Bab 17 | Horor

8 1 0
                                    

Seorang ibu akan selalu menyayangi dan melindungi anak-anak mereka. Dan ibu yang baik adalah, ibu yang mampu melihat kekurangan anaknya dan mencoba memperbaiki.

-Badai & Lukanya-

Hampir tengah malam dan Malvi masih asik menonton televisi dengan lampu yang sudah di matikan. Mulutnya perlawanan mengunyah kripik sembari kedua matanya tegang, terus menatap adegan mengerikan. Malam ini dirinya berniat untuk menonton film horor sampai selesai. Tidak menggubris jika Bundanya datang dan memarahinya. Toh, besok ia tidak berangkat ke sekolah.

Televisi di depan Malvi semakin mencekam ketika tokoh utama akan pergi ke ruang bawah tanah. Sosok putih tiba-tiba melayang cepat membuat gadis itu takut, tegang dan tidak sabar secara bersamaan. Film horor dengan berlatar belakang pembunuhan yang melibatkan darah, congkelan mata, jeritan dan wajah mengerikan. Seharusnya Malvi takut, untuk menonton sendirian di rumah tanpa siapa-siapa. Tapi entahlah, dirinya memang menyukai tantangan. Tantangan ketika akan pergi ke kamar mandi sendiri setelah menonton film horor dan rangakaian yang menjadikan Malvi takut sendiri.

Ketika sosok mengerikan akan muncul dan tubuh Malvi refleks menegang. Pintu rumah tiba-tiba terbuka dan langsung membuat gadis itu tersentak kaget, menjatuhkan bungkusan kripik di tangannya. Makanan ringan itu berserakan di lantai, bersama beberapa bungkus yang sudah kosong.

"Malvi!" Suara penuh kemarahan itu membuat gadis itu beranjak berdiri. Tatapan Bundanya yang baru saja pulang dari bekerja, lebih menyeramkan dari pada film horor yang baru saja ia tonton.

"Apa yang kamu lakukan? Apakah ini, yang selalu di ajarkan Bunda?" Tatapan wanita paruh baya itu tertuju pada lantai yang tepat di bawa kaki Malvi. Gadis itu hanya tersenyum sembari berjongkok. Mengumpulkan kripik yang tidak sengaja ia jatuhkan.

"Kamu ini. Kerjaannya tidur, dan kalo bikin rumah berantakan selalu bersemangat." Ketika Malvi akan menjawab omelan Bundanya, matanya tidak sengaja melihat sosok yang tidak seharusnya di rumahnya. Dirinya berdiri kaget.

"Kenapa dia ada disini?" Malvi menujuk tidak suka ke arah lelaki yang hanya menaikkan sebelah alis.

Bundanya melangkah, meletakkan tas coklat di atas meja, "malam ini Ian tidur disini."

"Apa?!" Malvi membulatkan mata menatap Bunda dan Ian bergantian.

"Ian tidur disini Malvi. Jangan teriak, ini sudah malam." Bunda menggelengkan kepala tidak suka akan putrinya yang selalu bersuara keras.

"Ayo Ian. Duduk disini. Bunda akan ambilkan kamu selimut dan bantal. Malvi, ambilkan minum untuk Ian." Wanita itu melangkah menaiki tangga tanpa menghiraukan Malvi yang ingin bertanya lebih lanjut.

"Lo seharusnya seneng gue tidur disini." Ian melangkah mendekati Malvi. Lelaki itu seperti berada di rumahnya sendiri.

"Lo berantem lagi sama Bokap?" Berhubung rumah Malvi tidak terlalu besar dan minimalis. Ian masih bisa melihat gadis itu yang berada di dapur sedang menuangkan air.

Malvi melangkah melewati meja makan sebelum memasuki ruang tamu yang sudah sedikit rapih karena Ian ternyata membersihkan kekacauan yang ia buat.

"Seperti biasa. Membosankan bukan? Berantem, pergi dari rumah, kembali lagi. Dan..." Ian menatap Malvi dengan senyum yang terpaksa. Ia meraih gelas air dan meneguknya hingga habis.

"Tidak membosankan," gumam Malvi tersenyum cerah, "kalo lo masih punya gue." Gadis itu berdiri lalu menyalakan lampu, agar mereka bisa berbicara nyaman.

"Jadi, kenapa lo berantem?" Ketika Ian tidak kunjung berbicara. Malvi mencoba memahami situasi sahabatnya, Meskipun lelaki itu akan sulit membuka diri.

"Pulang malem. Gue tadi nonton sama Kyara, katanya kali..."

"Apa?" sentak Malvi mengerutkan kening, "lo sama Kyara? Habis jalan?" tanyanya ingin meledak.

"Iya. Biasa aja, gak usah teriak." Ian mengacak rambut frustasi. Tubuhnya bersandar agar tenang.

"Bagaimana bisa gue gak teriak? Lo habis jalan sama Kyara." Malvi duduk di samping Ian dengan marah. Kedua matanya sudah melambaikan bendera perang ke arah sahabatnya.

"Emangnya kenapa? Wajar-wajar aja kita jalan. Kenapa harus di permasalahkan? Gue juga gak maksa dia mau." Ian memanyunkan bibir merasa kesal akan respon Malvi yang berlebihan.

Malvi bungkam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Ian yang memang tidak memiliki jawaban yang kuat. Mereka baru saja kenal, dan itu wajar jika mereka berjalan bersama.

"Ya pokoknya lo gak boleh sama Kyara. Dia itu gadis polos, gimana kalo dia punya masalah karena berteman dengan lo? Citra baiknya akan di permasalahkan." Malvi berdiri lagi. Matanya masih berkilat marah.

"Jadi, karena gue cowok brandal. Gak bisa berteman dengan Kyara? Bagaimana dengan Jakson? Si cowok polos yang sering di manfaatkan? Lalu lo? Cewek ketus, tapi anggota OSIS yang selalu berusaha taat peraturan?" Malvi mengepalkan tangan. Ian selalu bisa membalikkan semua perkataannya.

"Terserah lha! Gue mau tidur! Percuma ngomong sama lo!" Dengan amarah yang masih berada di kedua pundak, gadis itu melangkah pergi menaiki tangga menuju kamarnya.

Sementara Ian, lelaki itu hanya tertawa melihat kekalahan sahabatnya. Sangat menarik berdebat dengan Malvi yang tidak mau kalah, meskipun perkataannya memang salah. Dan Ian benar.

"Apa yang terjadi? Kenapa Malvi terlihat marah?" Lelaki itu menoleh menatap Bunda sahabatnya yang sudah membawa selimut dan bantal untuk dirinya. Meskipun mereka jarang bertemu, tapi mereka sudah lumayan akrab.

"Biasa Tan, beda pendapat." Ian meraih selimut dan bantal dari wanita paruh baya yang sudah duduk di sampingnya.

"Kalian ini. Selalu seperti tikus dan kucing. Kamu terlalu suka jika Malvi berdebat dengan mu." Ian tersenyum canggung mendengar apa yang dikatakan Bunga - bunda Malvi memang tidak sepenuhnya salah.

"Jadi," Bunga menepuk pundak Ian pelan, "apa yang terjadi? Meskipun selama ini kamu selalu terlihat bahagia. Tapi kamu tidak pernah bisa membohongi wanita tua seperti Tante." Gurauan di tengah ketegangan mampu membuat Ian hanya bisa tersenyum dengan mata yang menyiratkan bahwa kerapuhan berhasil menguasainya beberapa waktu lalu.

"Tante tidak setua itu. Tante seperti, perempuan baru lulus kuliah." Lelucon yang dilontarkan Ian membuat Bunga menggelengkan kepala pelan.

Wanita itu memegang tangan Ian dan mengusapnya lembut, "kamu tidak perlu menceritakannya. Itulah sifat kebanyakan laki-laki yang sedang memiliki masalah. Kamu takut membuka diri, karena kamu kehilangan seseorang yang kamu percaya. Karena takdir, kamu tidak percaya semua orang. Meskipun begitu. Kamu tidak harus menyalahkan takdir. Karena semua kejadian, pasti ada pesan di dalamnya. Kamu harus lebih kuat." Bunga memegang tangan Ian erat. Mencoba menyalurkan energi positif.

"Terimakasih. Tante mengingatkan ku pada ibu."

"Tentu saja," serunya membanggakan diri mencoba bergurau, "meskipun Bunda hanya memiliki anak satu. Tapi Malvi cukup membuat Bunda belajar banyak. Selama kami hidup berdua, dia selalu membuat Bundanya kehabisan energi. Gadis itu sungguh aktif!"





🏆

Maaf karena kemarin gak update, karena gak sempet 🍁. Hari update 2 Bab ya...

BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang