Bab 14 | Amarah

10 1 0
                                    

Pertahankan seseorang yang mau membantu di kalah susah. Karena sangat sedikit, seseorang yang mau merelakan tubuh dan pikiran hanya untuk membantu.

-Badai & Lukanya-

Bagaimana bisa lelaki itu menghentikan kekhawatiran Malvi terhadapnya. Tapi memang Ian lebih memilih memendam sendiri, rasa sakitnya. Menyimpan masalah sendiri lebih baik dari pada menceritakan kepada orang lain. Bukan Ian tidak mempercayai Malvi, tapi ia tidak ingin suasana bahagia sahabatnya tertunda karena dirinya.

"Aku baik Malvi. Jangan khawatir ok?" Ian menatap gadis yang sudah duduk di sampingnya lekat. Berusaha mendobrak keyakinan Malvi agar tidak memikirkannya.

"Semua pria sama," gumam gadis itu memalingkan wajah. Lalu perlahan merebahkan tubuh. Ia sedikit was-was jika ada seranga atau kalajengking merayapi wajahnya.

"Jadi, apa yang lo lakuin selama gue gak ada? Lo ada masalah akhir-akhir ini?" Begitulah Ian memperlakukan sahabat-sahabatnya. Selalu membuat mereka menceritakan keluh kesahnya, tapi tidak ingat membeberkan penderitanya juga. Tidak terlalu adil jika menyadari itu. Membiarkan Ian memberikan masukan dan saran. Sementara lelaki itu tak mau seseorang bahkan Malvi. Mengerti perasaan Ian yang sebenarnya.

"Seperti biasa. Kumpul OSIS. Sedikit masalah dengan bunda." Malvi menghela napas menatap taburan bintang yang terlihat akan menjatuhkan diri tepat di atasnya. Perasaannya membaik hanya menatap cahaya kelap-kelip alami yang di sajikan alam semesta.

Kedua pemuda itu saling melempar pertanyaan sembari menikmati keindahan malam di atas bukit. Sesekali mereka tertawa ketika beradu pandang. Wajah Malvi terlihat mengemaskan di antara cahaya remang. Wajah keras dan garang yang Ian liat sehari-hari, terlihat menghilang tak tersisa terseret angin.

Jawaban-jawaban polos dan cerita panjang lebar dari mulut Malvi, menjadikan lagu ketenangan bagi Ian. Bahkan dengan mata terpejam, ia bisa merasakan kedamaian menyergap tanpa cela. Terasa mimpi indah yang membawa dirinya terhanyut tidak ingin beranjak.

Malvi tersenyum setelah dirinya menceritakan bagaimana kesalnya akan pertemuan OSIS beberapa waktu lalu. Ia menghembuskan napas berat ketika handphonenya tiba-tiba berbunyi dari tas hitam rajut yang berada di sampingnya.

"Sebentar ya, gue mau angkat telepon." Tanpa menoleh ke arah Ian. Malvi segera mengangkat telepon dengan masih membaringkan tubuh.

"Hallo? Siapa?" tanyanya setelah ia menarik tombol hijau.

Gadis itu mengerutkan kening ketika yang menelpon dirinya adalah Kian yang bertanya apakah ia bersama Ian, "iya. Gue sama dia." Malvi menoleh ke samping. Betapa terkejutnya ia ketika lelaki di sampingnya tertidur lelap.

"Ian tidur di samping gue." Malvi terkekeh ketika di sebrang sana Kian terlihat salah paham, "kita di bukit." Penjelasan gadis itu sedikit membuat Kian tidak salah paham.

"Iya. Gue bakalan nyuruh dia pulang. Tenang aja." Malvi menjawab dengan seperti biasa. Dan Kian yang berada di sebrang sana sangat mempercayai Malvi. Meskipun mereka tidak terlalu dekat.

***

Sudah beberapa hari setelah skors berakhir dan ia masuk sekolah seperti biasa. Kelakuannya tidak berubah meskipun Aryan sudah beberapa kali mengancam. Kepribadiannya hanya Ian yang dapat kendalikan. Dan Aryan sangat tidak berhak mengatur kehidupannya yang sudah lama rusak karena pria tua bangka itu.

Asap mengepul dari rokok yang Ian pegang. Matanya menatap kosong bangku-bangku terbengkalai di antara gudang yang terlihat kumuh. Penuh sampah berserakan dan beberapa kaca mengitari kakinya. Terasa menyedihkan seperti dirinya yang sudah entah berapa lama menikmati kesendirian dengan rokok yang tinggal beberapa inci.

Suara botol minum diinjak membuat Ian menoleh. Tatapan kosongnya kini terlihat cemas. Senyumannya sedikit terpaksa dan mulutnya masih sempat menyesap rokok.

"Tenang, gue gak akan ngaduh." Kyara tersenyum menyakinkan sembari langkahnya mulai mendekat. Gadis itu tanpa risih duduk di bangku reot depan Ian yang terlihat berantakan. Rambut acak-acakan seperti biasa dan juga seragam penuh debu.

"Kenapa lo ada disini? Lo gak ngikutin gue kan?" Di sela Ian mengisap rokok, ia terkekeh menatap Kyara yang pemberani. Tentu gadis itu bukan seperti Malvi. Artian pemberian yang Ian maksudkan adalah, Kyara memiliki sisi keanggunan dengan pakaian seperti gadis pada umumnya. Keanggunan itu mampu menutupi sifat berani dan penyuka tantangan. Terlihat mengemaskan.

"Gue cuma lewat. Lagian gue bosen juga di kelas. Gue pengen sesuatu yang baru." Ian menaikkan sebelah alisnya mendengar pernyataan Kyara.

"Contoh sesuatu yang baru?" tanyanya kemudian sembari membuang puntung rokok dan menginjaknya santai. Ia tau jika Kyara terganggu akan asap rokok yang Ian timbulkan.

"Mencoba temenan sama laki-laki brandal? Yang kebanyakan orang, ingin gue menjauh?" Kyara tersenyum. Napasnya sedikit bebas akan bau rokok yang sama sekali tidak ia suka. Sementara pikirannya mengingat peringatan Kian yang ingin ia menjauhi Ian.

"Pasti Kian yang bilang kayak gitu sama lo. Cowok membosankan." Senyuman sinis Ian membuat Kyara semakin tertarik mengorek lebih dalam akan hubungan seperti apa yang kedua saudara itu jalani. Mereka sama-sama saling membenci dalam sesuatu yang tidak gadis itu mengerti.

"Dia tidak membosankan. Dia cukup manis. Apalagi wajah dinginnya itu." Mendengar pernyataan Kyara, membuat perut lelaki itu mulas.

"Dia hanya ingin cari muka. Dengan sikap seperti itu, jelas akan membuat semua gadis memperhatikannya. Semua wanita menyukai pria yang terlihat misterius." Kyara tidak bisa membendung senyuman dan tawanya. Wajah serius dan sinis Ian mampu menghibur dirinya.

"Lalu lo? Lo gak tertarik untuk memikat hati para gadis?" Kyara memicingkan mata menatap Ian.

Tangan itu mengepal dengan sendirinya tanpa Malvi perintah. Tubuhnya penuh amarah hanya melihat sahabatnya bersama orang lain, bukan dirinya. Ian tertawa, dan tidak dengan dirinya. Selama ini tidak ada yang membuat lelaki itu mencair seperti sekarang, selain dirinya. Tapi Kyara? Gadis itu memiliki mantra untuk membuat semua orang bahagia di dekatnya.

Sudah beberapa menit Malvi mematung dari kejauhan mengawasi mereka. Awalnya ia mencoba biasa. Tapi ketika Malvi melihat ekspresi sahabatnya yang begitu bahagia. Membuat hatinya teriris bagaikan potongan daging.

Karena tidak bisa hanya berdiam diri merasakan amarah yang mulai meledak. Malvi dengan segera membalikkan badan pergi. Sebaiknya ia membiarkan Ian bersamaan Kyara. Jika memang lebih baik demikian. Malvi hanya ingin Ian bahagia, meskipun kebahagiaan itu tidak dari dirinya.

Ketika melangkah cepat. Gadis itu tertabrak. Membuat ia mengumpat ke arah lelaki yang entah dimana kelasnya.

"Lo liat Ian?" Malvi akan melanjutkan langkahnya, terhenti. Ia menatap heran ke arah lelaki itu.

"Kenapa? Ada masalah?" tanyanya ketika ia menyadari ada guratan kekhawatiran dan panik semacam bersamaan.

Lelaki itu ragu untuk mengatakan kebenaran. Ia menatap lamat Malvi yang tentunya tidak sabar.

"Cepet apa? Lo mau gue tonjok?" Ketika Malvi akan mengangkat tangannya yang mengepal. Lelaki itu segera berseru menghentikan langkah Malvi.

"Jakson! Dia di gebukin di kamar mandi. Sam..." Belum juga lelaki itu menjelaskan lebih lanjut, Malvi sudah mendorongnya agar gadis itu bisa berlari panik.

Dengan amarah masih belum mereda. Malvi semakin mengepalkan tangannya. Salah jika mereka mengusik teman dekatnya, termasuk Jakson.



🏆

Hari ini update 2 Bab ya🙂
Kasih vote dong, biar semangat nulisnya 🍁.

BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang