34. Proses Awal Pemulihan

26K 1.9K 180
                                    

Sebab retak tulang kering di kaki dan patah di lengan tangan bawah dengan semuanya di bagian kiri, menjadikan Almira tak bisa menggunakan kruk untuk berjalan, kursi roda menjadi alternatif pergerakan kesehariannya. Pergerakannya menjadi banyak terbatas, salah satunya dalam hal mandi. Almira kesulitan mandi secara normal sebab memakai gips yang mengharuskan gips itu selalu kering. Dalam hal tersebut, dia menggunakan bantuan penutup gips yang kedap air atau kalau tidak, dia mandi dengan cara dilap menggunakan handuk, menggunakan jenis sabun tanpa bilas.

Pagi telah diberingsutkan oleh malam. Gerimis merintiki benatala Cilacap.

Almira baru saja selesai mandi kering dan keramas ala di salon. Untuk mendukung pemulihan kesehatan Almira, Emil menyediakan beberapa fasilitas tambahan di kamarnya, salah satunya adalah kursi keramas ala barber shop yang langsung terhubung dengan wastafel dan kran air.

"Mas."

Suara Almira mengalihkan fokus Emil yang sedang mengeringkan rambut Almira. Kedua tangan kokoh Emil telaten meremas rambut Almira dengan handuk putih. Aroma green tea bercampur mint dari  sampo yang barusan dipakai memanjakan rongga hidung Emil.

"Iya, Dek. Ada apa?" sahut Emil, menghentikan sejenak remasan tangannya, melirik ke arah cermin di meja rias yang ada di hadapan.

"Biar aku saja, Mas. Aku bisa sendiri kok," pinta Almira seraya menimpali tatapan mata Emil yang berada dalam pantulan cermin.

Bukan menjawab, bibir Emil justru mengurva. Hal tersebut dalam mengeringkan rambut menggunakan satu tangan memang bisa, tapi bukankah itu sulit dan jelaslah merepotkan diri sendiri?

"Biar Mas saja, Dek. Nggak usah merepotkan diri." Emil kembali meremas rambut Almira perlahan.

"Tapi kamu pasti udah capek, Mas."

Wajah Almira berubah amat rikuh. Selama kembali dari Jogja, dia menjadi begitu merepotkan Emil, bahkan di hampir setiap saat. Terutama di pagi hari seperti sekarang, Emil sibuk seperti ibu-ibu yang mengurus anak kecilnya; membantu memandikan Almira, memilih dan membantu memakaikan pakaian, mengeringkan rambut Almira jikalau keramas, menggendong Almira, hingga bersih-bersih kamar. Kamar menjadi hal amat privasi bagi Emil, dia tidak mau sembarangan orang merapikannya. Karena Almira sedang sakit, jadilah dia kembali ke mode saat lajang dan menduda untuk melakukan hal itu sendiri.

"Capeknya nggak seberapa. Lihat kamu senyum aja, semua capeknya langsung luntur," jawab Emil seraya kembali melirik sejenak ke arah Almira lewat alternatif pantulan cermin.

Almira yang mengenakan bathrobe putih itu cemberut. Dia sedang tidak menerima jawaban demikian.

Melihat pemandangan itu, sebelah tangan Emil terulur untuk mencubit ringan pipi Almira seraya berujar, "Ya sudah kalau begitu, Mas mau imbalan setelah ini."

"Baik. Mau minta imbalan apa, Mas?" Pancaran wajah Almira berubah berpendar pancarona. Tangan kanannya bergerak menyentuh punggung tangan Emil yang barusan mencubitnya ringan dan tak ada rasa sakit sedikitpun, kepalanya menengadah untuk melihat wajah Emil secara langsung.

"Nanti sarapannya yang banyak biar pipinya berisi," ungkap Emil sambil mengulangi aksi mencubit pipi Almira.

"Tapi aku masih nggak enak makan," rengek Almira dengan memberikan tatapan memelas.

"Mas nggak menerima alasan itu, Dek. Pokoknya harus dipaksa," ledek Emil. Toh, ledekan itu benar adanya, porsi makan Almira pasca bencana kentara sedikit, dia ingin memulihkan porsi makan istrinya seperti semula walau semua yang dimakan masih terasa hambar, pasalnya tubuh Almira kian terlihat kurus dengan bentuk wajahnya tampak lebih tirus.

Halal untuk AlmiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang