Kadang kala, orang asing lebih bisa mengerti perasaan kita. Dari pada keluarga yang memiliki ikatan darah.
-Badai & Lukanya-
Pagi yang cerah di hari Minggu membangunkan Malvi yang saat ini turun tangga dengan mulutnya yang masih menguap lebar. Entah kenapa tidak biasanya Bunda membangunkan dirinya sepagi ini ketika hari libur. Dahinya mengernyit heran ketika mengamati sofa panjang yang menghadap televisi.
"Ian?" gumamnya tepat ketika ia melangkah dan sadar akan ingatan kemarin. Sebelum memutuskan untuk tidur ke kamar, gadis itu bertengkar cukup sengit.
Wajah damai dan bolos seperti bayi yang baru saja lahir. Membuat gadis itu tidak menyadari sudah mengamati beberapa detik menatap Ian. Laki-laki yang tidak terlalu ia perhatikan, karena selalu tidak sependapat dengan dirinya. Seperti kemarin.
Jika mengingat kejadian sebelum tidur. Malvi kembali mendengus kesal. Masih tidak suka akan Ian yang ternyata diam-diam sudah berjalan dengan Kyara. Gadis itu tidak bisa membayangkan bagaimana mereka semakin akrab bercakap-cakap di sebut cafe. Atau tertawa renyah saling melempar pandang.
Malvi membuyarkan lamunan ketika suara di dapur mengagetkannya. Ketika akan pergi ke tempat Bundanya berada, ia melangkah mendekati Ian. Memungut selimut yang tergeletak di lantai. Lalu dengan pelan, menyelimutkan kembali di atas tubuh Ian yang masih terlelap. Ada guratan kelelahan yang terlihat jelas di wajah polos sahabatnya itu. Dan Malvi tidak akan pernah tega membangunkan, hanya karena ingin usil.
***
Sementara di pagi yang lain. Kian menatap rumah lantai bawa cemas. Ia pikir jika Ian sudah turun ke bawa. Karena ketika Kian bangun, lelaki itu sudah pergi dan anehnya, selimut adiknya masih tertata rapih.
"Ayo segera makan Kian." Lelaki itu tersenyum mengangguk ketika Ayu yang berada di dapur menyiapkan sarapan.
"Ayo. Kita makan bersama." Kian mendongak menyambut kedatangan Aryan yang terlihat santai dengan kaos berlengan pendek. Tentu saja Papanya itu tidak akan pergi ke kantor di hari libur.
Kedua lelaki yang berbeda generasi itu berjalan beriringan menuju meja makan. Senyuman Ayu semakin mengembang bahagia.
"Kamu masak apa sayang?" Aryan mengecup kening Ayu mesra. Membuat Kian memalingkan wajah acuh. Sebenarnya tidak ada yang salah. Hanya saja ketika kedua orang tuanya bermesraan, Kian menjadi teringat akan penghianatan yang dilakukan Papanya. Bagaimana bisa Ian bisa hadir dan bulan kelahiran mereka sangat dekat. Sungguh konyol mengingat kemungkinan-kemungkinan tidak mendasar itu.
"Kian, kamu kenapa?" Lelaki itu tersenyum kikuk. Segera ia duduk tanpa mau membuat kedua orang tuanya curiga apa yang sebenarnya sedang di pikirannya.
"Tidak. Hanya masih mengantuk," gumamnya pada akhirnya setelah bisa menguasai diri.
"Dimana Ian? Dia belum pulang semalam?" Pertanyaan Kian menghentikan percakapan asik Aryan dan Ayu. Dan sedetik kemudian lelaki itu mengerutkan kening heran ketika Mamanya tiba-tiba terisak. Apakah ketika dirinya tidur, terjadi sesuatu?
"Tenanglah Ayu. Kenapa kau menangis?" Aryan beranjak dari kursinya lalu mendekati Ayu dan mengusap lembut pundaknya menenangkan.
"Aku merasa bersalah. Dia pergi karena aku," terang wanita paruh baya itu di tengah-tengah isak tangisnya yang sama sekali tidak Kian mengerti, sebelum kedua orang tuanya mengatakan kepadanya langsung.
"Sebenarnya ada apa?" tanyanya sangat penasaran. Wajahnya sudah tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran. Kian terluka melihat Mamanya menangis di pagi yang cerah ini.
"Ian. Adik mu it..." Penjelasan Aryan terhenti ketika lengannya di sentuh lembut Ayu.
"Jangan jelaskan, mereka akan bertengkar."
Raut wajah Aryan tidak setuju akan usul istrinya, "tidak. Kian harus mengetahui ini."
"Mengetahui apa? Sebenarnya apa yang terjadi kemarin malam?" tanyanya cepat sedikit membentak tidak sabaran. Padahal ini bukan sifat aslinya yang selalu tenang. Semakin kedua orang tuanya mengukur waktu, napasnya semakin tercekat.
"Ian mendorong Mama mu, ketika dirinya mencoba mengingatkan agar anak itu tidak pulang terlalu larut. Anak tidak tau diri." Aryan mengumpat di akhir kalimatnya dengan kedua mata yang menyala marah. Sementara Ayu terus mengusap lembut lengan suaminya agar amarahnya mereda.
"Mendorong Mama? Benarkah?" Kian terkejut akan penjelasan Aryan. Tidak biasanya Ian berlaku kasar dengan Ayu. Mereka jarang berbicara sama seperti dirinya. Dan Kian cukup mengenal adiknya yang tidak akan pernah menyakiti keluarganya. Meskipun mungkin, Ian tidak menganggap demikian.
"Apa yang dikatakan Papa kamu benar. Waktu itu, Mama ingin pergi ke dapur dan melihat Ian yang baru saja pulang. Mama menasehati Ian, dan entah kenapa dia tiba-tiba mendorong Mama. Wajahnya terlihat kesal dan marah." Ayu menjelaskan dengan wajah rapuh dan terluka. Menatap Kian dan Aryan bergantian.
***
Kedua mata Ian berbinar tertepa sinar mentari yang berhasil masuk di sela-sela cendela yang terbuka sebagian. Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian sebelumnya, karena tidak mungkin mengenakan pakaian milik Malvi. Meskipun gadis itu memiliki banyak koleksi kaos oversize.
Saat ini lelaki itu hanya bisa menatap kedua wanita pemilik rumah yang mau menampungnya, keluar masuk dapur menyiapkan sarapan. Ketika Ian ingin membantu, Bunga marah dan tidak mengizinkan. Dirinya terlihat lupa daratan sebagai tamu. Tidak melakukan apapun dan hanya menonton seperti anak kecil yang menanti makanan lezat.
"Bukannya bantuin, malah duduk manis kaya raja!" Ian mendongak menatap Malvi yang sudah duduk di sampingnya. Setelah gadis itu meletakkan sepiring tempe goreng di atas meja.
"Malvi. Gak boleh gitu." Bunga duduk menghadap kedua pemuda yang selalu tidak bisa diam dan saling jahil satu sama lain, "ayo. Kita mulai sarapannya." Senyuman manis terbit dari bibir wanita paruh baya yang terlihat tegar, meskipun hatinya rapuh. Tidak ada pilihan untuk mengeluh. Karena Malvi adalah satu-satunya alasan dirinya terus maju.
"Kok Bunda gitu sih?" Nada cemburu Malvi membuat Ian kembali menatapnya. Alasan gadis itu berlaku barusan adalah, karena Bundanya menyiapkan nasi untuk Ian.
"Kamu sudah besar, harus mandiri," terangnya menyerahkan piring yang sudah berisikan nasi kepada Ian yang hanya tersenyum singkat tanpa mau mengucapkan kata-kata untuk sekedar menggoda atau menghibur Malvi. Entah kenapa sejak dirinya bangun tidur, ia menjadi diam dan hanya mampu memerhatikan.
"Ian juga udah besar! Malahan dia bukan anak Bunda. Anak Bunda kan aku!" Malvi memalingkan wajah kesal ketika Bunga akhirnya menyiapkan sarapan untuk putri tercintanya.
Ian tersentak akan perkataan Malvi. Betapa menyedihkan tidak memiliki seorang Ibu di usia semuda ini. Apalagi saat ini Ian benar-benar membutuhkan sosok penyayang itu.
"Ian. Ayo makan, ini tumis kangkung kesukaan kamu." Setelah memberikan sepiring nasi kepada Malvi, wanita itu mendorong piring berisikan tumisan ke arah Ian.
Lelaki itu menatap lama tumis kangkung yang memang kesukaannya dari dulu. Ia tidak heran akan Bunga yang tau kesukaannya, karena semalam dirinya sempat membicarakan semasa kecilnya bersama Ibu. Tentu dengan masih menyembunyikan akan papa kandungannya yang malah memberitahu semua orang, bahwa ia hanya anak terlantar yang di pungut dari panti asuhan.
"Terimakasih," gumamnya tercekat. Kedua matanya memanas tidak bisa ia kendalikan. Betapa sosok Bunga yang berhasil mengobati rindunya kepada Eila.
🏆
KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)
RomanceIkuti kisah cerita Kian dan Ian, dua bersaudara yang tidak memiliki hubungan baik. Mereka saling diam layaknya orang asing. Memiliki kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Kesamaan mereka hanya satu. Tidak percaya cinta dan memiliki luka...