06. Satu Permintaan

5.9K 289 2
                                    

Tamu untuk Almira adalah seorang lelaki paruh baya, tubuhnya tinggi tegap, rambutnya hitam belah dua, sepasang matanya sipit.

"Hyejin," panggil lelaki paruh baya ini kala kedua mata sipitnya melihat Almira radius 7 meter dari arahnya.

Suara lelaki paruh baya itu tidak begitu keras, tetapi terdengar jelas di indera pendengaran Almira. Cengkeraman tangan Almira pada lengan Emil semakin kuat kala lelaki itu menyebutnya Hyejin--nama Korea Almira.

Bak bocah kecil ketakutan, Almira menggeser tubuh rampingnya ke belakang tubuh Emil untuk bersembunyi.

"Hyejin, ini Appa," panggil lelaki paruh baya ini setelah berdiri--masih di area dirinya duduk.

Di balik tubuh Emil, Almira menggeleng cepat, lantas dia terburu pergi, kembali ke kamar.

"Ini Appa, Hyejin. Appa rindu kamu, Hyejin," jelas lelaki paruh baya, hendak mengejar Almira, tetapi dirinya engkan karena tahu diri bahwa itu tidaklah senonoh.

Mendapati itu, Emil yang sebenarnya hendak langsung mengejar Almira pun memilih mendekat ke lelaki paruh baya tersebut.

"Maaf, Tuan Bahran, saya suaminya Almira," kata Emil dengan kikuk saat mengenalkan diri pada ayah kandung Almira, di mana ini adalah perjumpaan kali pertama, ditambah dengan sikap Almira yang barusan, membuatnya bertambah kikuk dan tidak enak hati. Dia bersalaman dengan Tuan Bahran penuh sopan.

"Tidak apa-apa, Nak," sahut Tuan Bahran, menepuk bahu Emil, mengeja wajah Emil sejenak, "Saya Bahran, ayah kandungnya Hyejin alias Almira. Senang sekali melihatmu, Nak."

Emil mengangguk takdzim seraya ulasan senyum hadir di bibirnya yang langsung dijawab dengan senyuman tulus Tuan Bahran.

Di belakang mereka berdua, tampak Ummi Wardah berjalan ke arah mereka. Diekori seorang abdi ndalem yang membawa nampan jamuan tamu.

"Saya izin menyusul Almira, Tuan. Nanti saya kembali lagi bersama Almira," pamit Emil dengan rikuh.

Kepala Tuan Bahran mengangguk. Menepuk bahu Emil lagi. Melepaskan Emil pergi.

Ummi Wardah mengambil kendali. Menyilakan jamuan tamu pada Tuan Bahran, mengajaknya bercakap-cakap, merenggangkan ketegangan.

"Al," panggil Emil, begitu tiba di kamar, mendapati tubuh Almira meringkuk miring di kasur.

Segera Emil duduk di pinggiran kasur, menyentuh lengan Almira seraya berkata, "Al, ayo temuin ayah kamu."

Dengan tubuh yang masih menegang, Almira menggeleng cepat. Dia takut. Dia takut dengan ayahnya itu.

"Bukankah kamu katanya udah maafin ayah kamu, Al?" selidik Emil.

"Aku udah maafin, tapi apa yang dulu beliau lakuin ke Mama, aku nggak pernah ikhlas," jawab Almira, semakin meringkuk takut.

"Itu tandanya kamu belum maafin ayah kamu seutuhnya, Al."

Mendengar suara bariton Emil yang memang tepat, Almira tersenyum hambar, menimpal, "Memang. Dan aku nggak peduli sama itu. Dari dulu aku udah anggep Appa, hm maksudku ayah ... nggak ada. Ayah itu pria nggak bener, Mas."

Emil tetap bergeming. Memilih mengelus kepala Almira sembari membujuk perlahan, "Al, ayo bangun."

"Aku nggak mau nemuin, Mas," tolak Almira. Malah memejamkan kedua mata sipitnya.

"Sekarang aku nggak nyuruh kamu buat nemuin ayah kamu."

"Aku tahu Mas bohong," sangkal Almira. Pejaman matanya semakin kuat.

Halal untuk AlmiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang