GROTE MARKT

177 34 1
                                    

Awan membunyikan bel di pintu tetangga apartemennya. Lima detik kemudian seorang wanita muda berambut merah, yang masih mengenakan pakaian tidur seadanya, membuka pintu. Pria itu terkejut dan reflek mundur satu langkah.

"Goede morgen. Sorry pagi-pagi. Ini paketmu yang datang kemarin sore." Awan menyerahkan kotak kecil yang dititipkan oleh petugas pos, karena pemilik barang itu sedang tidak di rumah.

"Aah, sorry. Aku menyesal mengapa paket-paket ini selalu datang waktu aku tidak di rumah dan akibatnya selalu kamu yang menerimanya," jawab perempuan itu sambil mengacak rambutnya sehingga menjadi semakin berantakan.

Memang sudah sangat sering, Awan menyampaikan titipan paket ke tetangganya ini. Sampai-sampai dia tak habis pikir, betapa banyaknya wanita itu belanja online. Mereka sudah saling kenal sejak Awan pindah ke sini tahun yang lalu. Awalnya interaksi mereka biasa saja, sebagai tetangga yang hanya saling sapa seperlunya. Namun, kedatangan paket-paket ini membuat mereka jadi saling mengenal dan semakin sering bertemu. Bahkan, beberapa bulan terakhir, wanita yang bernama Elsje itu, ikut menjadi relawan di rumah perawatan orang tua bersama Awan. Elsje mahir memainkan piano lagu-lagu klasik untuk para lansia yang kesepian, sedangkan Awan lebih sering menemani mereka mengobrol atau main catur setelah makan malam.

"Geen problem," jawab Awan singkat, lalu balik kanan menuju pintu rumahnya.

"Breakfast? Atau ... mau minum teh dulu?" tawar Elsje. Perempuan itu membuka pintu apartemennya lebih lebar.

"Nee, Bedankt. Aku ada janji pagi ini. Lain kali mungkin?" Kejadiannya selalu begitu. Awan menolak sambil tersenyum sopan.

Sebetulnya, janji temunya dengan Jasmijn masih dua jam lagi. Akan tetapi, dia memanfaatkan alasan itu untuk menghindar. Awan tidak ingin terjebak dalam suasana awkward, berdua saja dengan tetangganya ini, apalagi di apartemennya. Itu bermain api namanya.

Tadi malam Jasmijn menelepon Awan, tiba-tiba minta ditraktir makanan di Grote Markt siang ini. Tentu saja Awan tidak punya pilihan lain selain mengiyakan permintaan adiknya itu. Meskipun sebenarnya Jasmijn sendiri pasti mampu membayar harga jajanan di sana dengan mudah. Tapi, siapa yang bisa menolak permintaan tuan putri Jasmijn? Setiap hari Sabtu lapangan alun-alun kota itu berubah menjadi pasar yang menjual berbagai jajanan, sayuran, buah-buahan, dan barang-barang unik lainnya. Pada waktu-waktu tertentu, area ini berubah jadi arena bermain pasar malam atau tempat ice skating di musim dingin.

Baru lima menit masuk, bel pintu Awan berdering. Gadis berambut merah tadi tampak berdiri di depan pintu, sudah berpakaian training.

"My gratitude." katanya sambil memberikan sebuah bungkusan berisi sekotak teh herbal. Gadis itu tahu, Awan adalah penikmat citarasa teh dari berbagai negara.

"Elsje, aku menolak kau ajak minum teh, lalu sekarang kamu berikan sekotak teh?"

"Ah, hanya berbagi hadiah dari murid les pianoku kemarin. Ini teh asli dari Tiongkok, lho. Lagipula, aku tahu ... kamu cuma nggak mau berduaan di apartemenku bukan?" Elsje memicingkan matanya.

"Well..." Awan mengangkat bahu, tak bisa membantah.

"Ohya, nanti malam kita seperti biasa, kan?"

"Yap."

"Oke, aku jogging dulu. Bye!" katanya santai sambil berlalu.

"Elsje, Bedankt!" Awan setengah berseru, Elsje hanya melambaikan tangan, cuek.

Awan menggelengkan kepala sambil tersenyum. Memang sudah beberapa kali Awan menolak tawarannya minum teh setiap kali mengantar paket. Rupanya gadis itu akhirnya paham sendiri gelagatnya.

His ScentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang