36. Afeksi

21.4K 1.5K 101
                                    

Akhir-akhir ini, Emil dilanda perasaan rendah diri. Rendah diri perihal dirinya yang sepertinya tidaklah pantas mendapatkan maafnya Almira. Rendah diri perkara dirinya yang sepertinya tak juga pantas menjadi teman hidup Almira. Walau Almira sudahlah memaafkannya secara tulus, tetapi rasa bersalah yang ada tetaplah menghantuinya.

Pasca persitegangan itu, Emil lebih dari sadar bagaimana tabiat buruknya di kemarin-kemarin yang ada, membuat Almira yang tampak tak mempermasalahkan semua itu, nyatanya Almira amat tertekan hidup bersamanya. Almira memang mencintainya dari awal, tetapi mencintai saja tidaklah cukup jikalau tidak mendapatkan timbal balik yang setimpal, berakhir patah hati berulang-ulang.

"Mas ...."

Suara lembut Almira menggerakkan Emil untuk menggelengkan kepalanya pelan. Dia paham, Almira hendak menyangkal semua ungkapan keputusasaannya barusan.

"Kadang juga Mas ngerasa, Mas nggak pantes buat kamu. Mas udah banyak nyakitin hati kamu, tetapi pada akhirnya dengan cepat, Mas dapet maafnya kamu dan terus berikan kasih sayang kamu ke Mas. Sungguh, kamu ini ...," ungkap Emil, menenggak ludahnya getir, "Kamu terlalu baik buat Mas, Dek. Mas sungguh ...."

"Mas, sudah ...." Sesuai atensi Emil, Almira enggan membahas hal tersebut lagi.

"Mas sungguh nggak pantes buat kamu," imbuh Emil, mengutuhkan kalimatnya yang barusan belum sempurna, disusul cepat dengan gelengan kepala Almira.

"Kamu pantes buat aku, Mas. Jangan berpikiran seperti itu. Bukankah sebelumnya, kita sudah sepakat buat memulai lembaran baru dengan nggak ngungkit-ngungkit masalah kemarin? Biarlah itu cukup jadi kenangan dan hanya diingat sesekali untuk kembali mawas diri. Selebihnya, biarlah rumah tangga kita mengalir hangat seperti akhir-akhir ini, sama-sama mengupayakan, sama-sama berjuang agar hal seperti dulu nggak kembali terulang. Saat itu, aku juga salah, Mas. Aku abai sama kewajiban aku ke kamu, tapi dengan besar hatinya, kamu maafin aku."

Mendengar kesaksian Almira, tenggorokan Emil terasa perih, kedua matanya memanas. Dia sungguh menyesal sebab telat menyadari hal tentang ini, bukan semata-mata soal dirinya yang bersalah atas di kemarin itu, melainkan perkara telat sadar akan hati Almira yang jugalah amat cantik. Lihatlah, bahkan di saat demikian, Almira terus mencoba membesarkan hatinya, Almira justru merendah bahwa dirinya juga bersalah--sekalipun, memang begitu keadaannya, tetapi bagaimanapun, kesalahannya jelaslah lebih besar daripada Almira.

"Tapi kesalahan Mas lebih besar, Dek." Kepala Emil menunduk, genggaman tangannya pada Almira kian erat.

Menonton Emil yang memerih, Almira menghirup napasnya dengan sesak. Baginya, semua kesalahan Emil tidaklah apa-apa, dia sudah memaafkannya. Toh, Emil sudah merubah sikapnya menjadi seperhatian sekarang, dia sungguh tidaklah ingin mengungkit-ungkit masalah di belakang itu yang sudahlah selesai.

"Mas, nggak seharusnya kita membandingkan kesalahan siapa yang lebih besar untuk saat ini. Bukankah kamu nemuin aku dalam jawaban istikharah? Itu berarti, bukankah adanya kita bersama adalah hal terbaik untuk aku maupun kamu atas pilihan Allah? Mas pantas buat aku, Allah sendiri yang milih aku untuk kamu, pun sebaliknya, kamu untuk aku. Aku juga banyak belajar dari semua ini, Mas. Aku memiliki kesalahan sedari awal menikah sama kamu. Bahkan bukan dari awal menikah, tetapi kesalahan itu muncul dari awal kamu datang menemui orangtuaku."

Rasanya jantung Emil berhenti berdetak sejenak kala mendapati kejujuran penuh emosional Almira. Saking terbawa perasaannya, kedua mata sipit Almira berkaca-kaca. Kesalahan apa? Emil tidaklah paham.

Halal untuk AlmiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang