23. Wajah Muram Asma

25.9K 1.9K 164
                                    

Entah tempat apa ini. Tempat ini amat indah.

Angin paginya hangat. Matahari sudah muncul sempurna. Banyak pepohonan hijau yang rindang. Kicau burung terdengar syahdu. Ada sebuah rumah kayu kecil dengan di berandanya terdapat bangku kayu cukup panjang. Di bangku kayu itu diduduki seorang lelaki berusia sekitar setengah abadan memakai koko putih dan juga peci putih.

"Abah," sebut Emil begitu dia bisa melihat jelas siapa yang tengah duduk di bangku kayu. Dia melangkah cepat mendekati Abah Rosyid.

"Abah," sebutnya lagi begitu dia sampai di hadapan Abah Rosyid. Bersimpuh. Menyalimi Abah Rosyid, mencium punggung tangan beliau.

Wajah teduh Abah Rosyid semringah. Menepuk-nepuk bahu anak semata wayangnya ini.

"Sini duduk di sebelah Abah, Nak."

"Nggih, Bah."

Emil pun duduk di sebelah Abahnya. Perasaannya amat bahagia, akhirnya setelah sekian lama, dia bisa bersua juga dengan Abahnya yang sangat dirinya rindukan.

"Nak, ketika kamu memutuskan menikah, itu artinya kamu sudah siap berupaya banyak hal. Salah satunya berupaya menerima apa adanya istrimu. Jika kamu tidak mencintainya, kamu harus berupaya mencintainya, lalu kalau kamu gagal, upayakan lagi, lagi dan lagi," nasihat Abah Rosyid seraya menatap 2 burung pipit yang singgah ke pohon rindang di depan sana.

Emil meneguk ludahnya getir. Dia langsung paham jika Abah Rosyid tengah menasihatinya tentang hubungan pernikahannya dengan Almira. Dia menundukkan wajah. Dadanya sesak akan penyesalan telah mendzolimi Almira.

"Kamu nggak bisa menjadikan Almira layaknya Asma atau Asma layaknya Almira. Mereka 2 orang berbeda dan memiliki kepribadian yang juga berbeda. Saat kamu sulit menerima seseorang di samping kamu, lihatlah kebaikan yang dia miliki, Nak. Maka akan sedikit lebih mudah untuk kamu menerimanya, perlahan-lahan sampai juga kamu akan sempurna tulus menerima dia." Kali ini Abah Rosyid menasihati sembari menatap Emil yang tengah tertunduk sesal, mengelus punggung Emil.

"Semuanya belum terlambat. Perbaiki pelan-pelan. Jadilah suami yang baik, Nak."

Masih tertunduk, air mata Emil tumpah. Dadanya kian sesak akan rasa sesal. Beristighfar berulang-ulang dalam benak. Usapan Abah Rosyid di punggungnya cukup membuat tenang. Emil memeluk Abah Rosyid. Membiarkan tangis penyesalannya kian menganak liar. Elusan lembut Abah Rosyid terus berulang dirasakan, hingga pelan-pelan rasa tenang menyusupi dada Emil.

Dan ... dalam sekejap suasana berubah drastis.

Emil mendapati dirinya tengah duduk di sebuah sofa beludru. Dia mengeja sekitarnya dengan tatapan mata. Dilihat dari interior dan furnitur yang ada, dia seperti tengah berada di sebuah ruang keluarga bergaya bohemian. Mengeja ruang tersebut sejenak, hingga akhirnya menemukan  seorang wanita yang tengah menyiram tanaman bunga peace lily.

Wanita itu mengenakan gamis putih. Postur tubuhnya cukup pendek, kurus, tampak mungil.

Wajah Emil yang masih cukup basah oleh air mata, muka keruhnya perlahan menjernih. Bibirnya mengurva bahagia. Tergesa mendatangi wanita itu yang belum sadar akan kehadirannya. Dia paham benar siapa wanita ini. Wanita ini adalah Asma.

"Sayang," panggil Emil seraya memeluk tubuh kecil Asma dari belakang.

"Aku amat merindukanmu," saksinya, menyinggahkan ceruk lehernya ke bahu Asma.

Wanita mungil ini tetap bergeming. Dia menyempatkan menaruh teko air di sebelah pot bunga yang tadi digunakannya untuk menyiram bunga peace lily.

"Kamu pasti juga rindu aku, 'kan?" Emil mengeratkan pelukannya. Pikiran dan perasaannya langsung membaik sebab bersua Asma.

Jemari tangan Asma menyentuh wajah Emil. Ini menjadikan Emil mengurai pelukan, membiarkan Asma berbalik untuk leluasa menatap dirinya.

Halal untuk AlmiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang