Belum apa-apa. Rasanya ingin menyerah terlebih dulu.
-Badai & Lukanya-
Beberapa menit yang lalu bel istirahat berbunyi dan saat ini Malvi masih sibuk dengan catatannya. Ia tidak ingin terkena hukuman karena tidak mengerjakan PR. Jadi Malvi memutuskan untuk merelakan makan siangnya, demi tugas yang ternyata sampai beberapa lembar.
Suara ketukan pintu membuat gadis tomboi itu menoleh dan menghela napas. Kelasnya kebetulan sepi, hanya dirinya yang tersisa, "masuk aja. Gak ada orang."
Kyara masuk dengan senyuman yang selalu menempel di wajah manisnya. Di tambah dengan poni, yang terlihat seperti gadis kecil. Ia duduk di samping Malvi yang melanjutkan menulis.
"Jadi, apa rencana kita?" Kyara menyangga kepala dengan tangan kanan. Menatap Malvi yang serius dengan catatan.
"Sebentar ya, ini tinggal sedikit." Gadis tomboi itu menoleh sekilas ke arah Kyara. Mencoba memberikan waktu untuk dirinya menyelesaikan tugas yang ingin sekali ia tenggelamkan atau bakar.
"Santai Malvi. Lo gak usah buru-buru. Lagian gue suka kok ada di sini." Malvi hanya mengangguk-angguk sembari terus mempercepat tulisannya mendengar pernyataan Kyara. Setelah kemarin ia memutuskan untuk pergi ke rumah Kyara. Ia akhirnya menetapkan tuk melakukan semua kekonyolan ini. Kekonyolan untuk mempersatukan Kian dan Ian. Mereka bukan anak kecil yang mudah di kelabui. Mereka sudah cukup umur untuk mengerti akan kehidupan yang sebenarnya.
"Ian kemana?" Kyara menatap bangku yang tepat di samping meja milik Malvi. Di sana ada dua tas, yang salah satunya milik Ian. Laki-laki dengan tingkah brandal. Suka bikin onar.
"Mungkin ke kantin. Gue bukan pengasuh, yang selalu tau di mana keberadaannya." Malvi menegakkan tubuh. Ia menutup buku tulis puas. Akhirnya beban hidupnya selesai.
Gadis tomboi itu sedikit membenarkan tempat duduknya, agar bisa berhadapan dengan Kyara. Gadis itu selalu terlihat bersemangat. Meskipun sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi.
"Gue gak punya rencana. Mungkin lo?" gumam Malvi dengan wajah yang mulai serius. Suaranya sedikit ia pelankan. Meskipun keadaan kelas masih sepi tidak ada tanda-tanda seseorang akan menguping.
"Bulan depan kita udah ujian semester, gimana kalo kita belajar bareng? Kita dan mereka? Mungkin akan seru, dan bisa mendekatkan Kian dan Ian." Malvi menatap ke arah luar kelasnya. Merenungkan akan ide Kyara.
"Mungkin ide yang gak terlalu buruk. Tapi, mereka pasti gak akan mau. Apalagi Ian, dia masa bodo sama sekolah!" Ada nada kesal di akhir kalimat Malvi. Mengingat akan sikap Ian yang sama sekali tidak memiliki semangat untuk belajar atau mengejar mimpi.
"Lo kan sahabatnya Ian, lo harus bujuk dia. Dan Kian, biar gue yang ngatur." Memang tidak mudah melakukan semua ini. Mereka masing-masing memiliki tantangan tersendiri. Dan harus berusaha sekuat tenaga agar berhasil. Kedua mata Kyara berbinar-binar akan kesungguhannya dengan rencana mereka. Tidak ada yang dapat meruntuhkan niatnya itu.
"Gue, gak yakin. Lagian kalo kita belajar bareng. Mereka gak akan pernah setuju kalo, rumah mereka yang jadi tempat belajarnya!" Sebelumnya Malvi tidak pernah memaksa sesuatu kepada Ian yang memang sahabatnya itu tidak suka. Apalagi ini soal masa depan. Ian sama sekali tidak tertarik. Malvi tidak bisa membayangkan bagaimana caranya ia membujuk agar Ian dapat bekerjasama dengannya. Sesulit soal bahasa Indonesia yang terlihat mudah, tapi menjebak.
"Pokoknya mereka harus setuju. Meskipun mustahil." Kyara tersenyum ragu. Memang rencana ini tidak sepenuhnya akan berjalan mulus. Tapi setidaknya mereka berusaha. Kyara dan Malvi sudah sepakat untuk bekerja sama. Jadi tidak boleh gagal. Rencana mereka harus menemui hasil yang memuaskan.
"Ternyata kalian ada disini!" Teriakkan keras di ambang pintu membuat kedua gadis itu terlonjak kaget. Malvi mengusap-usap dadanya kesal. Menatap Jakson yang terlihat ngos-ngosan.
"Ada apa? Kenapa teriak?" Malvi beranjak dari duduk. Wajah kesalnya masih tercetak jelas. Tangannya mulai merapikan buku dan alat tulis.
"Kian. Dia berantem!" Jakson masuk ke dalam kelas. Langkah kaki lelaki itu terlihat cemas.
"Kian? Lo yakin bukan Ian?" Tanya Malvi. Sekilas ia melirik Kyara yang mulai panik berdiri. Gadis berambut pendek itu menghampiri Jakson.
"Iya Kian! Sebaiknya kalian ikut gue!" Jakson keluar dari kelas diikuti Kyara yang sudah berada di sampingnya.
"Kenapa bisa berantem? Kian gak pernah cari masalah sebelumnya," gumam Kyara menatap Jakson. Wajah paniknya jelas terlihat.
Malvi yang sudah memasukkan bukunya di dalam tas, segera menyusul kedua temannya. Ia menjajarkan langkah cepat di samping Kyara.
"Kian di tuduh ngerebut pacarnya... Entah siapa! Waktu gue tau, yang berantem itu Kian. Gue buru-buru cari kalian." Jakson dengan langkah lebar, menatap satu persatu teman-temannya. Ia tidak tau harus meminta bantuan kepada siapa. Karena yang ia kenal hanya beberapa orang.
Ketika mereka sudah sampai di kantin. Tempat Kian di hajar habis-habisan oleh beberapa orang. Malvi pikir lelaki itu hanya berkelahi satu lawan satu. Tapi gadis tomboi itu harus terlonjak kaget akan beberapa orang yang seenaknya memukul Kian. Yang pastinya akan kalah.
Malvi tidak meremehkan kekuatan Kian. Hanya saja lelaki itu bukan seorang brandalan yang hampir setiap hari berkelahi. Jelas-jelas Kian seperti lelaki kutu buku yang selalu di dalam ruangan. Menikmati buku-buku tebal dengan secangkir kopi atau teh.
"Gimana ini? Tadi, cuma ada satu orang yang hajar Kian. Tapi sekarang, temen-temennya ikut mukul." Nada cemas Jakson membuat Malvi membuyarkan lamunan. Ia juga panik. Apalagi ketika Kyara yang juga menatapnya. Menyiratkan agar Malvi memiliki ide untuk melakukan sesuatu.
Malvi menggeleng pelan kepada Kyara. Yang menandakan bahwa ia juga sama bingung harus berbuat apa. Banyak orang berkerumun dan mereka hanya menonton. Malvi mendengus kesal. Tiba-tiba ide muncul. Ia keluar dari kerumunan dan segera berlari. Tanpa memperdulikan Kyara dan Jakson yang ingin berseru menghentikan. Kedua pemuda itu saling pandang. Memikirkan kemana Malvi pergi tanpa mau memberitahu terlebih dulu.
***
Perkiraan Malvi benar. Ian seperti biasa di belakang gudang. Ia tidak sendiri. Lelaki itu tertawa bersama teman-temannya. Mungkin sama-sama brandal. Tanpa pikir panjang, Malvi mendekat dan untungnya Ian langsung mengetahui kehadirannya.
"Lo harus ikut gue, ini penting." Malvi menarik lengan Ian. Membuat teman-temannya menatap heran. Apalagi melihat wajah cemas Malvi.
"Gak! Gue gak mau." Ian menghempaskan lengan sahabatnya. Ia menatap tidak suka Malvi yang tiba-tiba mengajaknya pergi. Dirinya masih betah berada di sini.
"Kian berantem Ian, lo harus tolong dia." Malvi mengerutkan kening ketika wajah Ian tidak menunjukkan keterkejutannya. Melainkan senyuman sinis yang jelas terlihat. Apakah lelaki itu menyukai berita ini.
"Gue udah tau. Lagian itu bukan urusan gue," gumamnya enteng. Wajahnya terlihat kaku dan tidak berperasaan. Ian malah mencoba mengobrol dengan teman-temannya kembali.
"Dia kakak lo Ian! Lo harus tolong Kian! Dia gak salah apa-apa!" Malvi menarik lengan Ian kasar dan penuh tenaga. Ian tidak menganggap dirinya ada. Dan itu membuat Malvi jengah dan marah.
"Lo pergi! Dia berantem atau enggak, itu bukan urusan gue." Nada dingin Ian semakin membuat Malvi ingin meledak dan menenggelamkan sahabatnya sendiri.
"Ian, gue mohon! Gue tau lo masih kesel sama Kian! Tapi tolong kali ini lo bantu dia. Gue mohon!" Malvi menarik-narik lengan Ian, yang malah berbicara santai dengan teman-temannya. Tidak ada rasa kasihan terhadap kakak kandungnya sedikit pun. Sebenci inikah Ian dengan Kian.
🏫
KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)
RomanceIkuti kisah cerita Kian dan Ian, dua bersaudara yang tidak memiliki hubungan baik. Mereka saling diam layaknya orang asing. Memiliki kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Kesamaan mereka hanya satu. Tidak percaya cinta dan memiliki luka...