Kamu tidak benar-benar sendiri. Masih ada seseorang yang sedang mengkhawatirkan mu saat ini.
-Badai & Lukanya-
Sudah beberapa menit makan malam berlanjut di rumah besar milik Aryan. Pria itu mengerutkan kening tidak mengenakan ketika ia menatap kursi kosong yang biasa di gunakan putra keduanya.
"Ada apa Mas?" Ayu yang tau gerak gerik suaminya sendari tadi, akhirnya bertanya. Sementara Kian hanya diam seperti biasa. Lelaki itu akan bicara jika seseorang mengajukan pertanyaan kepadanya.
"Ian, dimana dia?" Meskipun Ian sering kali tidak menghadiri makan malam bersama atau sarapan. Tapi ada cukup kekesalan pada diri Aryan akan hal itu. Dirinya ingin semua penghuni rumah mengikuti perintahnya. Terutama harus menyempatkan makan bersama ketika pagi dan malam, meskipun ada sesuatu yang lebih mendesak.
"Kamu tau keberadaan Ian, kian?" Ayu menatap putra satu-satunya yang masih menikmati makan malam.
"Kian gak tau," gumamnya menatap Papa dan juga Mamanya sekilas, lalu kembali melanjutkan makan malamnya. Sudah hal biasa pembicaraan ini terjadi. Jika lelaki itu bisa menebak, pasti setelah ini Aryan akan berkata kasar tentang adiknya.
"Kebiasaan! Bagaimana bisa menghentikan kebiasaan buruk anak satu itu! Tidak bisa diatur! Brandal! Pembuat onar!" Aryan mengumpat bahkan di depan anak kandungnya. Lelaki itu selalu mengeluarkan amarahnya tanpa tau tempat. Bagaimana bisa ia ingin membuat kepribadian Ian baik, jika dirinya saja terus mencontohkan hal seperti sekarang.
"Tenanglah Mas, jangan terlalu khawatir. Mungkin Ian saat ini bersama teman-temannya. Dia baru saja menyelesaikan hukumannya, dia tentu merindukan teman-temannya." Ayu seperti biasa mengusap lembut pundak suaminya. Memang setelah Ian tidak masuk sekolah selama seminggu, lelaki itu pun hanya berada di rumah. Ian keluar hanya karena alasan-alasan mendesak, seperti membelikan keperluan Malvi.
"Kian sudah selesai makan. Kian izin pergi ke kamar, untuk mengerjakan PR." Lelaki itu beranjak berdiri. Dengan buru-buru ia menaiki tangga menuju kamarnya.
"Lihat dia! Betapa berbedanya Kian dan Ian. Kenapa adiknya itu selalu tidak bisa di atur," ucap Aryan menatap kepergian putra pertamanya yang selalu ia banggakan di depan teman-teman kerja.
"Tentu mereka berbeda. Ibu mereka saja berbeda." Ayu tersenyum lembut sembari memegang kedua tangan Aryan.
"Tentu, kamu yang terbaik."
Setelah menutup pintu kamar dengan pelan, hingga tidak menimbulkan suara. Kian melangkah meraih handphone dan duduk di depan meja belajar. Niatnya ke kamar untuk memastikan keberadaan Ian berada di mana.
"Ian sama lo gak?" tanyanya setelah teleponnya tersambung dengan seseorang yang biasa memberikan dirinya informasi tentang kondisi Ian. Jika lelaki itu pergi entah kemana.
"Enggak. Dari kemarin, gue gak ketemu sama dia." Pernyataan Harry membuat Ian menghembuskan napas berat.
"Lo tau dimana dia sekarang?" tanyanya lagi dengan harapan terakhir. Sekian banyak teman Ian, hanya Harry dan Jakson yang Kian kenal.
"Sorry, gue juga gak tau. Kalo nanti ada kabar, gue kasih tau lo." Kian mengangguk dengan diam. Seperti Harry melihatnya melakukan itu, Kian langsung menutup sambungan teleponnya.
Lelaki itu menghembuskan napas panjang. Tangannya sudah mengacak rambut frustasi. Kian meletakkan handphone, lalu meraih buku-bukunya akan mengerjakan tugas seperti apa yang ia bilang kepada kedua orang tuanya. Dengan cara seperti ini, Kian akan melupakan kekhawatirannya terhadap Ian.
***
Angin semilir menerpa tubuh Malvi yang sudah tertutup jaket. Celana panjangnya menghalangi dingin malam yang membuat menggigil. Tidak cukup dengan itu, pelukannya ia eratkan kepada lelaki di depannya yang membonceng dirinya.
"Lo kenapa tiba-tiba ngajak gue jalan? Lo kangen ya sama gue?" Malvi menatap wajah Ian yang sangat dekat dengannya. Lelaki itu tidak mengenakan helm sama seperti dirinya. Skuter yang Ian kendarai melaju pelan. Mengingat bahwa skuter itu milik kakek Malvi yang sudah lama meninggal. Harta warisan yang selalu bunda dan Malvi banggakan dan sayangi.
"Gue cuma pengen pergi aja. Lagian gue gak mau dapet amukan lagi, karena luka-luka gue." Ian melirik sekilas Malvi yang bersandar di pundaknya. Seragam lusuhnya sudah tertutup jaket hitam kesayangannya.
"Lo mau jalan-jalan kemana, emangnya? Gue gak mau, ke tempat aneh-aneh ya." Malvi melepaskan pelukannya. Kedua tangannya terangkat mencoba merasakan hembusan angin yang sedikit membantu hatinya bahagia.
"Ketempat aneh apa? Gue cuma mau menghirup udara segar. Gue punya tempat yang cocok, yang mungkin lo suka." Ian terus melajukan skuter dengan tenang. Jalanan mulai sepi karena malam semakin larut.
"Emangnya lo tau, apa yang gue suka?" Gadis tomboi itu menatap wajah Ian dari pantulan spion. Ia ingin tau seberapa kenalkah sahabatnya akan dirinya.
"Lo suka makan. Marah-marah. Cemberut gak jelas. Ngomel. Suka mukul." Malvi segera mendorong pundak lelaki di depannya, setelah ia mendengar pernyataan Ian.
"Kenapa? Bener kan, apa yang gue bilang?" Lelaki itu terkekeh membuat Malvi semakin meradang ingin segera turun dan pulang.
Sepanjang perjalanan akhirnya mereka saling diam. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Bahkan Malvi yang bingung akan dirinya berdiri, hanya bisa menatap Ian marah. Ia tidak mengerti kenapa lelaki itu membawanya ke tempat sepi, seperti bukit. Apakah Ian ingin berbuat tidak baik dengannya? Tidak. Sahabatnya itu tidak akan melakukan hal seperti apa yang Malvi pikiran. Meskipun Ian terkenal brandal, tapi kepribadiannya sangat menghormati dan melindungi wanita.
"Jangan berpikir aneh. Gue cuma mau lo, lihat ini." Tanpa aba-aba, Ian mendongakkan kepala Malvi dengan lembut. Ketika gadis itu ingin marah, matanya sudah terbelalak kagum.
Betapa banyak bintang-bintang di atas sana. Malam gelap hari ini sangatlah cantik. Bintang kecil yang bertaburan menjadi pesona tersendiri dengan sang bintang sabit.
"Lo suka?" Ian melepaskan tangannya dari kedua pipi Malvi. Lelaki itu melangkah menjauh menuju entah kemana.
"Suka. Dari mana lo tau, tempat ini?" Malvi mengikuti langkah Ian dengan hati-hati. Takut hewan berbisa atau semacamnya, ia injak dan melukainya.
Senyuman Malvi mengembang seperti mawar yang baru saja mekar. Ia menatap lurus seperti apa yang dilakukan sahabatnya. Pemandangan kota di malam hari membuat hatinya luar biasa bahagia. Lampu-lampu yang berasal dari bangunan tinggi dan lampu jalanan, membuat kota yang ia tempati selama ini terlihat hidup dan tenang.
Gadis itu menoleh ke arah Ian. Lelaki itu tidak tersenyum dan tidak terlihat bahagia. Kedua matanya menatap kosong gedung-gedung pencakar langit yang menunjukkan keangkuhannya betapa mereka indah di malam ini.
"Kenapa? Lo ada masalah?" Ian tersadar dari lamunannya. Ia mengusap wajah dan dengan senyum terpaksa, ia menatap Malvi.
"Gue baik." Lelaki itu membalikkan badan. Dengan cepat, Ian membaringkan tubuhnya di atas rumput yang mungkin saja berbahaya.
"Tapi, wajah lo kayak gak baik-baik aja Ian."
🏆
KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)
RomanceIkuti kisah cerita Kian dan Ian, dua bersaudara yang tidak memiliki hubungan baik. Mereka saling diam layaknya orang asing. Memiliki kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Kesamaan mereka hanya satu. Tidak percaya cinta dan memiliki luka...