Bab 19 | Rapuh

12 2 0
                                    

Tidak masalah tidak memiliki teman banyak. Lebih baik sedikit yang selalu mau tinggal, ketika kita dalam keadaan terpuruk.

-Badai & Lukanya-


Kan menginjak rem tiba-tiba ketika seorang gadis ingin menyeberang. Sepanjang perjalanan pikirannya kalut akan adiknya. Beberapa menit yang lalu dirinya memutuskan untuk mencari Ian setelah ia menanyai kabar keberadaan kepada sahabat-sahabat Ian.

"Kian?" Gadis itu terlonjak kaget ketika mobil di depannya hampir akan menabraknya. Segera ia melangkah mendekat ketika dirinya tau siapa pengemudi ugal-ugalan di pagi yang mendung ini.

"Untung gue ketemu lo disini," terangnya antusias tanpa menghiraukan detak jantungnya yang masih berpacu karena terkejut.

"Gue minta maaf, gue harus buru-buru pergi." Ketika Kian akan menutup kaca mobilnya. Setelah dirinya menatap gadis yang akan di tabrakannya ternyata Kyara.

"Gue ikut ke rumah lo. Gue mau ketemu Ian." Kyara melangkah ke sisi lain mobil untuk berniat masuk. Sebelum Kian mengizinkan ikut dengannya.

"Ian lagi gak ada di rumah."

"Alesan! Ini darurat! Barang gue ketinggalan sama dia, karena kemarin gue buru-buru pulang." Kian yang ingin melajukan mobilnya, langsung menatap Kyara tidak percaya.

"Apa? Lo kemarin jalan sama Ian?" serunya cukup keras tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Biasa aja kali! Lo cemburu? Ayo buka pintunya!" Kyara menarik-narik pintu mobil agar segera Kian buka. Sebelum lelaki itu ingin memprotes lagi, suara klakson dari belakang membuat dirinya akhirnya menuruti kemauan teman sekelasnya itu.

"Ian lagi gak ada di rumah," terangnya sembari melajukan mobil tanpa menoleh ke arah Kyara yang menghembuskan napas lega.

"Kemana?" Kyara menatap Kian yang terlihat tegang. Jauh lebih dingin dan tak tersentuh. Meskipun begitu, Kyara senang hari ini dirinya bisa bertemu dengan Kian. Apalagi dalam satu mobil dan baru pertama kali.

"Ini gue lagi nyari," jelasnya singkat dan padat. Tanpa mau repot-repot menjelaskan lebih rinci. Sudah cukup rusak akan suasana hatinya karena Ian bersikap buruk terhadap Mamanya. Dan sekarang? Lelaki itu harus terjebak dengan Kyara.

"Kemana?" tanyanya dengan pertanyaan sama. Wajah polosnya membuat Kian ingin mencekik gadis di sampingnya.

"Kalo gue tau Ian dimana, gue gak akan nyari dia!" geram Kian memegang erat setir mobil tanpa ingin menendang Kyara keluar dari mobilnya.

"Ok. Gue ikut. Pasti seru!" Kian memutar bola mata malas. Terserah gadis itu ingin berkata apa.

"Ini semua karena lo. Kenapa juga lo mau diajak jalan sama dia." Akhirnya Kian tidak tahan akan amarahnya yang malah menyala kembali. Kehadiran Kyara malah memperburuk keadaan.

"Ian gak ngajak gue jalan. Justru gue yang gajak dia jalan. Lagian apa hubungannya sama dia pergi dari rumah?"

"Dia pulang larut malam. Dan Mama..." Kian memalingkan wajah setelah menatap marah ke arah Kyara.

"Mereka berantem ya?" tanya Kyara hati-hati. Dirinya merasa bersalah ketika Kian mengangguk samar.

"Tidak sepenuhnya salah lo. Memang Ian suka bikin onar! Dia brandal! Anjing liar!" Kyara menyipitkan mata ke arah Kian yang malah membela dirinya ketimbang adiknya. Memang Kyara lumayan senang, tapi Kian tidak perlu membelanya dengan menjelekkan Ian.

"Meskipun Ian selalu bikin rusuh, gak seharusnya lo ngomong gitu! Kalo dia denger gimana? Kalian itu kakak beradik." Kyara menumpahkan kekesalannya, "meskipun gak sedarah," sambungnya ketika Kian akan berbicara.

***

Kelabu yang tadi memenuhi langit, mulai mengikis dan perlahan menampakkan mentari. Padahal jika turun hujan, mungkin tidak akan menjadi penghalang untuk Ian. Lelaki itu sudah bersimpuh di depan batu nisan yang bertuliskan nama Ibunya.

Tidak ada air mata yang keluar. Lelaki itu terlihat tegar seperti biasanya. Hanya saja saat ini tidak ada senyum terlukis di bibirnya. Malvi yang berada di sampingnya, hanya bisa mencabut rumput-rumput asal. Hati dan kerongkongannya terasa ngilu. Matanya berkaca-kaca tapi segera ia usap, agar Ian tak melihat.

Setelah terdiam dalam kesedihan dan pikiran berkecamuk. Ian akhirnya berdiri. Tanpa mengatakan apapun kepada Malvi, lelaki itu melangkah. Melewati beberapa batu nisan. Kepalanya tertunduk terasa energi sudah habis entah semenjak kapan.

Malvi ikut duduk di samping lelaki itu. Ketika Ian berteduh di bawa pohon. Kedua matanya kosong dan ada sedikit rasa putus asa di sana.

"Gue tau lo kuat." Ketika Malvi memutuskan untuk mengatakan itu. Rasanya kerongkongannya tercekat ngilu. Apakah yang dilakukan saat ini sudah benar jalannya atau tidak. Hanya saja saat ini yang berada di pikirannya adalah membuat Ian merasa lebih baik. Sebagai sahabat yang sudah beberapa tahun bersama, ia jarang melihat Ian seperti ini. Seperti puding yang tak memiliki tenaga sedikitpun.

"Ian, lo boleh nangis." Lelaki itu menoleh. Tatapan yang amat menyayat hati. Membuat kedua mata kembali berembun, "atau kita menangis bersama?" lanjutnya tak tahan lagi. Malvi menangis. Kerapuhan sahabatnya berhasil menyergap dirinya.

"Makasih," gumam Ian tercekat sembari memeluk Malvi erat. Ian menangis. Tuk pertama kalinya. Setelah kematian Eila.

"Lo punya gue Ian. Gue gak akan pernah ninggalin lo." Malvi melepaskan pelukan. Tatapan sendu terpancar di kedua kelopak mata Ian. Lelaki itu kini rapuh. Dan Malvi akan selalu berusaha menyenangkan Ian. Apalagi ketika bangun tidur tadi, ibunya sempat bercerita jika Ian ingin terjun dari jembatan. Awalnya Malvi tidak mempercayai. Tapi akhirnya ia yakin ketika saat ini Ian menitihkan air mata.

"Ian," Malvi memegang pundak lelaki di sampingnya, "sebenarnya gue tau. Lo dan Kian, adalah saudara... Beda ibu." Akhirnya Malvi mengungkapkan apa yang selama ini dirinya pendam. Kedua tangannya bergerak gelisah.

Ian hanya diam. Wajah lelaki itu lebih baik dari sebelumnya, "maaf. Gue, hanya gak sengaja denger sewaktu kalian bicara. Gua gak akan bilang ke siapa-siapa." Malvi menunduk. Takut jika Ian kecewa dan marah akan dirinya.

"Terimakasih udah mau jadi sahabat gue. Lo yang terbaik." Lelaki itu tersenyum. Menepuk pundak Malvi cukup keras. Menyiratkan bahwa ia baik dan bersyukur memiliki Malvi di sampingnya. Gadis itu selalu membuat dirinya nyaman. Tidak memaksa Ian menceritakan masalahnya, meskipun kebanyakan perempuan selalu ingin tahu.





🏆

Setidaknya kita berusaha. Dari pada hanya diam meratapi.🍁

BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang