Kamu tidak seserius dan sekaku, apa yang ku pikirkan.
-Badai & Lukanya-
+853332674***
Save no gue, Kyara.Kian menatap pesan singkat itu tanpa minat. Beberapa detik yang lalu ia sibuk mengerjakan tugas di kamarnya yang lumayan luas dari kamar biasanya.
Kamar berwarna biru dan putih ini tidak hanya terdapat satu ranjang, tapi dua. Ranjang samping balkon adalah miliknya dengan selimut berwarna biru muda dan di sebelahnya yang hanya terpisah beberapa meter karena terletak nakas, milik Ian yang selimutnya berwarna hitam.
Ketika Kian akan membalas pesan teman barunya, pintu kamar yang terbuka mengalihkan fokusnya. Di ambang pintu, sudah ada Papanya yang nampak kusut. Bisa di tebak, pasti sesuatu telah terjadi. Entah dari kantor atau adiknya.
"Ada apa Pa?" tanyanya ketika Aryan hanya mengedarkan pandangan menatap seisi kamar.
"Dimana Ian?" Aryan menatap datar putra pertamanya.
"Gak tau, dari pulang sekolah belum liat."
"Dasar anak gak tau di untung! Udah syukur di terima di rumah ini." Aryan menutup pintu cukup keras membuat Kian yang sudah terbiasa hanya bisa mengusap dadanya.
Lelaki itu membenarkan kaca mata minusnya menatap handphone yang menghilangkan pesan singkat dari Kyara. Ketika Kian akan meletakkan ponsel, pesan dari nomor tidak dikenal kembali masuk. Rasa minatnya rusak karena pikirannya mencemaskan Ian. Meskipun dirinya tidak terlalu dekat dengan adik lelakinya yang berbeda ibu, tapi ada sedikit rasa kasihan terhadap Ian.
Kian dan Ian memang saudara kandung, beda ibu. Mereka di pertemukan dalam satu rumah ketika Kian kecil harus di serahkan kepada Aryan, karena ibu kandung Kian meninggal karena sebuah kecelakaan. Meskipun mereka saudara kandung, tapi Aryan mengumumkan kepada semua orang bahwa Ian adalah anak angkat yang ia ambil dari panti asuhan karena kasihan. Kehadiran Ian adalah kesalahan dan ia tidak ingin reputasinya hancur karena sebuah kesalahannya di masa lalu. Itulah kenapa Ian tidak pernah menuruti perkataan Aryan, pemuda itu sudah terlanjur kecewa. Kecewa akan Aryan, kecewa akan takdir yang memilihnya menjadi anak sebatang kara di usia muda. Tanpa Ibu, yang selama 9 tahun memberikan kasih sayang yang begitu besar.
***
Sinar rembulan sudah tergantikan oleh eksotisnya matahari yang menyinari sebagian permukaan bumi. Deru kendaraan menghiasi jalanan pagi ini. Seperti halnya Kian yang baru saja memarkirkan motornya di parkiran sekolah.
"Kian!" Lelaki itu melirik tidak suka dengan tingkah Malvi yang baru saja mengagetkannya dengan menepuk pundak dari belakang. Pagi-pagi ia sudah mendapatkan teriakkan yang tidak berarti.
"Dimana Ian? Dia belum dateng?" Pagi baru saja di mulai dan pelajaran pertama belum di mulai, tapi seragam gadis itu sudah kusut. Rambutnya ia sanggul asal.
"Jawab woy! Kenapa diem kayak patung?" Malvi menepuk pundak Kian sekali lagi. Membuat wajah lelaki itu berubah masam. Pikiran kalut dan ingatannya menerawang pada beberapa menit yang lalu, ketika dirinya masih asik dengan sarapannya.
"Ian belum pulang juga Kian?" Lelaki itu mendongak menatap Papanya lalu menggeleng lemah.
Ayu yang menuangkan air ke gelas suaminya hanya bisa menghela napas panjang, "dia butuh waktu untuk merenungkan semua ini Mas, kamu jangan terlalu keras dengan dia ya." Ayu mengusap singkat pundak Aryan.
"Memangnya ada apa kemarin? Apa yang terjadi dengan Ian dan Papa?" bisik Kian menatap Mamanya yang langsung mencondongkan tubuhnya.
"Mereka bertengkar karena Ian dapet surat teguran lagi, berkat kamu dia kena skorsing dari sekolah." Kian memejamkan mata. Tangannya memegang sendok kuat. Niatnya hanya menyampaikan surat peringatan kepada Papanya, karena guru BK terus mendesaknya. Dirinya tidak bermaksud memberikan Ian masalah. Seharunya ia tidak harus merasa bersalah, ini memang murni kesalahan adiknya yang selalu memberontak tanpa mau menurut apa yang Aryan katakan. Kelakuan Ian tidak memberikan manfaat apa-apa, malahan semakin memperburuk.
"Kamu jangan sampai seperti Ian, kamu jangan pernah mengecewakan Papa. Lebih baik kamu fokus belajar, kamu sudah kelas 12. Jangan sampai kamu terpengaruh oleh adik tidak tau diri seperti dia." Ucapan Aryan penuh penekanan dan rasa kecewa yang mendalam. Kian hanya mengangguk tanpa mau memberontak.
"Gue gak tau," gumamnya pelan lalu meninggalkan Malvi yang hanya menatap bingung. Bagaimana bisa Kian tidak tau keberadaan Ian, padahal mereka satu rumah. Mereka bukan tetangga yang hanya beberapa kali tak sengaja berjumpa. Mereka satu rumah! Satu kamar!
Gadis tomboi itu mengeluarkan handphone mencari nomor Ian. Panggilan tidak terjawab, membuat Malvi frustasi. Ketika matanya tak sengaja menangkap sosok gadis berwajah manis, segera ia mengedarkan pandangan.
"Malvi!" Panggilan dari kejauhan ia hiraukan. Dengan gerakan cepat, ia melangkah mendekati Jakson yang akan pergi ke sisi koridor menuju kelas mereka. Detik ini ia hanya ingin menjauh dari Kyara.
Gadis berwajah manis itu menatap punggung Malvi yang sudah berjajar dengan teman laki-lakinya yang entah siapa namanya. Kyara bingung akan sikap teman lamanya, seingatnya ia memanggil Malvi dengan nada keras. Tapi kenapa gadis tomboi itu tidak menoleh?
"Mungkin memang tidak kedengaran." Kyara tersenyum. Ia lalu melangkah pergi melewati koridor bagian kiri. Tempat anak MIPA berada. Sementara yang di lewati Malvi, adalah anak IPS berada. Yang bangunannya lebih tua.
"Kian," panggilnya penuh semangat menghampiri ketua kelas yang tempat duduknya tepat di depan mejanya, "kenapa pesan gue gak lo bales semalem?" lanjutnya meletakkan tas kuningnya lalu duduk di samping kian.
"Gak penting." Kian menatap sekilas Kyara lalu melanjutkan menulis catatan.
"Dasar sombong!" Kyara mencibir lelaki di sampingnya. Keningnya mengerut ketika ia menatap buku tulis yang berada di sebelah buku milik Ian.
"Bukunya siapa tu? Lo nyontek ya? Kok nyontek sih?" Kian meletakkan pensil cukup keras di atas meja. Ia mendengus kesal menatap wajah Kyara yang sudah dibuat-buat. Gadis itu saat ini sedang mengolok-oloknya.
"Ketua kelas kok nyontek? Katanya pinter, kok nyontek?" Kyara menyipitkan matanya menggoda Kian yang mulai kelas akan sikap dirinya.
"Lo bisa diem gak?" Kyara tidak memperdulikan peringatan Kian. Ia lebih tertarik akan teman-temannya yang sudah masuk berdesakan, karena mungkin guru mereka datang mengawali pelajaran pertama.
🏆
Untuk Kyara. Orang pinter juga punya rasa malas. Apalagi malas mengerjakan tugas😌.
KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)
RomantizmIkuti kisah cerita Kian dan Ian, dua bersaudara yang tidak memiliki hubungan baik. Mereka saling diam layaknya orang asing. Memiliki kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Kesamaan mereka hanya satu. Tidak percaya cinta dan memiliki luka...