Bab 4 | Preman

12 3 0
                                    

Pertemuan kita, bukan tanpa sengaja. Ini takdir yang akan mengubah segalanya.

-Badai & Lukanya-

Matahari sudah menenggelamkan diri beberapa jam lalu dan Ian masih tetap melangkahkan kaki tanpa arah. Wajahnya kusut sama seperti seragam sekolah yang entah masih mengeluarkan bau harum atau malah sebaliknya. Ian tidak memperdulikannya. Ia bukan lelaki yang suka berkaca di depan cermin hanya memastikan pakainya cukup bagus untuk memikat para kaum hawa. Banyak alasan Ian bersahabat dengan Malvi. Salah satunya masa bodo dengan pakaian, mereka lebih menomor satukan kenyamanan dari pada gaya.

Jalanan malam ini tidak terlalu ramai. Mungkin karena hari ini masih jauh dari hari libur. Angin semilir membawa dingin pada tubuh lelah Ian. Tangannya ia masukkan ke dalam saku celana mencoba menghalangi tajamnya hembusan angin.

Ketika asik dengan pikirannya sembari memperhatikan langkahnya di atas trotoar. Ian terusik akan suara minta tolong dari kejauhan. Meskipun begitu, ia masih dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Akan alasan gadis seusianya meminta tolong.

Ian mendengus. Sebenarnya ia dalam keadaan yang tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Tapi karena sisi kemanusiaannya masih ada, akhirnya Ian berlari menghampiri gadis yang meronta minta tolong hanya karena tas kecilnya di tarik paksa oleh seorang preman bertubuh lusuh.

Tanpa berkata apa-apa. Ian langsung menghajar wajah preman itu. Gadis yang berhasil lepas dari jeratan, membulatkan mata terkejut. Akhirnya ada orang baik yang mau menolongnya.

"Lo jangan ikut campur! Anak bau kencur!" Preman itu maju ingin melawan. Tapi serangannya percuma karena Ian berhasil menghindar. Jika dibanding, preman itu tidak ada tandingannya dengan musuh-musuhnya yang selama ini beradu fisik dengan dirinya.

Awalnya Ian hanya menghindar ketika preman itu mencoba melumpuhkannya. Tapi karena badannya sendari awal sudah lelah, akhirnya ia menyelesaikan pertandingan dengan cara mencekal lengan preman ke belakang lalu mendorong kasar membentur pinggiran trotoar.

Preman itu berlari seperti Ian duga. Senyumnya mengembang tipis melihat keberhasilan diantara tubuhnya yang mulai lelah tak berdaya. Sendari kemarin ia tidak makan apa-apa. Niat awalnya makan di kantin seperti biasanya, terhalang oleh perkelahian dua gadis tidak tau malu. Mengingat itu, ia jadi teringat akan nasib Malvi. Bagaimana keadaannya sekarang? Seberapa banyak cakaran yang gadis itu terima? Jika saja Ian memegang handphone, mungkin saat ini ia sudah menggoda Malvi habis-habisan.

"Kamu gak apa-apa kan? Makasih ya, udah nolongin aku." Ian yang senyum-senyum sendiri karena membayangkan raut kesal Malvi terlonjak kaget. Ia membalikkan badan menatap gadis yang baru saja di tolongnya.

"Gue baik."

"Kamu dari SMA Garuda Negara ya?" tanyanya antusias setelah melihat seragam yang di kenakan lelaki penolongnya sama dengan dirinya.

"Iya, lo juga sekolah di sana? Salam kenal, gue kakak kelas lo, Ian." Lelaki itu mengulurkan tangan sama antusiasnya. Wajah lelahnya tersamarkan dengan senyum tipis.

Gadis itu terkekeh lucu, "kita satu angkatan. Gue Kyara, anak 12 MIPA 1." Kyara menerima jabatan tangan Ian yang salah tingkah karena mengira dirinya adalah adik kelas.

"Maaf gue gak tau, badan lo kecil kayak gak pernah makan sebulan." Kyara tertawa pelan sembari menggelengkan kepala. Baru pertama kali ini, ia bertemu dengan lelaki yang perkataannya tidak di filter terlebih dahulu. Terlalu berani.

"Kenapa? Emang bener kan?" Ian tidak memperdulikan gadis di depannya tersinggung atau tidak dengan perkataannya. Toh, ia sudah menolong Kyara.

"Iya, tapi gak sebulan juga. Bisa-bisa mati, tinggal nama." Kyara tipe gadis yang mengikuti lawan bicaranya merespon apa. Jika lawan bicaranya merespon dengan candaan seperti Ian, maka ia akan sama cairnya. Tapi jika lawan bicaranya seperti lelaki yang ia temui di sekolah tadi pagi, yang ternyata ketua kelasnya. Maka Kyara akan sama cueknya.

BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang