Jika kamu terus bersikap manis seperti ini, maka tidak ada alasan bagi diriku untuk tidak mengagumimu.
-Badai & Lukanya-
"Hari ini silakan mengerjakan LKS halaman 23. Setelah saya jelaskan secara singkat tadi, tugas kalian di rumah membuat poster. Dengan teman terserah." Pria paruh baya yang beberapa rambutnya sudah beruban, menatap satu persatu anak didiknya dari kursi yang ia duduki.
"Tugasnya individu Pak?" tanya salah seorang mengajukan pertanyaan sembari menaikkan tangan.
"Tugasnya kelompok. Saya yang akan membentuk kelompok, sebentar ya." Guru bahasa Indonesia yang terkenal santai tapi tegas itu membuka buku absen.
Setelah beberapa saat suasana kelas hening. Karena semua orang asik dengan buku LKS masing-masing. Mereka harus mengerjakan sekarang, karena jika tugas di kerjakan di sekolah, berarti tidak ada yang namanya di selesaikan di rumah. Jika belum selesai, mau tidak mau harus di kumpulkan. Lebih baik nilai tidak sempurna, dari pada tidak mendapatkan nilai sama sekali.
"Mana Kyara, murid baru?" tanyanya sembari membenarkan kaca mata minus yang sudah menemaninya mengajar di sekolah. Beberapa tahun lagi ia akan pensiun. Meninggalkan sekolah yang sudah banyak menuangkan sejarah hidupnya.
"Saya Pak." Kyara tersenyum sembari mengangkat tangannya.
"Kamu satu kelompok sama Kian." Semua orang menoleh ke arah Kyara dan Kian. Teman-temannya sedikit was-was akan Kyara yang ujung-ujungnya sakit kepala menghadapi beruang kutub dari Utara itu.
"Saya keberatan Pak, lebih baik Kyara satu kelompok dengan Arlo. Dia lebih baik dari pada saya." Kian yang sendari tadi diam mengerjakan tugas langsung mendongak ketika Pak Bambang menyebut namanya.
"Disini yang mengatur saya, kenapa kamu jadi ikut-ikutan?" ucap pria beruban itu tegas. Ia lalu melanjutkan menyebutkan nama-nama yang akan menjadi kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua orang. Dan Kyara beruntung satu kelompok dengan ketua kelas.
"Kita satu kelompok lho, kayaknya kita udah ditakdirkan bersama." Kyara yang berada tepat di belakang Kian, menepuk-nepuk pundak lelaki itu dan menaik turunkan alis ketika Kian menoleh jengah.
***
Jika kelas 12 MIPA 1 diisi dengan pelajaran bahasa Indonesia di jam pertama. Beda halnya dengan kelas 12 IPS 3, kelas itu saat ini sunyi tidak seperti biasanya penuh canda tawa. Penyebab heningnya kelas tanpa ada seorang yang berani berbicara adalah karena wanita tua bertubuh besar bernama Bu Wati, guru matematika.
"Jakson, anterin gue ke toilet dong. Gue mau ngomong sesuatu." Malvi berbisik sangat pelan kepada lelaki yang duduk di sebrang mejanya sendiri. Biasanya Jakson duduk dengan Ian, tapi entah dimana keberadaan sahabat jahilnya itu.
"Lo gila? Gue cowok, cowok normal." Suara Jakson tak kalah pelan. Wajah lelaki itu sungguh lucu. Menampakkan bagaimana lembutnya hati dan pikirannya.
Malvi terkekeh kelepasan. Semua orang menatap dirinya horor.
"Malvi? Kamu kenapa?" Suara tegas Bu Wati membuat gadis tomboi itu menegakkan tubuh spontan.
"Gak... sakit perut Bu." Kalimat pertama sengaja Malvi pelankan. Ia tidak ingin berbohong, bisa-bisa sakit beneran.
"Sana ke kamar mandi." Suara yang sudah mulai garang, membuat Malvi buru-buru mengangguk.
"Gue tunggu, lo harus jelasin dimana Ian. Enak aja gue di gantung kayak jemuran." Malvi masih sempat menarik lengan Jakson beberapa detik, sebelum ia pergi ke kamar mandi. Ketika tadi ia ingin mengetahui keadaan sahabatnya, Jakson tidak segera memberitahukan hingga guru matematikanya itu datang. Mengacaukan segalanya.
Malvi mondar-mandir di depan kamar mandi perempuan. Di samping kamar mandi, hanya ada gudang tempat terakhir kali dirinya mendapatkan hukuman bersama Ian.
"Lo lama banget sih?" Gadis itu memukul pundak Jakson cukup keras.
"Cewek kasar," gumam lelaki itu mengusap punggungnya. Wajahnya sudah menahan kesal karena dirinya harus mencari alasan keluar kelas hanya karena Malvi.
"Cowok letoy." Gadis itu terkekeh melihat wajah Jakson yang sama sekali tidak pantas berekspresi marah. Wajahnya di desain seperti permen manis yang tidak akan bisa menjadi pedas.
"Ayo cepet, dimana Ian? Dia kemana?" Jakson mundur beberapa langkah ketika Malvi akan memukulnya lagi. Rasanya ia harus mengikat kedua tangan temannya itu.
"Ian dapet skors, kemarin bokapnya kesini."
Malvi mengerutkan kening tidak percaya. Pikirannya tiba-tiba berkelana ketika mereka mendapatkan hukuman bersama, berdiri di depan tiang bendera.
Meskipun masih pagi, matahari sudah bersemangat menyinari bumi dengan membawa panas yang sudah membuat wajah Malvi memerah. Kedua matanya sudah tidak kuat mendongak menatap bendera merah putih yang terlihat mencibir dirinya, karena telat dan tidak menjadi murid yang patuh bin penurut dengan peraturan.
Ketika gadis itu menatap menyipit ke arah bendera yang ia beri hormat. Tiba-tiba Ian yang berada di sampingnya bergerak dan rasa panas sekaligus silau di wajah Malvi menghilang. Keteduhan menerpa wajahnya. Sementara tubuhnya masih terkena sinar matahari, tapi tidak terlalu panas seperti sebelumnya. Ia menoleh menatap Ian. Lelaki itu berdiri menghadap dirinya dengan tangan yang masih hormat.
"Lo ngapain? Benderanya di depan. Bukan di samping." Malvi menujuk tiang bendera di depannya dengan dagu. Ia tidak ingin menujuk dengan kedua tangannya, karena ia takut akan mendapatkan teguran.
"Supaya lo gak kepanasan." Malvi mendengus karena nada ejekan Ian. Memang ia akui dirinya lelah akan semua ini, tapi dirinya bukan perempuan yang mudah mengeluh kepada orang lain. Apakah wajahnya sangat ketara, jika dirinya butuh bantuan untuk menyingkirkan sinar matahari dari wajahnya?
"Terus, sekarang Ian dimana?" Menurut Jakson, Malvi saat ini sudah seperti preman pasar. Beberapa orang yang lalu lalang menatap mereka, ingin tau. Mereka berpikir jika mereka sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Apalagi melihat Malvi yang berwajah keras, karena Jakson tidak langsung menjelaskan akan keberadaan Ian. Lelaki dengan wajah imutnya itu selalu menjawab pendek dan harus di pancing, agar berbicara."Gak ngerti." Malvi segera meraih lengan teman sekelasnya yang akan kabur. Jakson menatap jam tangannya sekali lagi. Sudah cukup lama dirinya keluar kelas. Ia tidak ingin mendapatkan kecurigaan dari Bu Wati. Dia bukan murid yang pandai mencari alasan.
"Jawab, setelah itu lo bisa pergi." Gadis tomboi itu saat ini berwajah semakin garang. Malvi tidak memperdulikan jika saat ini guru matematikanya menanti kehadiran mereka. Tipe guru disiplin waktu. Ia khawatir jika kedua muridnya, tidak mendapatkan hak untuk belajar.
"Di rumah Harry, lo masih ingat dia kan?" Jakson melepaskan genggaman Malvi dengan susah payah, "cewek jadi-jadian! Lepasin gue!"
Suara keras dari Jakson membuat semua orang yang berada dekat dengan mereka langsung mengalihkan pandangan. Sementara Malvi hanya tertawa melihat kemarahan Jason. Ia melepaskan genggamannya dengan wajah mengejek.
🏆
Update setiap hari, semoga bisa mengusir kebosanan kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
BADAI & LUKANYA (menemani dikala libur sekolah.)
RomanceIkuti kisah cerita Kian dan Ian, dua bersaudara yang tidak memiliki hubungan baik. Mereka saling diam layaknya orang asing. Memiliki kepribadian yang bertolak belakang satu sama lain. Kesamaan mereka hanya satu. Tidak percaya cinta dan memiliki luka...