Bab 9 | Mimpi

11 3 0
                                    

Hidup ku hancur dan masa depan mengabur, ketika jantungnya berhenti berdetak. 

-Badai & Lukanya-

Baru saja Kyara memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mengedarkan pandangan mencari seseorang. Helaan napas berat berhasil lolos dari hidungnya.

"Kian kemana? Tasnya ada, tapi orangnya dari tadi gak ada." Lelaki yang Kyara cari tidak nampak sendari tadi, ketika jam pembelajaran pertama dimulai.

Teman perempuannya yang akan pergi ke kantin menoleh, "dia ada di lapangan basket, dia kan sebentar lagi mau lomba." Gadis itu pergi tanpa menunggu respon Kyara yang bangkit dari duduknya.

Dengan langkah penuh semangat. Kyara keluar kelas berniat menghampiri Kian yang sangat ia rindukan. Seharian ini Kyara belum bertemu ketua kelasnya itu. Membuat perasaannya gelisah. Sesuatu telah hilang dan itu karena Kian.

Sebelum ke tempat tujuan. Kyara membelokkan arah ke kantin. Ia ingin membelikan air putih untuk Kian.

Sesampainya di lapangan basket. Kyara menajamkan kedua matanya mengedarkan pandangan. Senyumannya terbit layaknya mentari pagi ketika dengan pesonanya, Kian berlari mengiring basket, melompat dan bola seperti jeruk itu berhasil masuk.

Cukup lama Kyara terpesona akan kemampuan ketua kelasnya. Ia melangkahkan kaki mendekat, ketika peluit pelatih berbunyi. Menandakan latihan hari ini sudah cukup.

Mata Kyara menyipit tidak suka. Langkahnya tertahan. Seorang gadis entah dari mana berlari ke arah Kian membawa handuk dan sebotol air. Mereka berbicara singkat, yang Kyara tidak tau tentang apa. Jaraknya masih cukup jauh.

Baru ketika Kian menerima minuman dari gadis itu, buru-buru dengan mempercepat langkah, Kyara menghampiri ketua kelasnya.

"Lo gak boleh minum ini." Dengan cekatan gadis berambut pendek dengan poni menutup sebagian keningnya menyambar air minum yang akan di buka oleh Kian.

Kyara menoleh ke arah gadis asing yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba datang sok cari muka dengan Kian, "maaf ya. Kian gak boleh minum minuman dingin. Gak baik untuk kesehatan." Dengan senyum manisnya Kyara mengembalikan air minum itu kepada pemiliknya.

"Lo minum air ini aja. Gak dingin dan pastinya baik untuk tubuh lo." Kyara menyodorkan botol minum yang ia beli di kantin kepada Kian. Sementara gadis asing itu mendengus kesal lalu pergi. Kyara tersenyum puas.

"Ayo di ambil Kian. Lo mau dehidrasi karena gak minum? Lo mau sakit? Masa, ketua basket sakit sih? Kan gak lucu, kalo lom..." Belum sempat Kyara melanjutkan ucapannya, Kian buru-buru menyambar botol minum. Lelaki itu membalikkan badan dan duduk mencoba menjauh dari Kyara.

"Gak bilang makasih gitu?" Kyara semakin mengembangkan senyum ketika Kian dengan wajah datarnya meminum air pemberiannya.

"Makasih," gumam Kian akhirnya, setelah ia menyisahkan setengah air dari botol plastik di tangannya. Dengan menatap Kyara, lelaki itu mengusap sisa keringatnya dengan handuk yang gadis asing tadi berikan.

"Eh, gimana kerja kelompoknya? Waktu kita, cuma seminggu lho." Kyara mencoba membuka obrolan. Beberapa hari sekolah di sini, dirinya masih belum mengerti akan sifat Kian yang terlalu tertutup.

"Gimana kalo kita kerjain tugas-tugasnya di rumah lo aja?" Kyara menaik turunkan alisnya ketika Kian menoleh ke arahnya.

"Kita ke rumah lo aja! Rumah gue masih dalam perbaikan. Jadi mungkin, pasti gak nyaman." Gadis berambut pendek itu tidak membiarkan Kian berpendapat. Karena memang inilah alasannya. Kyara tau jika Kian tidak ingin rumahnya menjadi tempat kerja kelompok mereka. Tapi Kyara sangat ingin mengetahui rumah ketua kelasnya.

"Ok. Kita ke rumah lo ya? Nanti gimana? Sepulang sekolah? Biar cepet selesai?" Kyara menarik-narik lengan Kian. Lelaki itu jelas risih, apalagi semua teman basketnya melihat interaksi mereka.

"Iya, oke." Kian berdiri sembari melepaskan tangan Kyara bagaikan lintah menjijikkan yang menempel di lengannya.

***

Anak laki-laki sekitar 10 tahun itu tersenyum senang ketika dirinya berjalan di trotoar yang ramai. Dirinya dengan semangat menyapa beberapa orang yang lalu lalang. Ia mengenali setiap orang yang ia sapa, mulai dari tukang parkir, beberapa pedagang kaki lima yang biasa mangkal, lalu pemilik warung yang sering ia kunjungi bersama ibunya.

"Mau kemana bocah ingusan?" Anak lelaki itu memanyunkan bibir sembari mengusap hidupnya yang memang sedikit mengeluarkan ingus.

"Biasa, mau ke ibu." Senyuman anak itu tidak pernah luntur meskipun takdir menghimpit dirinya di antara ekonomi terbatas hingga dirinya tidak mampu melanjutkan sekolah dasarnya.

"Hati-hati, rawan kecelakaan akhir-akhir ini." Pria paruh baya yang menjabat sebagai tukang parkir sebuah minimarket menepuk pundak anak kecil itu yang dengan tas lusuhnya berjalan penuh semangat menyusuri jalan.

Baju yang tak lagi bersih. Warna Hitam yang sudah pudar terserap sinar matahari dan kerasnya hidup. Menyaksikan dengan bisu, akan nasib yang tidak beruntung di alami anak sekecil itu. Tidak memiliki uang bukanlah masalah utama. Tapi masalah yang mengganjal hatinya selama 9 tahun adalah...

"Anak haram? Mau kemana lo?" Anak laki-laki itu menghentikan langkah. Ia menoleh ke arah pemuda-pemuda lusuh yang banyak memiliki tato. Beberapa di antara mereka mengenakan topi dan membawa alat musik yang di buat dengan bahan seadanya. Seperti kaleng bekas, botol plastik yang berisikan krikil.

"Mau kemana? Bisu ya?" Salah satu pemuda menarik kasar lengannya, membuat anak itu terpaksa menoleh dan mendongak, karena tubuhnya yang tidak terlalu tinggi.

"Anak haram." Beberapa orang terkekeh setelah mengejek anak laki-laki yang sudah cukup mengerti akan olok-olokan yang sudah merayap masuk ke dalam telinganya sendari ia kecil.

Anak lelaki itu mengepalkan tangan. Dirinya tidak terima di perlakukan seperti ini. Dengan gesit, tinjunya yang cukup keras menghantam perut pemuda yang tadi menarik bahunya.

"Dasar anak haram! Sini lo!" Anak lelaki itu berlari sebelum pemuda-pemuda yang jauh lebih tua darinya mengejarnya.

Berlari sembari sesekali menoleh ke belakang. Secepat mungkin dirinya harus lolos. Dari kejauhan, suara lembut yang mampu menenangkan hatinya memanggil dirinya. Anak itu berhenti berlari dan mengedarkan pandangan. Ia melihat wanita paruh baya yang masih saja cantik menatap dirinya di sembarang jalan.

"Ibu," gumamnya akan melangkah mendekat. Tapi mobil melesat cepat mengembalikan kesadarannya.

"Kamu tunggu disitu ya, Ibu akan ke sana." Lelaki itu mengangguk membalas senyuman penuh arti dari Ibunya.

Belum sempat senyuman itu pudar dari wajah wanita yang ia sayang. Tubuh ibunya tertabrak mobil, sedetik wanita itu melangkahkan kaki ingin menyeberang.

Napas Ian memburu layaknya pacuan kuda. Keringat sebesar biji jagung sudah memenuhi kening dan beberapa titik tubuhnya. Ia mengedarkan pandangan menatap kamarnya yang sepi. Entah berapa lama ia tidur hingga mengalami mimpi buruk yang tidak ingin ia ingat.

Ian meraih gelas di atas nakas. Napasnya masih memburu dan dengan malas ia mengutuk dirinya sendiri karena tidak mengisikan air ke dalam gelasnya. Kebiasaan yang selalu membuat ia kesal sendiri.

"Kenapa mimpi itu selalu datang? Apakah takdir ingin mengingatkan ku, betapa menyedihkannya aku?" Ian mengacak rambutnya frustasi. Ia menyibakkan selimut lalu melangkah keluar kamar hanya ingin meneguk air putih.

🏆

Sampai jumpa besok. Dengan kisah yang semakin meningkat. (Kepedean. Hahahah)

Jangan lupa bersyukur dan tersenyum hari ini. Karena lebih baik mendapatkan kegagalan, dari pada hanya diam menunggu keajaiban. Tanpa mau ingin menggapai.

BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang