Aku bersyukur dirimu hadir dalam hidup ku. Meskipun nanti pada akhirnya aku mungkin akan terluka.
-Badai & Lukanya-
Ian mengacak rambutnya kalut. Langkahnya sudah menginjak tangga terakhir. Tangan kanannya menggenggam gelas kaca kosong. Ketika keluar kamar, tidak ia temukan Mama tirinya. Setidaknya lelaki itu bisa bernapas lega. Hari sudah sore dan ia melewati waktunya hanya dengan berdiam diri di rumah."Ian!" Teriakkan dari arah ruang tamu yang tidak memiliki sekat dengan meja makan, yang akan lelaki itu lewati. Ketika menoleh mencari siapa yang memanggilnya, ia sedikit terkejut. Gadis itu, yang ia tolong dari preman.
Ian tersenyum membalasnya, menandakan jika Kyara tidak salah orang. Dengan segera ia melangkah mendekat. Mengabaikan Kian yang bingung dan marah, akan sikap tidak sopan teman barunya. Berteriak di rumah orang adalah sesuatu yang tidak boleh di contoh. Apalagi Kyara datang ke rumahnya tuk pertama kali.
"Kita ketemu lagi." Kyara tersenyum. Matanya berbinar menatap Ian yang memakai pakaian santai, celana pendek selutut dan kaos putih polos berlengan panjang. Rambut acak-acakan tidak luput dari penglihatan gadis itu.
Ian mengangguk menimpali ucapan Kyara. Rasa was-was akan mimpi buruknya perlahan lenyap.
"Lo tinggal disini juga? Lo sepupu Kian?" Kyara menoleh ke arah Kian yang menatapnya dari jauh. Menyiratkan agar dirinya segera kembali ke tempatnya.
"Enggak. Kian... kakak angkat gue." Kian yang masih bisa mendengar suara Ian samar, mendengus dingin. Kenapa juga ia menyetujui Kyara mengerjakan tugas di rumahnya.
"Ha? Kok bisa?" Kyara terlihat antusias menanti penjelasan lebih lanjut dari Ian.
"Papa adopsi gue sewaktu kecil dari panti. Udah ya," gumam Ian tersenyum samar sembari mengacak rambut Kyara, "gue haus. Mau ambil minum." Ian mengangkat gelas yang ia bawa agar gadis di depannya dapat melihatnya.
"Eh, tadi lo sekolah gak? Kok gue gak tau lo di sekolah?" Kyara akan mengikuti Ian ke dapur mengambil air, sebelum Kian berteriak menghentikannya.
"Lo mau kerja kelompok? Apa gosip?" Kyara mendengus mendengar pernyataan Kian. Akhirnya dengan langkah berat, ia mendekati ketua kelas yang wajahnya seperti batu. Keras dan tidak tersentuh.
"Lo beda banget sih sama Ian. Dia ceriah penuh warna, sementara lo? Jutek, kayak cewek pms." Kyara duduk dengan enggan. Matanya menyiratkan ketidak sukaannya kepada Kian.
"Lo tau sopan santun gak? Ini rumah gue, seharunya lo gak teriak-teriak. Ini bukan hutan." Kyara memutar bola matanya malas ketika dengan bijak, ketua kelasnya mengajari sopan santun. Tadi tadi ia hanya keceplosan. Dirinya terlalu bersemangat dan senang.
"Wah, siapa ini?" Kyara yang akan membalas ucapan Kian, malah mendongak menatap wanita paruh baya yang tersenyum lembut ke arahnya.
"Tumben kamu bawa temen perempuan ke rumah Kian?" Wanita yang Kyara kira ibu dari Kian sudah duduk di sofa.
Kyara tersenyum membalas, "Hay Tante, kenalin saya Kyara teman sekelas Kian." Gadis itu mendekat dan mencium telapak tangan Ayu.
"Kamu cantik sekali sayang. Jarang lho, Kian bawa perempuan ke rumah." Kyara merasa tersanjung akan ucapan Ayu. Ia menaik turunkan alisnya menatap Kian yang hanya menatap sinis tidak peduli. Lebih baik lelaki itu menyelesaikan tugas kelompoknya. Agar segera terhindar dari gadis aneh di hadapannya.
***
Sampai hari ini lelaki itu belum bisa mengunakan handphone, dompet dan juga motor besarnya. Sebenarnya ini juga salahnya karena sok tidak peduli dan terbawa emosi, hingga mengembalikan semua fasilitas yang papanya berikan kepadanya. Ian tidak merasa menyesal, terutama bagian dimana ia menghina Aryan. Kelakuannya memang sangat tidak pantas untuk di contoh. Tapi ini Ian. Lelaki yang sudah kehilangan kasih sayang dan hidup tanpa ada seseorang yang mencoba mengerti perasannya. Ketika Eila pergi, semua sifat baiknya juga ikut hilang.
Kian menghela napas di antara tugas-tugasnya, ketika Ian membanting pintu keluar. Adiknya itu baru menelfon seseorang dari telepon rumah yang berada di kamar mereka. Tanpa memperdulikan kenyamanan seseorang, Ian selalu berbuat seenaknya. Contohnya selalu menutup pintu dengan keras hingga menimbulkan suara.
"Kamu mau kemana?" Suara mengintrogasi dari ruang tamu menghentikan langkah Ian. Lelaki itu mengenakan jaket hitam untuk menutupi kaos putih polosnya.
"Beli pembalut, Papa mau juga?" Ian menaikkan sebelah alisnya menatap Aryan. Tanpa menunggu jawaban dari pria paruh baya yang terlihat tidak senang, ia melanjutkan langkah. Keluar rumah dengan sedikit membanting pintu.
"Apa yang baru saja di katakannya?" Ayu yang berada di samping Aryan, berekspresi heran yang dibuat-buat. Sebisa mungkin ia harus mengambil banyak kesempatan untuk menyingkirkan Ian. Cukup bagus selama ini akan kelakuan anak tirinya yang selalu membuat onar. Ayu tidak repot-repot membuat rencana.
"Kamu harus sabar menghadapi Ian." Wanita itu mengusap punggung Aryan yang sudah ingin meledak. Jawaban Ian yang ngawur menjadi kekesalan tersendiri. Lelaki itu selalu tidak serius dan tidak bersikap sopan kepadanya. Papa kandungnya.
***
Suara bel berbunyi tidak sabaran, membuat Malvi yang berada di kamar harus menuruni tangga cepat. Belum melihat siapa tamunya yang berani datang di malam hari, ia sudah terlebih dahulu menebak.
Ketika Malvi membuka, tangannya langsung menyambar kresek hitam bawaan tamunya dengan tidak sabaran.
"Sopan banget ya?" ejek Ian menatap kepergian Malvi yang kembali menaiki tangga. Tanpa ada seseorang yang mempersilakan masuk. Ian sudah menutup pintu dengan pelan, berbeda ketika di rumahnya sendiri. Ia melangkah menaiki tangga mengikuti Malvi.
Ian duduk di sofa yang berada di kamar sahabatnya. Ia membiarkan pintu kamar terbuka seperti biasanya, ketika ia berkunjung di rumah Malvi. Setelah Ian menaruh bungkusan lainnya, ia melirik kamar mandi yang tertutup.
"Ini kamar apa kandang ayam?" Ian sedikit mengeraskan suara agar Malvi yang berada dibalik kamar mandi dapat mendengar. Lelaki itu beranjak berdiri. Menghampiri ranjang Malvi yang di atasnya sangat berantakan. Mulai dari selimut berwarna putih, bungkus makanan dan minuman ringan, dan buku-buku entah apa berada dalam satu tempat.
"Lo kayak gak tau gue aja." Malvi menatap sinis Ian. Ia menutup pintu kamar mandi kembali.
"Lo beliin gue apa?" tanyanya ketika sudah duduk di sofa. Di susul dengan Ian yang entah kenapa duduk mendesak dirinya. Padahal ruang di samping masih luas.
"Sate ayam." Raut wajah Malvi yang awalnya menahan kesal. Kini berbinar senang. Segera tangannya mengeluarkan bungkusan yang berada di atas meja.
"Makasih." Malvi memeluk Ian singkat setelah matanya menangkap makanan kesukaannya. Satu ayam yang masih hangat.
"Gak usah peluk. Ini kita cuma berdua disini." Ian memperingati Malvi yang seenaknya menyentuh laki-laki di ruang tertutup dan mereka hanya berdua. Sejauh ia melangkahkan kaki, ia tidak melihat bunda sahabatnya itu.
"Emang kenapa?" Malvi menatap Ian sembari mulutnya mengunyah sate ayam yang baru saja masuk, "lo nafsu sama gue?" tanyanya sembari tertawa. Menepuk-nepuk pundak Ian.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya tidak mengerti dengan pemikiran Malvi, "gue cowok normal Malvi! Seenggaknya lo harus hati-hati. Meskipun gue sahabat lo. Lo gak seharusnya percaya sepenuhnya sama gue." Malvi hanya mengangguk-angguk senang. Tidak menganggap penjelasan Ian serius.
"Dimana Tante? Masih kerja?" Ian yang akan meraih satu tusuk sate, harus meringis kaget ketika punggung tangannya di pukul oleh gadis di sampingnya.
"Lo gak boleh makan. Ini kan punya gue." Ian menatap tidak percaya. Apa maksudnya milik dirinya. Padahal yang membeli ini adalah Ian.
🏆
KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)
RomanceIkuti kisah cerita Kian dan Ian, dua bersaudara yang tidak memiliki hubungan baik. Mereka saling diam layaknya orang asing. Memiliki kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Kesamaan mereka hanya satu. Tidak percaya cinta dan memiliki luka...