Yakin adalah kunci dari keberhasilan.
-Badai & Lukanya-
"Kyara ingin tinggal disini." Ungkapan Kyara ditengah-tengah perbicangan mereka berempat membuat semua terdiam terkejut, "jika Tante mengizinkan."
Bunga tersenyum menatap Kyara, "tentu Bunda senang jika kamu tinggal disini. Malvi pasti akan menyukainya." Wanita itu melirik sekilas putrinya.
"Iya. Gue juga pasti seneng. Sebelumnya kita sudah membicarakan ini, Om Kevin sering meninggalkan Kyara sendiri di rumah. Jadi mungkin akan lebih baik, Kyara tinggal untuk sementara di sini." Kebohongan Malvi tertutup rapi karena senyumannya yang mampu memastikan perkataannya. Ia sama sekali tidak berniat berbagi kamar dengan Kyara. Bahkan di sekolah, Malvi berusaha menghindar jika bertemu dengan gadis itu. Tapi karena sesuatu alasan, ia harus menerima ketika Kyara ingin tinggal bersamanya.
"Sebenarnya aku tidak terlalu menyetujui keinginan Kyara. Tapi dia selalu keras kepala. Maaf atas permintaan Kyara, kalian tidak perlu menyetujuinya. Jika memang tidak menginginkannya. Aku tidak akan tersinggung." Kevin menatap penuh perhatian kepada Malvi dan Bunga. Ia malu terhadap permintaan Kyara. Mereka baru saja bertemu dan putrinya itu langsung menginginkan tinggal bersama tetangga lamanya.
"Jangan khawatir Kevin. Aku sama sekali tidak keberatan. Aku tau betul menjadi orang tua tunggal, aku juga sering meninggalkan Malvi sendiri. Kita memiliki nasib yang sama. Setidaknya kita harus saling membantu. Kyara sudah seperti putri ku juga. Jadi, aku dan Malvi. Sama sekali tidak keberatan." Senyuman tulus Bunga, membuat Kevin semakin tidak enak. Mengingat kebaikan yang di berikan Bunga sewaktu dulu. Membuat hatinya menghangat dan ingin mengucapkan banyak terimakasih.
"Terimakasih Tante, Tante memang sangat baik." Kyara berdiri lalu memeluk erat Bunga yang sedikit terkejut. Ia akhirnya membalas pelukan itu dan terkekeh melihat keaktifan Kyara. Gadis itu sama manisnya seperti dulu.
"Gak usah lebay, kalo lo peluk Bunda kayak gitu. Dia, bisa-bisa kehilangan napas!" Malvi berdiri kesal. Dirinya tidak terlalu suka melihat Bunga di peluk seseorang. Apalagi gadis yang seusianya. Malvi memang gadis yang memiliki kecemburuan diatas rata-rata.
"Maaf, terlalu bersemangat." Kyara melepaskan pelukan. Menatap Kevin dan Malvi bergantian. Ia tersenyum tanpa dosa.
"Gimana kalo kalian ke atas? Malvi, bisa menunjukkan kamarnya yang berantakan." Malvi langsung melirik kesal Bundanya. Betapa jujur wanita yang ia sayangi.
"Boleh, ayo Malvi!" Kyara menyambar tangan Malvi semangat. Melangkah ke arah tangga. Tanpa memperdulikan Malvi yang akan protes.
"Ada apa Kevin? Apa ada yang salah?" Bunga kembali menoleh ke arah pria paruh baya di hadapannya. Setelah ia tersenyum senang melihat interaksi putrinya dan Kyara.
"Kau selalu bisa membaca pikiran orang ya?" tanyanya memperlihatkan deretan gigi putih. Tersenyum.
Bunga terkekeh dan menggeleng pelan, "mungkin. Aku wanita yang sangat cerdas." Wanita itu sama sekali tidak merasa canggung. Mereka sudah kenal satu sama lain. Dan bahkan ketika masih bertetangga, mereka saling curhat tentang keluh kesah. Mencari kebahagiaan dengan menceritakan tumbuh kembang anak-anak mereka.
"Tapi, kau dengan mudah tertipu bujuk rayu pria brengsek." Kevin tertawa lepas. Sangat mudah mencairkan suasana. Dirinya dan Bunga memiliki rentang usia yang tidak terlalu jauh. Mungkin hanya beberapa tahun. Ibu Kyara seumuran dengan Bunga.
"Jangan mengingatkan aku itu Kevin. Kau tidak bisa mengalihkan pembicaraan. Aku masih mengingat akan pertanyaan yang belum kau jawab. Dan seperti biasa, kau menghindarinya!" Wajah Bunga serius. Kilatan kesal jelas terpancar di kedua matanya. Wanita itu tidak jauh berbeda dengan Malvi ketika sedang kesal.
"Kyara," gumam Kevin merendahkan suara. Wajahnya sama seriusnya.
***
"Akhirnya! Gue bisa sekamar sama lo!" Kyara berteriak senang setelah Malvi mempersilakan dirinya masuk ke dalam kamar gadis itu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya di depan Malvi.
Gadis tomboi itu hanya bisa menghela napas. Ia tidak bisa membayangkan akan selalu dekat dengan Kyara. Gadis yang tidak ingin ditemuinya lagi. Entah alasan kuat apa yang membuat Malvi menjadi seperti ini.
"Jadi, besok lo mulai tidur disini? Gue udah bilang ya Kyara, kamar gue gak sebagus dan serapih kamar lo." Malvi masih mencoba menghasut Kyara agar tidak jadi tinggal di rumahnya. Padahal Malvi sudah tau betul jalan pikir Kyara. Gadis manis yang keras kepala. Keputusannya tidak akan pernah berubah. Dan sulit.
"Bukan masalah. Kita bisa menata kamar ini agar sedikit rapih." Kyara duduk di tepi ranjang. Menatap seisi kamar Malvi yang memang berantakan. Beberapa buku berada di sofa, tempat tidur dan meja belajar. Bahkan bungkus makanan ringan masih belum di buang dari atas meja kecil.
"Jadi, kita akan benar-benar membujuk Kian dan Ian agar menyetujui untuk belajar bersama?" Malvi ikut duduk di samping Kyara. Matanya menatap serius. Ia masih belum yakin dengan kekonyolan yang akan ia buat dengan teman lamanya.
Kyara mengangguk antusias. Wajahnya menoleh dengan senyum mengembang, "pasti! Kita harus bekerja sama untuk mempersatukan mereka. Mulai besok, kita harus memaksa mereka. Apapun caranya, mereka harus mau." Ungkapan menggebu-gebu jelas terpancar dari suara Kyara. Matanya berkilat semangat. Seperti seorang pria yang akan pergi berperang. Dan dengan pasti, menenangkan pertarungan itu.
"Tapi membujuk Ian, mungkin akan sulit. Meskipun kami sudah bersahabat cukup lama. Tapi gue gak pernah bisa membujuk Ian akan hal seperti ini. Apalagi merencanakan belajar bersama di rumah lelaki itu." Wajah Malvi menunjukkan kekhawatiran. Langkah yang ia ambil terasa salah. Ian selalu sensitif terhadap masalah pribadinya. Meskipun banyak bicara, Ian tidak suka membicarakan tentang dirinya sendiri. Tapi Malvi mungkin memiliki cela. Mengingat bahwa Ian sedikit mempercayainya ketika mereka pergi ke makan Eila. Ian memeluknya dan menangis. Malvi meringis dan sakit mengingat akan hal memilukan itu.
"Lo pasti bisa Malvi." Kyara memegang pundak gadis tomboi yang berada di sampingnya, "lo wanita tangguh dan pemberian. Lo pasti punya banyak cara untuk meyakinkan Ian."
Malvi hanya mengangguk. Keyakinannya kembali menyeruak masuk ke dalam tubuhnya. Berhasil atau tidak, ia harus berusaha terlebih dahulu. Mencoba dengan segala cara agar bisa meluluhkan hati Ian.
🗿
Berusaha konsisten itu sulit~
KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)
RomanceIkuti kisah cerita Kian dan Ian, dua bersaudara yang tidak memiliki hubungan baik. Mereka saling diam layaknya orang asing. Memiliki kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Kesamaan mereka hanya satu. Tidak percaya cinta dan memiliki luka...