Takdir memberikan apa yang mungkin tidak kamu suka, bukan karena kamu tidak pantas untuk hidup bahagia. Tapi karena takdir ingin membentuk mu lebih kuat dan berani. Kebahagiaan akan selalu ada, ketika kamu bersyukur dan ikhlas.
-Badai & Lukanya-
Beberapa jam yang lalu matahari sudah menenggelamkan diri bersama cahaya yang mulai tergantikan oleh gelap gulita malam. Di balkon kamarnya, Kian menatap handphone ragu. Hembusan napas berat mengiringi angin yang mulai membekukan tubuh.
"Hallo Harry?" Kian mendekatkan handphone ke telinganya, setelah ia terhubung dengan seseorang yang akan menjawab semua pertanyaannya.
"Ian ada di tempat lo kan?" Rasa khawatir yang sendari tadi Kian pendam akhirnya terlepas perlahan. Karena jawaban dari sebrang teleponnya jika adiknya bersama Harry.
"Tolong jaga dia. Dan jangan bilang kalo gue telepon lo." Kian mematikan sambungan. Matanya menerawang jauh di antara rumah-rumah berjajar rapih. Dirinya tidak pernah berbicara layaknya kakak beradik dengan Ian. Jarak di antara mereka merenggang tanpa ada yang menghentikannya. Mereka seolah bersikap bodo amat, tapi dalam benak paling dalam, mereka saling mengkhawatirkan.
Meskipun Aryan tidak memperdulikan akan keberadaan Ian. Tapi Kian yang menyadari jika dirinya memiliki amanah untuk menjaga adiknya, akan melakukan apa yang dirinya bisa. Mereka perlahan tumbuh dewasa dan tidak ada yang berubah, mereka saling diam meskipun berada dalam satu kamar.
***
Harry mendekati Ian yang tertidur di kamarnya. Seharian temannya itu berada di kamar, tanpa mau keluar hanya sekedar makan.
"Bangun woy! Ini udah malem, lo gak pulang apa?" Lelaki itu menggoyang-goyangkan tubuh Ian yang mendengus kesal dan mencoba menyingkirkan tangannya.
"Bukannya gue ngusir, tapi lo itu punya rumah. Lo harus tidur di rumah lo sendiri." Harry semakin menggoyangkan tubuh temannya. Ia harus membuat Ian pulang. Setidaknya malam ini Harry harus bisa tidur nyenyak, karena kemarin ia harus ikut begadang bermain PS menemani Ian. Dan karena itu, di kelas ia tertidur.
Ian bangkit dari tidurnya. Matanya menatap kesal ke arah Harry, "jam berapa?" tanyanya sembari menguap lebar.
"10," gumamnya datar tanpa memperdulikan keterkejutan teman tidak tau diri yang seenaknya tidur di kamarnya. Bahkan mungkin bantalnya sudah terkena air liur Ian.
"Kenapa lo baru bangunin gue?" Lelaki itu bangkit. Pakaian sudah diganti dengan milik Harry. Sementara seragamnya sudah ikut tercuci dan mungkin sudah kering sekarang.
"Uang sisi balapan kemarin masih ada kan? Mana? Mau gue pakek naik taksi?" Ian mengacak rambutnya yang sudah berantakan seperti tidak pernah di sisir selama seminggu lebih. Bau badannya cukup wangi karena tadi pagi ia menumpang mandi di rumah Harry. Dirinya sudah cukup dekat dengan penghuni rumah ini, tak terkecuali pembantu. Karena dirinya sering menginap atau sekedar bermain.
"Lo kalo urusan uang, selalu nomor satu." Harry beranjak dari duduknya. Ia melangkah mendekati meja belajar dan meraih dompet.
"Bukannya lo ya? Bukannya waktu gue di hajar kemarin, lo malah kabur duluan bawa semua uang?" Ian menyambar uang pemberian Harry. Ia menaikan sebelah alisnya lalu segera melangkah pergi.
Setengah jam perjalanan menuju rumah, akhirnya Ian sampai dan ia harus tetap waspada untuk masuk ke dalam. Bagaikan pencuri, ia tidak ingin pemilik rumah tau akan kehadirannya.
Perdebatan singkat kemarin dengan Aryan, sudah membuat Ian kecewa berkali-kali. Ingatannya semakin tajam akan bencinya kepada Papa kandungnya.
Perlahan Ian menutup pintu kamarnya perlahan. Ia mendengus kesal ketika tiba-tiba Kian bergerak membalikkan badan dalam tidurnya. Dalam kegelapan karena lampu sudah dimatikan, ia pikir jika Kian pura-pura tidur. Tidak peduli. Jika memang kakaknya pura-pura tidur.
Lelaki itu melangkahkan kaki akan memasuki kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti ketika ada sepiring nasi dengan lauk di atas meja tidur. Apakah itu untuk dirinya? Entahlah. Jika Kian memang sengaja meletakkan makan malam untuknya, ia harus memakannya. Sebenci apapun Ian dengan Kian. Ia harus mengisi perutnya yang memang tidak sempat makan malam di rumah Harry.
***
Pagi ini Ian sudah berada di meja makan bersama keluarga yang mungkin bukan keluarga sebenarnya. Dalam hidupnya, hanya Eila ibunya yang benar-benar ia anggap sebagai keluarga.
Sosok ibu yang selalu ia rindukan selama beberapa tahun ini. Kasih sayang seorang ibu yang sebenarnya. Dalam kekurangan ekonomi, Eila menjadi seorang wanita tangguh. Menjadi ibu yang berusaha keras untuk membuat Ian kecil bahagia. Menjadi guru pribadinya, di antara teman-temannya yang pergi ke sekolah mengenakan seragam.
Selama 9 tahun. Eila menjadi guru bagi Ian. Tidak ada uang lebih untuk menyekolahkan anak semata wayangnya. Pekerjaan Eila hanyalah penjual kue, hingga kecelakaan itu mengubah segalanya.
Ian kecil hidup sendiri meskipun Papanya dengan berat hati memungutnya layaknya sampah.
"Kamu pulang jam berapa?" Pemuda yang sudah mengenakan pakaian santai, mendongak dan menghentikan aktivitasnya. Pikirannya kalut karena selama seminggu ia harus berada di rumah, karena sekolah melarangnya pergi.
"Kamu sudah besar Ian. Kamu bukan anak-anak lagi." Aryan melanjutkan ucapannya ketika putra keduanya hanya menatapnya beberapa detik, lalu melanjutkan sarapan. Begitulah Ian, pemuda itu mudah sekali mengeluarkan perasannya ketika berada di dekat teman-temannya dan berbeda ketika berada di antara keluarga.
Kian yang berada tepat di samping adiknya, hanya menikmati sarapannya. Seperti bisa, ia tidak akan pernah masuk dalam obrolan Ian dan Papanya yang selalu membahas akan kelakuan buruk saudara beda ibunya itu.
"Apa yang dibilang Papa kamu benar Ian. Sebentar lagi kamu akan lulus, kamu harus fokus akan belajar kamu, seperti Kian." Ayu tersenyum singkat sembari memberikan paha ayam kepada piring anak tirinya.
Ketika Ian hanya diam, tanpa merespon apapun. Aryan menggelengkan kepala tidak mengerti akan jalan pikiran putra yang tidak pernah ia inginkan kehadirannya, "ini peringatan terakhir Ian. Jika kamu tidak merubah sikap buruk mu itu, Papa tidak segan-segan mengeluarkan kamu dari sekolah, dan membawa kamu ke asrama."
Suara keras dari sendok yang Ian benturkan di meja, membuat semua orang menoleh. Pemuda itu mendengus dingin, beranjak dari tempat duduknya.
"Ian pamit pergi ke kamar." gumamnya penuh kekesalan yang mendalam. Paginya selalu berantakan seperti ini. Sekeras apapun dirinya berusaha mengerti jalan pikir Papanya, ia selalu bertemu dengan kekecewaan. Kenapa bisa ibunya dulu selalu memuji-muji Aryan, ketika dirinya merindukan sosok Ayah.
Kenapa laki-laki bajingan itu tercipta sebagai Papa kandungnya.
🏆
KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)
RomansaIkuti kisah cerita Kian dan Ian, dua bersaudara yang tidak memiliki hubungan baik. Mereka saling diam layaknya orang asing. Memiliki kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Kesamaan mereka hanya satu. Tidak percaya cinta dan memiliki luka...