar.

"Kamu belum minum obat, Dek. Sekarang makan malam dulu sama ayam teriyaki buatan Mas," kata Emil begitu sampai ke area sofa, meletakkan nampan yang di atasnya terdapat segelas air hangat bersamaan dengan sepiring nasi mengepul, sepiring ayam teriyaki yang masih panas, dan piring terakhir tersaji satu sisir pisang raja.

Binar mata semringah Almira membuat Emil senang. Secara reflek, Almira menggeser pantatnya sedikit, memberi ruang kosong untuk Emil duduk, padahal ruang kosong yang ada masihlah luas.

Almira ikut membantu Emil menaruh piring ke meja. Aroma menggoda ayam teriyaki itu menggelitik indera penciuman Almira, hingga kadar air liur di mulutnya bertambah.

"Sebelum makan ayam teriyaki, kamu harus makan ini dulu, Dek," goda Emil begitu mengambil satu siung pisang raja, lolos menjadikan Almira cemberut.

"Jangan paksa aku makan itu ya, Mas. Sebagai gantinya, aku siap habisin semua ayam teriyakinya," tawar Almira yang diekori hehe ringan.

Emil yang sudah duduk di samping Almira itu, mencubit cuping hidung Almira seraya menyangkal, "Kalo nggak makan ini dulu, justru ayam teriyakinya mau Mas habiskan semua."

"Mas, jangan begitu dong." Almira mulai merayu, mengelus punggung tangan Emil.

Sesungguhnya, Emil ingin tertawa ringan atas rayuan Almira, tetapi sebisa mungkin dirinya tahan dengan sok-sokan tak acuh, mengupas kulit pisang raja di tangannya.

Mendapati itu, Almira meneguk ludah, berpikir bahwa rayuannya tidaklah mempan dengan kedua mata mongoloidnya menonton jari-jari Emil yang sedang mengupas kulit kuning pisang raja.

"Aa ..., Dek," pinta Emil agar Almira membuka mulutnya usai pisang raja di tangan sudah dikupasnya setengah batang.

Sesuai atensi Emil, Almira tak kunjung membuka mulut, wajahnya mengusut, menggeleng pelan. Namun, Emil kukuh untuk menyuapi istrinya ini dengan pisang raja, pasalnya barusan Almira suka yogurt rasa pisang, masa pisang sungguhan tidak suka, Emil belum percaya dengan itu.

Halal untuk AlmiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang