Luka semakin dalam, ketika kamu tidak ingin berdamai dengan takdir.
-Badai & Lukanya-
"Sebelumnya maafkan kami telah mengundang Pak Aryan mendadak seperti ini, tapi ada yang harus saya sampaikan kepada bapak mengenai Ian." Wanita paruh baya yang terkenal suka makan itu menatap Aryan yang sudah duduk di samping Ian. Pemuda itu bukannya menunduk merasa bersalah, malah menatap tanpa berkedip ke arah guru BK-nya yang bernama Bu Indah.
"Sebelumnya saya sudah memberikan surat peringatan kepada Ian untuk menyampaikannya kepada Pak Aryan, tapi mungkin, Ian tidak memberikannya kepada Bapak. Jadi, saya memutuskan untuk memberikannya kepada saudaranya, Kian." Wanita paruh baya itu ingin sekali meremukkan wajah menantang salah satu anak didiknya yang nakalnya di luar kesabaran.
"Ian sudah banyak meresahkan sekolah ini, banyak sekali pelanggaran yang ia miliki. Seperti bolos pelajaran, berangkat terlambat, merokok di sekolah dan yang lebih parahnya lagi, beberapa hari yang lalu saya mendapatkan laporan bahwa Ian ikut tawuran. Jadi, saya benar-benar tidak bisa..."
Perkataan Indah terpotong akan ucapan pria paruh baya itu, "selaku orang tua Ian, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan Ian."
Ian menghela napas berat. Ia tau benar sorot mata Papanya terhadap Guru BK-nya. Sorot mata agar dirinya tidak di keluarkan dari sekolah dengan imbalan entah berapa. Ian tidak berpikiran buruk, hanya saja kelakukan Papanya tidak berubah sendari ia kecil.
Meskipun dirinya tidak berprestasi seperti Kian, tapi Papanya selalu melindungi dirinya agar tidak sampai di keluarkan dari sekolah. Ketika SD sampai SMP, Ian dan Kian bersekolah di tempat yang berbeda. Tapi ketika SMA, entah dari dorongan apa kedua orang tuanya mempersatukan mereka di sekolah yang sama.
Ketika Ian bertanya, Papanya hanya mengatakan bahwa agar dirinya meniru kelakuan terpuji dan berprestasi kakaknya. Ketika sekolah mereka terpisah, Ian selalu menjadi murid paling nakal. Sementara Kian selalu berprestasi.
***
"Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan Ian?" Ian menatap punggung tegak Papanya. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu setelah sepanjang perjalanan pulang, mereka berdua sama-sama bisu dengan pikiran sendiri.
Aryan membalikkan badan menatap kecewa Ian. Entah berapa kata sudah ia ucapkan untuk menasehati putra keduanya.
"Kalian sudah pulang?" Aryan masih tetap di posisinya menatap Ian yang refleks menoleh ke sumber suara dari arah tangga.
Ketika wanita paruh baya berambut pendek itu melangkah, "mulai hari ini semua fasilitas yang Papa berikan, akan Papa ambil kembali."
Ian menoleh tidak percaya. Sebenarnya ia sudah berpikiran akan hal ini. Tapi pikirannya tidak menduga akan terjadi sekarang, "ini semua salah Papa. Aku seperti ini salah Papa juga. Kenapa Papa membuat ku ada? Jika sekarang..." Ucapan Ian terhenti ketika tamparan keras mengenai pipi kirinya.
Senyuman manis mereka samar di sudut bibir wanita paruh baya itu. Mata beningnya antusias, menyaksikan pertengkaran kedua pria penghuni rumah ini.
"Jika kamu tau? Papa sehar..."
"Sudah cukup Mas." Suara penuh khawatir dari wanita paruh baya itu menghentikan ucapan suaminya. Ia melangkah lebar dengan wajah yang amat sangat khawatir.
"Maafkan Ian, dia masih muda. Jangan terlalu keras kepadanya." Wanita itu memegang lengan Ian dan menghadap Aryan mencoba menghalangi jika saja suaminya itu akan melukai Ian lagi.
"Kamu tidak perlu ikut campur Ayu, dia sudah di luar batas. Bagaimana bisa, Eila mendidik anak seperti ini." Ungkapan Aryan tidak membuat Ian mereda. Kepalan tangan sudah erat ia genggam, siap meninjau wajah Papanya sendiri.
"Kau orang tua bregsek Aryan." Ian mundur beberapa langkah. Menepis tangan Ayu kasar. Dengan gerakan cepat bercampur emosi. Tangannya sudah mengeluarkan kunci motor, dompet dan handphone yang saat ini bergeming di atas lantai memecah ketegangan di antara mereka.
"Jika saja aku bisa memilih, aku tidak akan pernah sudih meminta mu sebagai Papa kandungku." Ian meludah lalu membalikkan badan. Melangkah keluar dengan amarah yang masih berada di kedua pundaknya. Meninggalkan Aryan yang berteriak, memecahkan vas bunga di sampingnya.
"Tenangkan dirimu sayang." Dengan wajah pura-pura sedihnya, Ayu mendekat dan mendekap suaminya lembut. Betapa pintarnya ia mengubah raut wajah hanya untuk terlihat baik di depan Aryan.
***
Beribu-ribu umpatan telah Malvi keluaran sembari ia mengobati luka-lukanya di UKS. Tidak ada yang Malvi salahkan. Ini memang kesalahannya karena mau dan menerima ketika dirinya di tunjuk sebagai anggota OSIS.
Bukan ia yang mencalonkan diri. Tapi karena desakan bundanya yang entah kenapa ingin sekali ia mengikuti organisasi. Padahal dalam hatinya paling dalam, ia menginginkan silat. Malvi ingin menjadi wanita tangguh. Tidak gampang menangis hanya karena di campakkan laki-laki. Menurutnya, makhluk yang bernama lelaki hanya bisa mematahkan hati. Selalu menebarkan janji dan ketika bosan, mengingkari.
Malvi meringis ketika tangannya menekan luka di pipinya terlalu dalam. Cakaran dari salah satu gadis yang ingin ia lerai malah mengenai dirinya. Rambut yang tadi pagi tertata rapi sudah kusut tak berbentuk.
Pintu UKS terbuka membuat Malvi mendongak. Ruangan UKS hanya di isi olehnya, karena petugas yang selalu menjaga entah kemana. Ada baiknya ia di UKS, karena jam pembelajaran yang ia tinggalkan adalah mata pelajaran yang paling tidak Malvi sukai.
Bukan matematika, tapi seni budaya. Pelajaran yang menurutnya membosankan. Malvi sendari kecil tidak menyukai menggambar, apalagi mewarnai. Malvi kecil lebih suka menangkap seranga dan menakut-nakuti teman sebayanya dengan hewan kecil di tangannya. Sungguh menyenangkan meksipun beberapa teman menyebutnya jijik. Asal kalian tau, Malvi menyukai hujan dan kegiatan yang paling ia sukai ketika hujan adalah mengumpulkan katak-katak kecil. Hanya katak kecil yang di sentuh akan mengembang seperti balon, bukan katak berukuran besar yang selalu berbunyi memekikkan malam.
"Hay Malvi." Gadis itu memicingkan mata menatap seseorang yang baru saja masuk. Malvi sempat berpikir jika Ian yang datang dengan segala ocehannya. Tapi dugaannya salah.
"Masih kenal dengan ku kan?" Malvi mengangguk samar memalingkan wajah. Ia sebenarnya tidak ingin bertemu kembali dengan teman lamanya. Teman sewaktu kecil yang sudah seperti saudara.
"Bukannya kamu ada di Korea? Kenapa tiba-tiba ada disini?" Malvi menatap gadis berambut pendek yang sudah duduk di depannya. Senyuman manis yang membuat siapa saja akan langsung menyukainya.
"Kamu gak suka ketemu aku? Aku kangen banget loh, sama kamu. Cuma kamu satu-satunya sahabat yang aku punya dan percaya. Meksipun pada akhirnya, kita jarang ngobrol semenjak aku pindah." Kyara, gadis berwajah imut yang membuat Malvi iri ketika berjalan di sampingnya. Bagaimana tidak? Ketika mereka berjalan, makan dan mengobrol bersama. Terlihat jelas perbedaan di antara mereka. Bagaikan langit dan bumi. Kyara gadis lemah lembut dengan wajah seperti bayi dan Malvi, berwajah garang dengan pakaian yang sering acak-acakan. Layaknya preman.
"Suka, cuma kaget aja." Malvi tersenyum paksa. Sebenarnya ia mampu mencairkan suasana, tapi dirinya sedang dalam keadaan malas. Luka-lukanya masih sakit dan Ian? Lelaki itu entah berada dimana. Menghilang seperti biasa dan menyisakan kekhawatiran bagi Malvi sahabatnya.
"Kamu ada di kelas apa? Aku ada di kelas 12 MIPA 1." Kyara berdiri setelah meraih kasa steril dari tangan teman lamanya.
"IPS 3." Malvi membiarkan Kyara mengobati lukanya. Sebenarnya Malvi senang-senang saja berteman dengan Kyara. Gadis itu memiliki sifat baik yang tidak mengenal musuh atau teman. Semua orang yang membutuhkan, selalu Kyara bantu. Tapi memang ini salahnya sendiri, Malvi terlalu memikirkan komentar orang, akan dirinya yang tidak pantas berada di samping Kyara. Banyak orang mencemooh dirinya hanya karena ia gadis tomboi penyuka kebebasan.
🏆
Sampai jumpa besok. Seharian di rumah, jangan sampai gak olahraga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)
RomansaIkuti kisah cerita Kian dan Ian, dua bersaudara yang tidak memiliki hubungan baik. Mereka saling diam layaknya orang asing. Memiliki kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Kesamaan mereka hanya satu. Tidak percaya cinta dan memiliki luka...